Suparmanto, Pencipta Kompor Batik Listrik Mendunia
- VIVA.co.id/Daru Waskita
VIVA.co.id – Nova Suparmanto, usianya kini baru 27 tahun, namun siapa sangka usaha yang digelutinya membuatnya menjadi seorang pengusaha muda yang mandiri. Ia kini memiliki 10 karyawan dan produk ciptaannya kini telah diekspor ke berbagai negara.
Berawal dari keinginannya membantu para perajin batik di Kampung Wukirsari, Kabupaten Bantul, Yogyakarta yang kesulitan dalam mencari energi untuk memanaskan malam (lilin).
Pria yang kini melanjutkan Studi S2 di Teknik Industri di Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta ini pun melakukan inovasi dengan menciptakan kompor dengan menggunakan listrik yang hemat energi dibandingkan menggunakan kompor atau tungku yang menggunakan minyak tanah sebagai energi utamanya.
"Kompor listrik itu tercipta berkat bincang-bincang dengan pembatik di Wukirsari sari yang mengalami kesulitan dengan ketersediaan energi dan keinginan agar panas kompor bisa stabil. Apalagi kerajinan batik kini telah diakui oleh UNESCO sebagai salah satu warisan budaya Indonesia," kata Nova di Bantul Yogyakarta, Kamis, 27 Oktober 2016.
Menurutnya ide membuat kompor listrik itu muncul tahun 2012 setelah satu tahun sebelumnya banyak berbincang dengan para perajin batik di Desa Wukirsari. Percobaan membuat kompor listrik pun dilakukan Nova dan akhirnya membuahkan hasil yang memuaskan.
"Terciptalah kompor untuk pemanas malam dengan suhu yang bisa diatur dan hasilnya malam bisa menempel dengan baik dikain dan tentunya hasilnya memuaskan," ungkap lulusan Teknik Informatika di Universitas Negeri Yogyakarta (UNY).
Dalam perkembangannya, kompor listrik yang diproduksi pun ada yang berbahan dari tanah liat, ada pula yang berbahan plat alumunium dan untuk memudahkan pemasaran, Nova mengaku mengambil brand Auto Elektric Stove for Bantil atau yang dokenal dengan singkatan Astoetik, perusahaan yang memiliki konsep pemberdayaan masyarakat sekitar.
"Saya sengaja mengajak beberapa pemuda di kampung saya untuk bekerja dirumah saya untuk melayani permintaan konsumen yang semakin banyak," katanya.
Setidaknya, dalam satu bulan kompor listrik Astoetik bisa diproduksi sebanyak 200 unit. Selain digunakan kalangan pembatik, kompor itu juga ada yang dipesan instansi pendidikan untuk pembelajaran membatik di sekolah.
Bahkan, menurut penuturan Nova, dia sempat mengirim kompor batik ke Australia untuk kepentingan pembelajaran. Produk-produk Astoetik yang dikembangkan Nova pun banyak diakui manfaatnya dan mendapatkan banyak apresiasi. Bahkan sembilan penghargaan pun telah disabet baik itu dari dalam maupun luar negeri.
"Untuk harga kompor listrik dari bahan gerabah mencapai Rp325 ribu per unitnya, kompor plat besi Rp290 ribu per unitny dan kompor cap sebesar Rp1,1 juta per unitnya," ujarnya.
Hastono Adi, karyawan di bidang riset dan pengembangan membeberkan, untuk kompor dari bahan tanah liat itu, perusahaannya bekerjasama dengan perajin tanah liat kasongan. Kompor dari tanah liat itu pun biasanya banyak disukai para pembatik karena bentuknya tradisional.
"Untuk perajin batik dalam negeri banyak yang suka kompor listrik dari tanah liat. Bentuknya tradisional," ujarnya.