Industri Siap Terima Harga Gas Domestik, Asalkan

Ilustrasi gas bumi
Sumber :
  • VIVA.co.id/Muhamad Solihin

VIVA.co.id – Harga gas domestik, dinilai sudah terlalu jauh di atas harga gas internasional. Bahkan, harga gas yang berlaku saat ini belum pernah mengalami penyesuaian sejak awal 2015.

Linde Umumkan Mulai Pasok Gas Indusri ke Smelter Freeport Indonesia

"Harga gas sekarang antara US$8,2-US$12,8 per MMBTU ( juta metrik british thermal unit) hingga sekarang. Padahal, harga di pasar global hanya sekitar US$3-US$7 per MMBTU," ujar Ketua Forum Industri Pengguna Gas Bumi di Jakarta, Achmad Safiun dikutip dari keterangan resminya, Rabu 26 Oktober 2016.

Menurut Safiun, tingginya harga gas yang harus dibayarkan industri disebabkan inefisiensi, baik di sektor hulu hingga hilir. Tingginya harga gas juga dipengaruhi oleh adanya pemburu rente yang terlibat dalam rantai distribusi pasokan gas di dalam negeri.

Bahlil Beberkan Alasan Kasih Gas Murah Buat 4 Perusahaan Ini

"Di hulu, sebenarnya kalau harga belum cocok, tidak perlu dikontrakkan. Harga gas mahal, juga karena pemerintah sangat lamban memutuskan, sebab perizinan terlalu panjang dan bertele-tele," ungkap Safiun.

Dia menegaskan, pelaku usaha juga siap mengikuti harga pasar, asalkan penetapan harganya wajar. Selain itu, harga gas harus konsisten sesuai dengan kemampuan industri. 

Kebijakan Gas Murah Diperpanjang, Asosiasi Produsen Pede Tingkatkan Daya Saing

"Tidak masalah, kami kan juga sudah biasa, misalnya harga BBM (bahan bakar minyak) non premium di pompa bensin," kata dia.

Anggota Komisi VII DPR, Satya W Yudha menjelaskan, harga gas domestik tidak bisa diukur dengan harga minyak dunia secara langsung. Sebab, formula harga gas domestik diukur dari tingkat kesulitan lapangan. Berbeda dengan harga gas ekspor, yang memang formula harganya mengikuti indeks harga minyak dunia.

"Kalau sekarang, formula harga gas berdasarkan kondisi tingkat kesulitan lapangan, yang harus diubah itu term yang ada dalam kontraknya," kata dia.

Menurut dia, setiap lapangan mempunyai term kesulitan yang berbeda-beda. Hal itu menunjukkan tingkat keekonomian sebuah lapangan. Kemudian, baru muncul harga gas.

"Maka, kenapa dalam satu lapangan itu bisa mempunyai harga gas yang berbeda–beda, walaupun dalam satu lapangan. Satu lapangan itu bisa dua PSC (production sharing contract), atau satu PS,  karena mereka tergantung dari bagi hasilnya," kata dia.

Merespons hal tersebut, pemerintah melalui Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) saat ini tengah mengkaji mekanisme hybrid dalam penetapan harga gas yang mengikuti pergerakan harga minyak dunia. Jika simulasi yang dilakukan berhasil, Indonesia akan meninggalkan rezim penetapan harga gas tetap, atau fixed dalam eskalasi tahunan.

"Skenario hybrid adalah salah satu cara yang sedang dibahas bersama seluruh stakeholder, termasuk badan usaha di sektor hulu, midstream, seperti trader, agar semuanya sejalan dan efektif dalam penyalurannya, sehingga memiliki margin yang wajar," kata Direktur Pembinaan Program Minyak dan Gas Kementerian ESDM, Agus Cahyono Adi.

Menurut Agus, dengan mekanisme hybrid diharapkan bisa melindungi seluruh pihak, baik pembeli atau kontraktor kontrak kerja sama (KKKS), karena ada batasan dan perhitungan yang jelas terkait hubungannya dengan fluktuasi harga minyak dunia.

"Jika langsung seperti LNG (liquefied natural gas), pada saat harga minyak di atas US$100 per barel, gasnya nanti bisa US$ 17 per MMBTU, US$ 18 per MMBTU. Dengan hybrid, ini kan jadi separuhnya hanya US$ 10 per MMBTU. Simulasi kita begitu,” tandas Agus.

Menurut Satya, yang harus dibenahi sebenarnya adalah kontrak bagi hasil atau PSC. Karena pada dasarnya tidak ada KKKS yang mau memgembangkan lapangan, jika harganya tidak sesuai dengan keekonomian. Untuk itu, harus ada jalan tengah antara KKKS dan pemerintah.

"Mungkin term-nya tidak bisa lagi 85:15, mungkin 60:40, atau bahkan negara bisa lebih kecil dari kontraktor 40:60, tergantung dari kesulitan lapangan," kata dia.

Satya mengatakan, untuk memperoleh harga gas rendah juga harus dilihat dari sisi bagi hasil. Bisa saja pendapatan negara berkurang, tetapi industri jalan karena itu gas kita ingin jadi penggerak ekonomi.

"Tetapi, harus dilihat lagi ada faktor yang tidak sederhana. Dari hilir ada toll fee ada trader yang tidak punya infrastruktur tapi bisa tentukan harga. Itu kan, juga jadi faktor," tambahnya. (asp)

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya