UU Telekomunikasi Disarankan Direvisi
- flickr.com
VIVA.co.id – Di balik polemik revisi PP 52 tentang Telekomunikasi dan PP 53 tentang Spektrum Frekuensi, Radio dan Orbit Satelit, muncul isu baru, yakni merevisi UU nomor 36 tahun 1991 tentang Telekomunikasi. UU tersebut menjadi payung hukum dari kedua PP di atas.
Permintaan revisi ini tidak hanya muncul dari satu dua pihak. Beberapa pengamat dari berbagai bidang menyarankan adanya revisi UU Telekomunikasi terlebih dahulu ketimbang memaksakan revisi PP.
Salah satunya adalah Faisal Basri. Pengamat Ekonomi ini mengatakan, jika revisi ini harus memberikan dampak yang baik kepada masyarakat.
“Apapun yang dituju oleh revisi ini, faktanya, indeks ICT kita masih rendah, ada di peringkat 115. Kalau Undang-undang sendiri masih banyak yang harus diperbaiki kenapa tidak UU-nya dulu yang diubah,” kata Faisal di Jakarta, Selasa 29 November 2016.
Nada yang sama dilontarkan mantan anggota komite Badan Regulasi Telekomunikasi Indonesia (BRTI), Riant Nugroho. Menurutnya, Menteri Komunikasi dan Informatika (Menkominfo) dianggap melakukan kejahatan pada publik jika kedua revisi PP ini jadi disahkan.
“Jadi, harusnya diberhentikan dan dibahas ulang biar baik. Undang-undangnya pun harus direvisi, karena sudah kadaluarsa. Beliau harus berdiri netral di antara semua pihak," ujar Riant.
Sebelumnya, staf Ahli Kementerian Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan (Kemenkopolhukam) Desk Ketahanan dan Keamanan Cyber Nasional, Prakoso meminta, agar pemerintah menunda pengesahan RPP 52 dan 53 Tahun 2000. Alasannya, pengelolaan frekuensi sumber daya terbatas dan harus dikuasai oleh pemerintah, bukan dibagi-bagi kepada pihak swasta. (asp)