Asosiasi Tanggapi Prospek Industri Makanan Minuman 2017
- VIVA.co.id/Muhamad Solihin
VIVA.co.id – Kementerian Perindustrian memproyeksikan pertumbuhan industri sub sektor makanan dan minuman tahun depan tetap menjadi kontributor utama terhadap produk domestik bruto (PDB) sektor industri non-migas. Namun, proyeksi pertumbuhan turun dari 8,2-8,5 persen pada 2016, menjadi 7,5-7,8 persen untuk 2017.
Menanggapi prediksi tersebut, pengurus Gabungan Pengusaha Makanan dan Minuman Indonesia (Gapmmi) melihat penurunan angka proyeksi tersebut merupakan hal yang wajar. Kondisi itu adalah bentuk kehati-hatian Kementerian Perindustrian, mengingat ada persoalan yang dihadapi sub sektor industri makanan dan minuman ini.
"Pasti melihat realitas yang ada dan memang harus kita akui 2016 ini memang berat," kata Wakil Ketua Umum bidang Kebijakan Publik dan Hubungan Antar Lembaga Gapmmi, Rachmat Hidayat, kepada VIVA.co.id di Jakarta, pada Selasa, 27 Desember 2016.
Namun, Rachmat tetap optimistis pertumbuhan industri makanan minuman dapat tembus tujuh bahkan ke sembilan persen. Asalkan pemerintah bersama pihak terkait bersinergi dengan baik mengatasi persoalan substansial yang dihadapi industri tersebut. Yaitu, ketersediaan bahan baku dari dalam negeri yang sangat minim, sehingga sebagian besar bahan bakunya impor.
Dia berharap, ke depannya pemerintah lebih sensitif dalam mengeluarkan regulasi atau kebijakan. Dengan mempertimbangkan kepentingan nasional terbesar, seperti kebutuhan industri makanan dan minuman.
Lalu, ia menyebutkan regulasi terkait tata niaga komoditas, hambatan untuk impor bahan baku, dan izin investasi, yang sangat menentukan bagi keberlangsungan industri makanan dan minuman dalam negeri.
"Dalam hal importasi bahan baku masih menjadi konsen kami. Kami berharap peraturan perundang-undangan yang dikeluarkan pemerintah itu, kalau tidak mendukung itu, ya jangan menghambat industri, tapi kami berharap, ya mendukung industri," ujarnya.
Dia menjabarkan, jika importasi bahan baku pun tersendat, sedangkan ketersediaan bahan baku dalam negeri sangat minim, produktivitas industri dapat menurun, harga produksi akan menjulang. Dan pada akhirnya daya beli masyarakat terhadap produk makanan minuman dapat terjun bebas di tengah pertumbuhan ekonomi yang masih melemah.
Sementara itu, ia menyebutkan beberapa komoditas bahan baku industri makanan dan minuman yang masih minim di Indonesia dan mengharuskan untuk impor. Antara lain, ada gula rafinasi, yang diimpor dalam bentuk gula mentah. Kemudian, susu, yang ketersediaan dalam negeri hanya berkisar 20 persen.
"Menurut saya itu make sense. Kalau kurang dari itu kami takut pertumbuhan industri makanan dan minuman akan terhambat," ujarnya.