Demi Persaingan Sehat, Jonan Kaji Harga Patokan Beli Energi

Menteri ESDM Ignasius Jonan
Sumber :
  • VIVA.co.id/Fikri Halim

VIVA.co.id – Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral, Ignasius Jonan, berencana mengkaji ulang harga patokan pembelian energi, berdasarkan biaya produksi energi baru dan terbarukan atau feed in tariff. Hal ini dilakukan demi menciptakan harga listrik yang lebih efisien.

Industri Serap 43% Kebutuhan Listrik, Kadin Dorong Kemitraan Swasta dalam RUKN 2024-2060

Mantan Menteri Perhubungan itu menjelaskan, usai pengkajian ulang, pemerintah akan mengubah besaran feed in tariff untuk setiap tenaga pembangkit Energi Baru Terbarukan (EBT), termasuk panas bumi.

Dia menyebut, feed in tariff EBT tersebut belum tentu akan diturunkan secara signifikan, walaupun tujuannya agar bisa bersaing dengan tarif listrik yang dihasilkan dari tenaga fosil.

Mendorong Penerapan Energi Baru Terbarukan

"Yang penting semua EBT bisa bersaing asal harganya bisa kompetitif. Pemerintah dukung pengembangan EBT pada harga yang terjangkau," kata Jonan di kawasan Kuningan, Jakarta Selatan, Rabu 21 Desember 2016.

Jonan menjelaskan, bleid terkait penyesuaian feed in tariff ini diharapkan bisa keluar pada Januari 2017 mendatang. Sebab, pengembangan EBT ini perlu dipercepat untuk melistriki daerah-daerah yang tidak bisa dijangkau energi fosil.

Inovasi untuk Dongkrak Produksi

Dirinya bahkan mencontohkan sejumlah desa di pegunungan Papua, yang tidak bisa memanfaatkan Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) dan Pembangkit Listrik Tenaga Gas (PLTG).

Hal itu disebabkan karena susahnya penyaluran bahan baku pembangkit ke wilayah tersebut, sehingga masyarakat daerah itu harus memanfaatkan tenaga lain seperti matahari atau air.

"Indonesia itu sistem ketenagalistrikannya tidak bisa dilakukan secara national grid, karena sifatnya yang negara kepulauan. Sehingga, di wilayah-wilayah pedalaman itu tenaga listriknya harus sesuai dengan kearifan lokal di situ. Namun, harganya tetap dibuat kompetitif agar ada yang mau masuk," kata Jonan.

Jonan mengatakan, jika feed in tariff sudah diubah pada awal tahun nanti, ia pun tak mau mengajukan subsidi EBT di dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Perubahan (APBN-P) 2017. Karena menurutnya, subisidi akan percuma jika tarif listrik sudah terbilang efisien.

"Kalau misalnya sudah murah, tak perlu ada insentif. Negara lain saja bisa kok, di Uni Emirat Arab saja harga tarif listrik tenaga solar PV bisa sampai US$0,24 per Kilowatt-Hour (KWh). Kalau negara lain bisa, bagaimana kita tahu kita bisa kalau belum mencoba?" jelasnya.

Diketahui, pemerintah menargetkan pemanfaatan EBT sebesar 23 persen di dalam bauran energi di tahun 2025, sesuai Rencana Umum Energi Nasional (RUEN).

Sampai Oktober 2016, pemanfaatan EBT bagi listrik tercatat sebesar 8.800 Megawatt (MW) dan non-listrik sebesar 10,9 metrik ton setara minyak (MTOE), atau lima persen dari bauran energi.

(ren)

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya