Strategi Asuransi Gaet Masyarakat Kelas Bawah
- Dok.Dewan Asuransi Indonesia
VIVA.co.id – Survei Nasional Literasi Keuangan Otoritas Jasa Keuangan 2013 menyatakan tingkat literasi keuangan masyarakat Indonesia sebesar 21,8 persen.
Artinya, baru 21 dari 100 penduduk yang memiliki tingkat pengetahuan, pemahaman, keterampilan, dan keyakinan mengenai sektor jasa keuangan, produk, serta layanan.
Survei tiga tahunan ini juga menyebut Indonesia tertinggal jauh dibandingkan penetrasi negara tetangga Filipina, yang sudah di atas 30 persen dan Malaysia sekitar 70 persen.
Masih rendahnya tingkat literasi keuangan di Indonesia, antara lain, dipicu kurang imbangnya tingkat pertumbuhan industri jasa keuangan dan kesadaran masyarakat terhadap produk keuangan. Salah satunya produk asuransi.
Untuk mendongkrak pertumbuhan diperlukan penetrasi dan edukasi ke masyarakat, di antaranya melalui penyelenggaraan Hari Asuransi, serta bantuan dari lembaga keuangan mikro seperti koperasi serta pemerintah.
Sementara, Wakil Presiden Jusuf Kalla (JK) mengatakan, Dewan Asuransi Indonesia (DAI) harus meyakinkan masyarakat produk apa yang dibutuhkan dan cocok untuk mereka. Ia juga mengingatkan asuransi adalah bisnis kepercayaan.
“Dengan adanya endorsment dari Pak JK menjadi nilai lebih bagi kami. Ini investasi jangka panjang. Jangan sampai dana tidak terkelola dengan baik, perusahaan kolaps, lalu manfaat tidak dibayarkan. Tentu ini tidak kita harapkan,” kata Ketua Umum Panitia Hari Asuransi 2016, Srikandi Utami, kepada VIVA.co.id, Jumat, 4 November 2016.
Selain itu, ia mengatakan penetrasi juga memerlukan stimulus, promosi edukasi, dan teknologi informasi. Sebab, saat ini, DAI sedang berupaya menarik minat masyarakat menengah ke bawah seperti pelaku UMKM, nelayan, dan masyarakat pedesaan.
Stimulus di sini, lanjut Srikandi, adalah bagaimana asuransi bisa memasarkan produknya secara instan, alias tidak butuh waktu lama.
Ketika calon nasabah memutuskan untuk membeli produk, maka otomatis bisa segera menjadi peserta. “Klaim juga harus cepat. Tidak boleh lebih dari 10 hari sudah harus dibayar. Dan ini butuh teknologi,” ungkapnya.
Harga Terjangkau
Lalu, terobosan yang telah dilakukan adalah membuat produk semacam SIM card yang kemudian diaktifkan di telepon genggam. Dengan cara ini calon nasabah bisa langsung menjadi peserta asuransi.
Ini salah satu bentuk teknologi yang diterapkan dalam produk asuransi mikro. Mudah dan cepat. Akan tetapi, Srikandi menyatakan ada secuil hambatan.
“Dari sisi perusahaan tidak ada. Justru, kami terus mencari model dan jalur yang tepat seperti apa. Suatu model asuransi yang mudah diakses. Kami ingin asuransi bisa meng-cover semua kalangan. Asuransi itu bukan barang yang tidak bisa dibeli. Mereka bisa beli tapi dengan harga yang terjangkau,"tuturnya.
Berdasarkan Statistik Asuransi yang dirilis OJK, asuransi jiwa berkontribusi paling besar di antara sektor asuransi lainnya, dengan menyumbang pendapatan premi sebesar Rp61,17 triliun.
Diikuti oleh kontribusi pendapatan premi dari asuransi sosial, yakni BPJS Kesehatan dan Ketenagakerjaan, sebesar Rp55,24 triliun. Lalu, sektor asuransi umum Rp26,62 triliun, sektor reasuransi Rp6,17 triliun dan sektor asuransi wajib Rp5,77 triliun.
Dengan begitu, total premi industri asuransi mencapai Rp160,21 triliun per Juni 2016, dari posisi awal tahun ini yang hanya Rp24,67 triliun. Pertumbuhan pesat premi ini juga diikuti oleh peningkatan klaim.
Hingga enam bulan pertama tahun ini, industri asuransi tercatat membayarkan total klaim sebesar Rp99,25 triliun. Total klaim industri asuransi pada Januari 2016 hanya tercatat Rp16,95 triliun.
Klaim terbanyak berasal dari sektor asuransi sosial, yaitu Rp41,76 triliun. Diikuti oleh sektor asuransi jiwa sebesar Rp36,25 triliun, asuransi umum Rp14,38 triliun, asuransi wajib Rp4,56 triliun dan reasuransi Rp2,28 triliun.