Bife, Wadah Penenun Asal NTT yang Tak Kejar Profit
- Istimewa
VIVA.co.id – Hampir setiap wirausaha memiliki misi untuk mengejar profit. Namun, berbeda dengan Usaha Kecil Menengah (UKM) satu ini, Bife adalah komunitas UKM yang mewadahi penenun dari Nusa Tenggara Timur (NTT). Bife saat ini mewadahi para penenun Desa Mollo, Amantun, dan Amanoban.
"Kita tidak ingin harus produksi 100 atau 500, tidak mikir ke situ. Kami ingin menukarkan cerita tenun. Para penenun memproduksi karena senang," kata salah satu pendiri Bife, Voni Novita kepada VIVA.co.id.
Voni menjelaskan, bahwa warga setempat NTT memiliki filosofi yang tinggi terhadap alam dan kehidupan. Filosofi tersebut tetap mereka pertahankan. Mereka melihat alam adalah bagian dari tubuh manusia.
"Hutan itu rambut, sungai itu aliran darah. Semua yang ada di alam itu seperti bagian dari diri mereka. Kalau merusak alam artinya, merusak tubuh mereka sendiri," ujarnya menjelaskan.
Tenun dalam adat setempat tidak dapat terpisahkan dalam kehidupan sehari-hari, menjadi simbol kemapanan perempuan untuk boleh menikah di NTT. Bife sendiri adalah bahasa setempat yang memiliki arti kata perempuan.
Kedekatan antara alam dan para penenun setempat yang menjadikan UKM ini tidak semata mengejar keuntungan finansial. "Kalau alam rusak enggak bisa lagi nenun. Semua harus jaga keseimbangan alam," ujarnya.
Bahan tenun ini terdiri dari kapas untuk benang. Pewarna alami, seperti mengkudu untuk penghasil warna merah, kunyit untuk penghasil warna kuning, tanaman indigo untuk penghasil warna biru, dan lain-lain. "Tapi, kebanyakan sudah banyak pakai benang yang ada di toko," ujarnya menambahkan.
Ia mengungkapkan, misi didirikannya Bife adalah untuk mengenalkan budaya tenun khas NTT ke masyarakat luas, khususnya anak muda. Alhasil, inovasi bentuk pun diciptakan. Awalnya hanya sarung dan selimut, saat ini disebutkannya diaplikasikan dalam bentuk dompet, buku jurnal, gantungan kunci. "Kalau baju baru akan diproyeksikan tahun depan," kata Voni.
Ia mengatakan, omzet yang dapat diperoleh dalam sebulan berkisar Rp25 juta-Rp30 juta. Produk Bife ini dipasarkan melalui pameran-pameran dan situs jejaring sosial (website). Penjualannya sendiri masih berfokus di dalam negeri.
Ia bercerita, bahwa Bife ini dirintis sejak 2010 dan resmi memiliki nama 'Bife' pada 2012. "Bife dibentuk untuk meningkatkan ekonomi mereka (masyarakat) dengan apa yang mereka punya. Menolak tambang yang merusak lingkungan.”
Jadi, beberapa waktu lalu ada perusahaan tambang dan tentara yang mendukung kegiatan tambang, namun hasilnya merusak kehidupan masyarakat dan lingkungan sekitar. Lalu, seorang Ibu rumah tangga yang menjadi pemimpin adat Mollo, Aleta Baun, berupaya melawan arogansi tersebut.
Aleta memberi alternatif sumber pendapatan ekonomi rumah tangga warga setempat dengan menggiatkan kembali sekaligus mengembalikan citra diri mereka sebagai suku yang berbudaya tinggi dan menjunjung keharmonisan dengan alam. Dari tangan perempuan penenun inilah lahir kain-kain cantik yang berkualitas dan ramah lingkungan. Setiap desa memiliki motif khas tenun masing-masing.
(mus)