Revisi PP Minerba Dinilai Langgengkan Perusahaan Asing
- VIVAnews/Hadi Suprapto
VIVA.co.id – Rencana Presiden Joko Widodo merevisi Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batu Bara, dinilai sarat kepentingan asing.
Sebab, apabila direvisi, maka pemerintah mengizinkan perusahaan tambang untuk melakukan ekspor tambang mentah, atau konsentrat hingga lima tahun ke depan.
Namun, ada syaratnya, perusahaan tambang bersangkutan tetap harus membangun pabrik pengolahan, atau pemurnian konsentrat alias smelter.
Menanggapi hal ini, Wakil Sekretaris Jenderal DPP Partai Gerindra, Andre Rosiade, menyampaikan surat terbuka kepada Presiden Jokowi untuk mempertimbangkan kembali rencana revisi PP No 1/2014.
Menurutnya revisi ini, di satu sisi, memuluskan dua perusahaan tambang besar asing, PT Freeport Indonesia dan PT Newmont Nusa Tenggara. Namun, di sisi lain, menganaktirikan perusahaan tambang BUMN, yakni PT Aneka Tambang Tbk.
Saat ini, pemerintah lagi mengejar waktu, karena batas waktu ekspor mineral olahan, atau konsentrat diketahui akan berakhir pada 12 Januari 2017. Hal itu merujuk aturan turunan UU Minerba, yakni PP No 1/2014 dan Peraturan Menteri ESDM No 1/2014.
"Revisi relaksasi ini seharusnya menjadi momentum bagi kebangkitan perusahaan-perusahaan lokal dalam mengelola potensi sumber kekayaan alam Indonesia. Bukan menganaktirikan perusahaan BUMN," ujarnya, dalam surat terbuka, Kamis, 15 Desember 2016.
Pendapatan negara
Menurut Andre, Antam seharusnya diberikan kesempatan untuk mengembangkan diri mengekspor bijih nikel 1,7 ke bawah. Selama ini, bijih nikel 1,7 ke bawah tidak bisa dimanfaatkan oleh perusahaan smelter dalam negeri.
Smelter yang ada di Indonesia, kata dia, mengonsumsi bijih nikel kadar tinggi, yakni kadar 2,0. Andre melihat perusahaan BUMN yang seharusnya berkembang dan mengelola kekayaan sumber daya alam justru ditentang pihak pemerintah sendiri.
Bijih nikel lowgrade selama ini terbuang sia-sia. Padahal, dengan terbuangnya bijih nikel kadar rendah sama saja menghilangkan potensi pendapatan negara. Sekarang potensi itu dimanfaatkan luar biasa oleh pemerintah Filipina dengan menjual bijih nikel kadar rendah US$50 per ton.
"Bisa dibayangkan, seandainya Antam diberikan kesempatan mengekspor 20 juta ton per tahun yang tidak bisa diserap smelter dalam negeri," ungkap Andre. Jumlah itu dikalikan US$50 per ton sama dengan US$1 miliar.
Angka yang cukup besar dihasilkan Antam per tahun, jika diberikan kesempatan mengekspor bijih nikel kadar rendah. Apabila dikenakan biaya keluar (ekspor) US$10 per ton maka pemasukan negara bisa mencapai US$200 juta per tahun.
Ia pun berharap, Menteri Energi Sumber Daya Mineral Ignatius Jonan dan Wamen Archandra Tahar secara serius memberikan kesempatan bagi perusahaan BUMN untuk mengembangkan potensi sumber daya alam secara mandiri. (asp)