Revisi PP Telekomunikasi Berpotensi Melawan UU

Ahmad Hanafi Rais
Sumber :
  • hanafirais.com

VIVA.co.id – Wakil Ketua Komisi I DPR RI Ahmad Hanafi Rais mengatakan, pihaknya melihat adanya potensi melawan Undang-undang (UU) dari revisi Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 52 Tentang Penyelenggaraan Telekomunikasi dan PP Nomor 53 Tahun 2000 Tentang Penggunaan Spektrum Radio dan Orbit Satelit, yang ingin dilakukan Kementerian Komunikasi dan Informatika.

Perusahaan Telekomunikasi Ikut Lestarikan Budaya Indonesia

Adapun UU yang dimaksud adalah UU Telekomunikasi Nomor 36 tahun 1999, di situ dijelaskan kalau frekuensi seharusnya dikuasai oleh negara. Sementara kalau melihat isi draft pada revisi yang ingin dilakukan Kominfo dikatakan bahwa frekuensi bisa dipindah tangankan berdasarkan keputusan Menkominfo.

Menurut Hanafi, revisi tersebut sangat berpotensi melanggar dan bakal jadi sorotan anggota dewan di Senayan.

Terungkap Cara Perusahaan Telekomunikasi bikin Pelanggan Makin Betah

"Ini akan jadi lebih rumit, cost (dari pemegang kepentingan) juga terpengaruh. Saham provider bisa terganggu, misalnya," ujar Hanafi di Komplek DPR RI, Rabu 26 Oktober 2016.

Ia menjelaskan, jika tujuannya ingin mendorong perkembangan teknologi di Indonesia, pemerintah seharusnya membuat aturan baru yang mencakup segalanya. Pemain over the top (OTT) seperti Facebook, Google cs serta soal network sharing dan yang lainnya sebaiknya diatur dalam satu paket.

'Tower Terbang' Mitratel Vs Starlink, Siapa Mengancam?

"Harusnya OTT seperti Google, Facebook, dan lain-lain juga harus diatur dalam UU yang baru nantinya. Baiknya dalam satu paket, dengan network sharing dan yang lain-lain juga," ujarnya.

Perdebatan soal revisi kedua PP Telekomunikasi juga jangan selalu diarahkan ke konteks teknis atau efisiensi. Karena di balik alasan itu ada kepentingan industri, yang tak melulu menguntungkan konsumen.

Hanafi juga menyarankan sebaiknya konsumen jangan selalu mengincar tarif murah, tanpa tahu mekanisme di baliknya.

Ia lantas menekankan isu panas tarif interkoneksi. Dimana seharusnya keputusan tarif interkoneksi diambil berdasarkan kesepakatan semua operator, bukan hanya dari menteri seorang.

"(Tarif interkoneksi) harusnya kesepakatan oleh semua operator, bulan dari menteri seorang. Malah surat edarannya ditandatangani oleh Dirjen. Ini menteri lepas tangan, kalau ada yang salah nanti dilempar ke Dirjen-nya," katanya.

Lebih lanjut, Hanafi mendesak agar surat edaran tidak diberlakukan atau dicabut. Sebab kalau sebatas ditunda, takutnya ditafsirkan kalau surat edaran tersebut masih bisa diberlakukan. "Kami akan bicarakan dengan menteri, kita akan lebih tegas. Kalau menterinya ndablek, kami akan langsung ke Jokowi," ujarnya.  (webtorial)

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya