Batik Nitik, Warisan Leluhur Yogyakarta yang Masih Bertahan
- Daru Waskita/VIVA.co.id
VIVA.co.id – Batik tradisional tidak begitu populer bagi banyak konsumen, karena produksinya yang terbatas dan harganya relatif mahal. Namun salah satu batik tradisional yang masih bertahan dengan maraknya batik cap adalah batik nitik di Dusun Kembang Songo, Desa Trimulyo, Kecamatan Jetis, Kabupaten Bantul, Yogyakarta.
Ketua Paguyuban Trimulyo Batik, Iswanto mengatakan, bahwa batik nitik merupakan batik turun menurun dari nenek moyang, sehingga motifnya pun tradisional seperti motif jaya kusuma, srengenge, kerantil, kenanga pangan uler, dapa kurung, krempel, timunan, kembang jeruk dan kembang kentang.
"Motif ini terinspirasi dari banyaknya warga Kembang Songo yang melihat para peziarah di makam-makam raja-raja Imogiri, sehingga muncul batik nitik. Pembuatan motif, dengan cara menitik motif yang ada," katanya, Kamis, 1 Desember 2016.
Tingkat kesulitan yang tinggi dari motif batik menyebabkan pembuatan satu lembar kain dengan ukuran 2,5 meter dan lebar 1 meter butuh waktu hingga satu bulan. Prosesnya yang lama dan tidak mudah ini membuat harganya berkisar antara Rp800 ribu hingga Rp1,5 juta per kain.
Iswanto menjelaskan, ada juga pengusaha batik yang hanya mengirimkan kain untuk dibatik sesuai motif yang diinginkan, dengan biaya borong per kain batik sekitar Rp300 ribu. "Namun itu sangat jarang karena nilai jual ke konsumen nantinya akan mahal," ujarnya.
Dengan kerumitan motif, penggarapan yang lama dan pembatikan bolak-balik, target konsumennya menjadi terbatas. Itu karena jika permintaan banyak, pihaknya akan kesulitan memenuhi. "Makanya dalam satu bulan jualan batik nitik itu menyasar konsumen tertentu karena harganya relatif mahal," kata dia.
Nuriyah, anggota Paguyuban Trimulyo Batik mengatakan, pemasaran batik nitik hingga saat ini melalui media sosial dan mengikuti pameran-pameran kerajinan. Selain itu, bekerja sama dengan hotel.
Dia mengaku bahwa pihaknya masih kesulitan mempromosi batik nitik, karena keterbatasan modal yang dimiliki oleh paguyuban. Karena itu, uluran tangan pemerintah maupun swasta sangat diperlukan.
"Beberapa kampung batik di Bantul ini sudah mendapatkan bantuan modal dan pemasaran oleh BUMN, sehingga produknya laku keras di pasaran. Minimal karyawan di BUMN menggunakan batik yang dibinanya," kata Nuriyah.
(mus)