Wawancara Ketua KPU, Juri Ardiantoro

KPU Harus Jelas 'Jenis Kelaminnya'

Ketua Komisi Pemilihan Umum, Juri Ardiantoro.
Sumber :
  • VIVA.co.id/M Ali Wafa

VIVA.co.id – Indonesia kembali menghadapi Pemilihan Kepala Daerah serentak, yang akan digelar di 101 daerah pada Februari 2017 nanti. Sebagai penyelenggara Pilkada, Komisi Pemilihan Umum harus menyiapkan ancang-ancang agar pesta demokrasi ini bisa berjalan sukses tanpa hambatan berarti.

Namun, kendala justru datang di awal, setelah Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 Tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota, disahkan menjadi undang-undang.

Setelah adanya perubahan, KPU selaku penanggung jawab mesti berkonsultasi dulu pada Dewan Perwakilan Rakyat jika mau membuat peraturan. Padahal, DPR berisi politisi yang notabene menjadi pendukung pasangan calon yang akan berkompetisi.

Alhasil konsultasi ini menuai polemik, terutama setelah tercipta aturan bahwa terpidana kasus percobaan boleh menjadi calon. Hal ini belum termasuk masalah calon tunggal, dan persiapan menghadapi sengketa hasil pilkada.

Persoalan lainnya, Presiden Joko Widodo juga meminta KPU agar membuat Pilkada serentak 2017 lebih semarak dibandingkan yang terdahulu. Termasuk menyiapkan infrastuktur teknologi informasi pada Pemilu Presiden 2019, menjaga independensi setiap komisioner, serta masa depannya di KPU.

Masalahnya, peran dan kemampuan KPU masih sangat terbatas. Jangankan bicara penambahan kapasitas, wewenang KPU di beberapa sisi masih sangat dibatasi, termasuk dalam formulasi kebijakan. Ini yang membuat “ruang gerak” KPU masih kurang leluasa.

Padahal independensi itu sangat penting bagi lembaga strategis seperti KPU untuk tetap menjaga obyektivitas dan kenetralannya dalam memastikan Pemilu maupun Pilkada yang demokratis, jujur dan adil.    

Bagaimana KPU menjawab semua tantangan itu, berikut petikan wawancara VIVA.co.id dengan ketua KPU, Juri Ardiantoro, di ruang kerjanya pada akhir September lalu.

Bagaimana posisi KPU pada Pilkada serentak 2017 ini?

Sebetulnya kalau pilkada langsung sekarang ini sejak tahun 2015 dan nanti 2017, KPU pusat tidak hanya koordinatif, tapi undang-undang sudah menegaskan sebagai penanggung jawab akhir dan umum dari keseluruhan pilkada.

Jadi secara teknis di daerah itu sebagai tanggung jawab di daerah, tapi kalau penanggung jawab utamanya itu ada di KPU. Sebagai bentuk tanggungjawabnya KPU membuat seluruh pengaturan, jadi seluruh aturan di Pilkada itu dibuat oleh KPU, dan mengendalikan seluruh tahapan di seluruh daerah, jadi tugasnya jadi lebih berat di Pilkada.

Setelah ada revisi Undang-Undang Pilkada, menurut Anda apakah lebih mumpuni?

Kalau menurut saya malah ada beberapa hal yang memperbaiki pengaturan, dari pilkada sebelumnya dengan lahirnya Undang-Undang Nomor 10/2016. Tapi dalam beberapa hal saya melihat perlu diperbaiki, atau menurut saya ini ada suatu yang kemunduran.

Bagian mana yang perlu diperbaiki?

Yang paling kelihatan dan terkait KPU adalah lahirnya pasal 9A Undang-Undang 10/2015, bahwa dalam pembuatan peraturan KPU dan pedoman teknis KPU harus berkonsultasi dengan DPR dan pemerintah, dan konsultasinya bersifat mengikat. Itu kan konsultasi saja sesuatu yang menurut KPU mengandung masalah, apalagi kalau hasilnya mengikat, itu hasilnya semua yang diputuskan itu harus dijalankan KPU. Betapa pun menurut KPU itu bertentangan dengan undang-undang, pasal itu membuat KPU tidak lagi independen dalam membuat peraturan. Padahal itu adalah jantung dari penyelenggaraan Pilkada itu.

Ketua KPU RI Juri Ardiantoro

Bukannya itu sedang digugat?

Ya, karena itulah maka beberapa kelompok masyarakat sudah menggugat, termasuk KPU juga mengajukan permohonan, di-review melalui uji materi ke MK. Beberapa pasal yang lain juga, misalnya, memang perspektif partai politik itu ingin mengembalikan Pilkada menjadi domain partai politik di tingkat pusat. Jadi sekarang ini apa yang diinginkan oleh partai politik di tingkat propinsi dan kabupaten/kota, harus disetujui dari dewan pimpinan pusat. Dalam konteks pemilu yang demokrasi dan penguatan daerah, Pilkada ini kan intinya penguatan demokrasi di daerah, kalau dengan pengaturan seperti itu kan bisa jadi dipahami sebagai resentralisasi. Pilkada sebagai kebijakan untuk memperkuat desentrailsasi politik, malah mengalami resentralisasi.

