Menaker: Isu Serbuan Pekerja China Hoax dan Provokatif
VIVA.co.id – Menteri Tenaga Kerja, Hanif Dhakiri, menegaskan, isu mengenai serbuan tenaga kerja asing asal China harus disikapi dengan bijak, dan mengacu pada data-data konkret seperti yang dimiliki pihaknya.
Sebab, Hanif mengakui jika banyak data abal-abal dan hoax yang tersebar di masyarakat, serta sudah dibumbui persepsi negatif dengan tujuan-tujuan provokatif.
"Khususnya soal tenaga kerja asal China dan ilegal, banyak sekali data abal-abal, hoax dan provokasinya. Setiap kali pemerintah menindak tegas TKA (tenaga kerja asing) yang melanggar, hal itu dianggap sebagai pembenaran informasi yang abal-abal dan hoax tersebut," kata Hanif di kantornya, Jakarta, Kamis 29 Desember 2016.
Hanif menjelaskan, isu-isu mengenai serbuan TKA asal China maupun dari negara-negara lainnya itu, merupakan peristiwa kecil yang telah dibumbui sedemikian rupa. Sebab, selama ini Kementerian Ketenagakerjaan terus berupaya melakukan penegakan hukum bagi para TKA yang ilegal dan melanggar aturan.
"Kalau ilegal dan melanggar aturan, akan kita tindak tegas. Dan pemerintah sudah, sedang dan akan terus membuktikan itu. Kita akan terus melakukan penindakan hukum terhadap TKA yang melanggar itu. Siapapun dan dari manapun asal mereka," ujarnya.
Rasionya Sangat Kecil
Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) mencatat rasio penggunaan TKA di Indonesia dengan jumlah tenaga kerja yang ada masih sangat rendah. Di mana total TKA yang bekerja di Indonesia hanya 74 ribu atau 0,062 persen dari total tenaga kerja sebesar 120 juta orang.
Kepala BKPM, Thomas Lembong, mengatakan angka rasio tersebut tentunya masih sangat rendah dibandingkan dengan negara-negara lainnya. Seperti di Qatar jumlahnya mencapai 94 persen, di Uni Emirat Arab sebesar 96 persen, Singapura 36 persen, Amerika 16,7 persen, Malaysia 15,3 persen dan Thailand 4,5 persen.
"Jadi jika berandai-andai bahwa jumlah TKA sebenarnya 10 kali lipat data resmi Kemenaker dan kantor Imigrasi, maka cuma 0,62 persen dari total tenaga kerja Indonesia, dan itu pun masih jauh terlalu rendah. Dan perlu diketahui negara yang benar-benar modern akan memakai jauh lebih banyak tenaga kerja internasional," tegasnya.