Chatib Basri Cerita Sulitnya Naikkan Harga BBM di RI
- VIVAnews/Anhar Rizki Affandi
VIVA.co.id – Ash Centre Senior Fellow Harvard Kennedys School, Muhammad Chatib Basri pada hari ini, 30 November 2016, menceritakan pengalaman singkatnya, saat menjabat sebagai menteri keuangan pada periode Kabinet Indonesia Bersatu Jilid II 2013-2014.
Di hari kedua menjabat sebagai Bendahara Negara, Chatib diharuskan menghadap ke Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), untuk menyampaikan bahwa akan ada kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM), sesuai keputusan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.
Namun, Chatib mengaku beruntung, karena sebelumnya pernah menjabat sebagai salah satu staf Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati pada periode 2006-2010. Perombakan kas keuangan negara pun bisa dijalankan, tanpa ada hambatan.
“Karena syaratnya sudah tertata. Rapat pertama, tinggal mengikuti. Relatif lebih mudah, karena saya pernah mengikuti Ibu Sri Mulyani menaikkan BBM pada 2005-2008. Sehingga, tahu polanya, dan ada kompensasi,” jelas Chatib dalam sebuah seminar di Kementerian Keuangan, Jakarta.
Chatib memandang, keputusan pemerintah menaikkan harga BBM pada waktu itu murni bukan hanya karena kondisi harga minyak dunia yang terlampau tinggi. Ada beberapa faktor-faktor yang melandasi keputusan tersebut.
“Saat Ibu Sri Mulyani menjadi Menkeu, pertumbuhan ekonomi bisa dibuat 4,6 persen dan perlahan naik. Tingkat bunga diturunkan, modal masuk ke Indonesia, ekonomi jadi kuat. Booming komoditas, Indonesia sudah cukup kuat,” katanya.
Bahkan, sejatinya, harga BBM seharusnya naik pada 2011. Namun, tidak ada kesepakatan antara pemerintah maupun parlemen menaikkan harga BBM nasional pada saat itu, meskipun perekonomian nasional sudah membaik. “Kalau boleh kritik, harga BBM itu harus naik pada 2011. Tapi situasi tidak dimungkinkan, 2013 agak terlambat," tegasnya.
Terlepas dari hal tersebut, Chatib memandang, ada harga yang harus dibayar mahal dari tingginya perekonomian pada saat itu. Meskipun laju perekonomian menggeliat, namun struktur penopang pun tidak mampu mendukung secara optimal.
“Kita korban suksesnya bikin ekonomi kuat, tetapi strukturnya tidak bisa mendukung. Defisit current account, atau neraca transaksi berjalan menjadi 4,4 persen 2014, kita pun harus melakukan penyesuaian,” katanya.
Pemerintah bersama Bank Indonesia, lanjut dia, pada akhirnya memutuskan untuk bagaimana menstabilisasi perekonomian secara makro, dengan mengorbankan untuk mencapai pertumbuhan tinggi seperti di tahun sebelumnya.
“Kami putuskan memilih stabilitas over growth. Bagaimana meyakinkan kabinet, pemerintah harus mendukung BI naikkan bunga,” jelasnya. (asp)