Waspadai Dampak Turunnya Nilai Tukar Rupiah
VIVA.co.id – Anggota Komisi XI DPR RI Heri Gunawan mengatakan, nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) mengalami penurunan yang tajam hingga hampir 4 persen. Bahkan, Rupiah sempat menembus level Rp13.731 per USD. Padahal, sebelumnya, rupiah masih bertengger di level Rp13.100-an per USD.
Menanggapi hal tersebut, Heri menilai penurunan rupiah itu lebih disebabkan oleh faktor eksternal, yaitu kemenangan Trump sebagai Presiden AS yang oleh sebagian kalangan dianggap mampu meningkatkan ekspektasi pasar atas kenaikan suku bunga di AS.
"Lebih dari itu, ada respon positif atas program-program ekonomi Trump seperti pemotongan pajak, rencana kenaikan suku bunga The Fred, serta dukungan dari kemenangan Partai Republik yang menyapu bersih kursi di kongres," ujarnya lewat siaran pers, Senin 14 November 2016.
Menurut Heri, pemerintah perlu mewaspadai dampak yang lebih luas dari penurunan rupiah pasca kemenangan Trump. Indikasi itu tidak hanya pada penurunan rupiah tapi juga penurunan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) yang sempat turun 56,36 poin atau setara 1,03 persen.
"Pemerintah mesti mewaspadai spekulasi pasar yang terjadi pasca kemenangan Trump. Harus diakui bahwa tidak semua kalangan pasar yang memberi respon positif atas kemenangan tersebut. Ada juga sentimen negatif yang muncul di pasar keuangan global. Untuk di Indonesia, dampaknya tidak hanya ke nilai tukar rupiah tapi juga bisa terhadap perekonomian nasional secara luas," ujar Heri.
Tentunya, sambung Heri Bank Indonesia harus terus memantau dan mewaspadai laju rupiah yang sudah mencapai angka di atas angka Rp13.500 per dolar AS. Ini sangat berbahaya dan mengkhawatirkan.
"Tentu, ini akan memberi efek sistemik khususnya terhadap beban pembayaran utang yang lebih besar lagi," ujarnya.
Heri menambahkan, dana cadangan devisa (cadev) yang per akhir Oktober USD115 miliar perlu didorong oleh BI untuk menstabilkan pasar. Sebab, jika tidak, sentimen psikologi yang negatif itu akan berdampak lebih luas lagi.
"Jangan sampai hasil dari raihan tax amnesty menjadi sia-sia, hanya dimanfaatkan oleh para spekulan besar yang bermain di pasar keuangan Indonesia," kata Politisi Gerindra ini.
Heri berharap BI terus berkoordinasi secara sinergi dengan kementerian/lembaga terkait guna menjaga kurs rupiah di level psikologis yang tidak berbahaya.
"Kalaupun terjadi pelemahan, tetap bisa terkendali dalam rentang yang wajar dan bersifat jangka pendek.
Heri mengatakan, pemerintah perlu mewaspadai agenda setting terselubung di balik ini. Sebab, jika kita tidak awas maka bisa jadi akan terjebak pada kondisi yang lebih parah lagi. Apalagi, dollar sempat melemah pasca kemenangan Trump. Sesuatu yang tidak terjadi pasca Pilpres AS. Ini agak aneh dan perlu diwaspadai karena akan menyebabkan pengalihan aset yang tidak menentu," katanya.
Masih kata Heri, sebaiknya kondisi politik dalam negeri yang relatif masih labil harus tetap dijaga.
"Tegakan hukum dengan sebaiknya. Jika tidak, maka itu akan beresonansi dengan posisi eksternal yang terlalu baik pasca Pilpres AS,”ujarnya.
Dengan adanya kondisi politik yang relatif labil itu, kata Heri maka klaim pemerintah bahwa Indonesia telah mencapai pertumbuhan ekonomi nomor 3 di dunia hanya jadi ‘pepesan kosong’ di tengah perlambatan ekonomi dunia yang bergerak antara 2.5 persen-3.0 persen, karena selama ini pun dari rezim ke rezim pergerakan sektor sudah riil ada diangka 5.0 persenan.
"Belum lagi, rontoknya rupiah akan berdampak luas pada performa ekspor yang sudah menurun, meningkatnya beban pembayaran bunga utang, sehingga stimulus untuk membangkitkan ekonomi riil akan tersendat," ujarnya. (webtorial)