Pengaruh Bisnis Trump Dikhawatirkan Ikuti Era Soeharto
- U-Report
VIVA.co.id – Proses transisi presiden terpilih Amerika Serikat Donald Trump banyak timbulkan pertanyaan, terlebih saat sejumlah kepentingan pribadi, kekuasaan dan bisnis keluarga digabungkan jadi satu sehingga timbulkan sejarah buruk bagi politik AS.
Saat ini, putrinya Ivanka dan Jared Kushner memainkan peran kunci dalam proses transisi, dan Trump menolak untuk menempatkan konsultan independen untuk mengelola bisnisnya dengan alasan tidak mau mengulangi kegagalan yang pernah dilakukan Wakil Presiden Richard B. Cheney. Trump justru menempatkan anak-anaknya mengelola kepentingan bisnis selama dia jadi presiden.
Menurut The Washington Post, pada Kamis 1 Desember 2016, kebanyakan orang akan menempatkan anak-anak mereka di level eksekutif perusahaan bila melakukan bisnisnya secara pribadi. Namun, kebanyakan orang juga ingin pebisnis miliki intuisi berbeda, di mana pejabat tidak gunakan posisinya untuk memperkaya diri atau keluarga mereka.
Atas hal tersebut, hampir setiap negara dengan pemerintahan demokratis melarang pejabat terpilih menggunakan jabatan publik untuk mendukung kepentingan bisnis pribadi mereka. Lalu, bagaimana dengan AS saat ini? Menariknya, surat kabar Amerika tersebut menyuguhkan contoh kasus Indonesia di bawah era mendiang Presiden Soeharto selama 1966-1998. Dikhawatirkan pengaruh bisnis Trump dan keluarga selama berkuasa sebagai presiden akan mengikuti pola yang sama.
Memang secara latar belakang, Trump dan Soeharto jelas berbeda. Soeharto naik ke puncak kekuasaan sebagai seorang jenderal yang berhasil menumpas upaya makar Partai Komunis Indonesia. Sedangkan Trump merupakan pebisnis sukses yang baru saja menang Pemilihan Presiden Amerika Serikat.
Tapi, dari sisi pengaruh bisnis, Washington Post menilai Trump berpotensi mengikuti jejak Soeharto. Selama Soeharto memimpin Indonesia, keluarganya punya pengaruh kuat dalam bisnis-bisnis besar nasional dan perpolitikan domestik. “Seharusnya Trump bisa mengambil pelajaran dari era Soeharto di masa itu, yaitu saat kehidupan keluarganya dicampur dengan kebijakan bisnis dan politik,” tulis Washington Post.
Pada awal pemerintahannya, Soeharto membangun ekonomi politik dari pengelolaan Sumber Daya Alam (SDA), mengembangkan BUMN dan membuat kebijakan makro ekonomi yang cukup kuat dari sejumlah teknokrat di Kementerian Ekonomi.
Namun, pada 1980-an setelah ekonomi mulai bergeliat peran ekonomi dan politik keluarganya semakin besar dan semakin jelas. Koran Amerika itu merujuk pada peran sejumlah anak-anak Soeharto, seperti Tutut dan Tommy, kemudian sepupunya Sudwikatmono, saudara tirinya Probosutedjo dan menantunya Prabowo Subianto.
Saat itu, Tutut mulai berbisnis dengan mengoperasikan sejumlah jalan Tol, Tommy melakukan monopoli atas produksi Cengkeh dan ekspor, Sudwikatmono impor film, Probosutedjo di sektor perbankan dan Probowo menjadi seorang perwira militer yang karirnya sangat cemerlang, sementara saudaranya, Hasim Djojohadikusumo, seorang pengusaha.
Ciptakan Masalah Besar
Situasi itu ternyata lama kelamaan membuat masalah besar, yaitu nepotisme dan kasus Indonesia ini dianggap menjadi pelajaran bagi Trump mengapa bisnis keluarga dan politik presiden ternyata berdampak pada persepsi keadilan.
Salah satu contohnya adalah di bawah Soeharto saat itu, konsesi jalan tol yang seharusnya bisa berikan pendapatan kepada pemerintah, justru menjadi lahan menguntungkan. Selain itu Soeharto dikenal tak percaya laporan dari luar keluarganya sendiri, sehingga seiring waktu justru menggrogoti legitimasi dan kekuasaannya.
Itulah mengapa, lanjut Washington Post, rezim Soeharto hancur dan ekonomi runtuh. Belajar dari pengalaman Indonesia, Trump dan keluarganya diperingatkan bahwa kepentingan keluarga tidak seharusnya dicampur dengan jabatan publik.
(ren)