Brexit Buat Inggris Kehilangan 215 Ribu Pekerja Konstruksi

Brexit.
Sumber :
  • REUTERS/Francois Lenoir

VIVA.co.id – Pada 2020, Inggris diperkirakan bakal kehilangan sebanyak 215 ribu pekerja di bidang di industri bangunan dan infrastruktur, jika kontrol terhadap imigrasi dilakukan ketat pada warga Uni Eropa, dalam negosiasi Brexit, atau keluarnya Inggris dari keanggotaan Uni Eropa.

Sebar Petugas Timpora, Imigrasi Tangerang Sasar Tenaga Kerja Asing

Dilansir dari laman Business Insider, pada Rabu 30 November 2016, disebutkan laporan analisis perusahaan konsultan Arcadis menyatakan, Brexit yang dilakukan langsung sangat merugikan pasar pekerja infrastruktur Inggris.

Laporan menyatakan, Inggris akan kehilangan jumlah pekerja setara penduduk Kota Luton, jika hal tersebut diterapkan.

Gelar Workshop, Kemnaker Tekankan Pentingnya Perlindungan dan Kelayakan TKA

Langkah yang mengadopsi sistem berbasis poin dan sangat ketat bagi imigran Uni Eropa, diakui sangat membuat sulit pekerja konstruksi asing memenuhi semua syarat untuk bisa bekerja secara permanen. Sedangkan Inggris sendiri, tidak akan mampu menggantikan pekerja dengan kualitas yang sama.

Direktur Perencanaan Tenaga Kerja Arcadis, James Bryce mengatakan, jika upaya itu diterapkan, Inggris akan mulai merasakan kesenjangan keterampilan dan itu akan segera menjadi jurang keterampilan. Sebab, selama ini sektor konstruksi Inggris dibangun oleh tenaga kerja luar negeri selama beberapa generasi.

Siapkan Tenaga Kerja yang Kompeten, Kemnaker Ajak Jepang Investasi Pelatihan Bahasa

"Jadi, pembatasan apapun, baik itu Brexit langsung, atau perlahan akan memukul industri. Kehilangan lebih dari 200 ribu orang di dunia kerja, berarti meningkatkan biaya untuk bisnis, padahal kebutuhan rumah dan jaringan transportasi tidak boleh tertunda," tegas dia.

Selain itu, dalam beberapa dekade terakhir banyak dorongan besar terhadap pendidikan tinggi di Inggris untuk meningkatkan keterampilan khusus, mengingat jumlah orang Inggris yang miliki keterampilan khusus mulai berkurang dan sangat dibutuhkan, sehingga impor masih dibutuhkan sekaligus meningkatkan pelatihan.

Sementara itu, Kepala Parlemen Uni Eropa yang juga negosiator Brexit, Guy Verhofstandt mengatakan, sejumlah permintaan Inggris dalam negosiasi banyak yang tidak masuk akal. Bahkan, rencana menggunakan poin untuk pekerja Uni Eropa di Inggris dinilai mengurangi kebebasan.

Menurut dia, sistem poin akan membuat orang yang akan datang dan bekerja di Inggris harus mematuhi sistem penilaian, seperti mengajukan visa tinggal, harus bisa berbahasa Inggris, miliki keterampilan khusus dan berbagai element yang menyulitkan orang untuk bisa lakukan hal produktif.

"Untuk mendapatkan pekerja sesuai dengan sistem poin itu memang bagus, tetapi tentu itu membutuhkan waktu, sebab pelatihan tidak bisa dilakukan jangka pendek dan yang ada terjadi setengah menganggur dan itu bisa berdampak signifikan dan menekan industri tersebut," ujar Guy. (asp)

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya