Undang-undang Migas Dianggap Sangat Liberal, Perlu Direvisi
- VIVAnews/Ikhwan Yanuar
VIVA.co.id – Revisi Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi mendesak untuk segera diselesaikan. Ada beberapa poin penting agar revisi UU Migas yang telah molor sekian tahun tersebut dapat memberikan kontribusi yang positif dalam pengelolaan Migas di tanah air.
Urgensi yang pertama adalah karena UU ini dinilai sebagai UU yang sangat liberal yang bertentangan dengan semangat UUD 1945. Padahal UUD 1945 mengamanatkan segala kekayaan alam harus dikuasai oleh negara dan dikelola oleh negara.
"UU ini sangat liberal, dan ini sudah dibuktikan dalam hasil peninjauan dari MK (Mahkamah Konstitusi) bahwa itu bertentangan dengan UUD 1945. Misalnya menempatkan produk migas sebagai komoditas pasar. Nah, karena itu komoditas pasar maka segala sesuatunya itu harus ditentukan dengan mekanisme pasar. Ini yang bertentangan dengan UUD 1945," kata Mantan anggota Satgas Antimafia Migas, Fahmi Radhi, saat ditemui usai sebuah diskusi di Cikini, Jakarta Pusat, Sabtu 29 Oktober 2016.
Yang kedua, lanjut, Fahmi, bahwa PT Pertamina sebagai badan usaha milik negara migas yang sahamnya 100 persen dikuasai negara harus bersaing dengan perusahaan asing dalam setiap lelang pengelolaan lahan migas.
"Negara itu representatifnya kan BUMN, BUMN yang 100 persen dikuasai negara, dalam hal ini adalah Pertamina. Ironisnya, Pertamina selalu kalah bersaing dengan asing dalam merebut hak pengelolaan migas di wilayah sendiri," kata pengamat energi dari Universitas Gajah Mada (UGM) tersebut. Â
Semestinya, lanjut dia, ada perlakuan khusus kepada Pertamina sebelum Wilayah Kerja migas ditenderkan kepada perusahaan migas asing. Jika Pertamina tak menyanggupi barulah WK migas tersebut diserahkan untuk dikelola asing namun tetap ada kendali dari negara.
"Ditawarkan dulu kepada Pertamina, kalau Pertamina mampu ya silahkan pertamina, tapi kalau tidak mampu maka Pertamina bisa mengajak kerja sama perusahaan yang lain, tetapi di sini kan memang kendalinya adalah Pertamina. Itu yang diamanahkan dalam UUD 45," kata dia.
Sementara itu, yang ketiga, adalah bagaimana kejelasan kedudukan lembaga Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi yang saat ini masih menjadi pengelola kontrak migas dengan kontraktor kontrak kerja sama. Keputusan MK sudah menetapkan untuk membubarkan Badan Pelaksana Migas karena dinilai inkonstitusional lantaran tidak sesuai dengan UUD 1945.
"SKK migas ini kan ganti bajunya BP Migas. MK sudah membubarkan BP Migas tapi SBY (Presiden Susilo Bambang Yudhoyono) dengan cerdik mengubah SKK Migas menjadi di bawah Kementerian ESDM yang sifatnya sementara. Nah kalau ini misalnya terlalu lama, kalau BP Migas itu ilegal, SKK Migas itu juga ilegal," kata dia.
Padahal, imbuhnya, SKK Migas ini merupakan perwakilan negara dalam menandatangani kontrak. Bahkan, kontrak yang ditandatangani tersebut mencapai triliunan dolar Amerika Serikat.
"Kalau kemudian terjadi sengketa, terjadi pertengkaran, kemudian diadukan ke internasional arbitrase, yang dianggap (SKK Migas) itu ilegal. Maka itu risikonya terlalu besar bagi bangsa ini," kata dia.
(ren)