KPU tak ada kepentingan seperti itu, tapi kalau kita melihat kelahiran dari cita-cita reformasi politik, menurut saya menjadi penting.

Anda melihat ini sebagai langkah mundur dalam demokrasi?

Ya itulah, menurut saya iya. Mesti di-review, dipikirkan ulang apakah betul seperti itu.

Dalam perspektif Anda, apakah ini upaya partai politik agar bisa lebih dominan dalam pemilu, terutama menyangkut pembuatan kebijakan?

Ya, kan dalam pemilu itu kan sudah jelas siapa penyelenggara siapa peserta. Penyelenggara itu kan harus profesional dan mandiri, tidak boleh dicampuri pihak manapun dan oleh siapapun. Peserta punya hak untuk dilayani secara fair, adil oleh penyelenggara jadi tugas itu sudah jelas, tidak boleh masing-masing kewenangan itu dicampuri, baik penyelenggara maupun peserta, dalam hal ini partai politik.

Kewenangan konsultasi itu mengikat KPU, kemarin kan ada masalah kewenangan terpidana hukum. Apakah anda melihat kebijakan ini kontraproduktif?

KPU sudah punya pendirian bahwa terpidana itu kecuali karena kealpaan ringan atau curva levis, atau alasan karena alasan politik itu tidak bisa menjadi calon, apapun jenis pidananya. Maka ketika DPR Merumuskan bahwa jenis terpidana yang tidak dipenjara atau tidak dikurung itu boleh menjadi calon, bagi KPU itu sesuatu yang tidak sama dengan yang dimaksud undang-undang. Sikap KPU kan berbeda, bahwa kemudian DPR sudah memutuskan dan itu harus dipatuhi KPU kan itu situasi konstitusionalnya begitu.

Dan tentu bagi yang tidak setuju ada jalannya untuk melakukan gugatan itu, kami persilakan saja.

Gugatan uji materi mempengaruhi tahapan pelaksanaan Pemilu nanti atau tidak?

Itu ya kita kembalikan pada prinsip hukum, bahwa keputusan itu tidak berlaku surut, kecuali diputuskan lain, jadi apa yang sekarang berjalan ya berjalan, dan nanti yang diputuskan kemudian akan mengikuti seiring perjalanan.

Kalau pada akhirnya proses pencalonan itu ada verifikasi, jadi ambigu tidak, mereka yang dihukum percobaan karena ada syarat calon tidak memiliki catatan secara hukum?

Itu bisa dipahami begitu, tapi kalau KPU kan normatif saja, sepanjang persyaratan normatif itu dipenuhi para calon itu tidak masalah, sebetulnya yang dimaksud tidak tercela itu kan hanya dipenuhi persyaratak SKCK, Surat Keterangan Catatan Kepolisian jadi kepolisian itu tidak memberi vonis ini tercela tidak tercela, kepolisian hanya memberikan catatan, bahwa ini pernah ini, dan ini tidak pernah. Misalnya terpidana, dalam catatannya kan ada misalnya terpidana percobaan, polisi tidak membuat kesimpulan seseorang itu tercela atau tidak.

Apakah aturan ini juga akan berlaku sama di Pilpres, atau ada rencana merubah peraturan itu kembali?

Ya kalau UU Nomor 10 Tahun 2016 ini kan memang mengatur tentang Pemilihan Kepala Daerah, dan kalau untuk Pilpres dan Pileg nanti saya belum tahu apakah nanti ketentuan itu diadopsi kembali atau tidak nanti kita tunggu saja.

Ketua KPU RI Juri Ardiantoro

Tapi kalau semangat KPU sendiri bagaimana?

Kalau KPU kan kita hanya menjalankan ketentuan dalam Undang-Undang saja, kebetulan dalam UU Pilkada Nomor 10 itu KPU punya pandangan tersendiri bahwa yang dimaksud dengan Terpidana, apapun jenisnya kecuali yang tadi itu (qualquality dan politik – suara tidak jelas) itu tidak boleh. Kalau pembuat Undang-Undang mempunyai tafsir yang berbeda yaa, itu lah faktanya. Kalau kita kan jelas komitmennya, jangankan terpidana. Anggota yang sudah terpilih atau legislatif terpilih yang dia ditetapkan sebagai tersangka saja, KPU itu usulkan untuk menunda pelantikannya, selama ini kan begitu, belum terpidana loh ya.

Sejauh ini bagaimana perjalanan Pilkada di daerah-daerah?

Secara umum tahapan yang berjalan di daerah lancar, bahwa ada beberapa masalah itu biasa tapi bisa segera diatasi. Misalnya masih ada dukungan ganda partai politik, lebih dari satu calon. Berarti KPU mesti berkoordinasi.

Bagaimana dengan calon tunggal di beberapa daerah?

Ya, termasuk calon yang mendaftar hanya satu pasangan calon, berpotensi untuk adanya calon tunggal. Terhadap itu kan KPU membuka pendaftaran ulang untuk memperpanjang.

Ada kritik dari masyarakat, bahwa calon tunggal itu sebagai lobi politik dari petahana, sehingga menutup peluang calon lain mendaftarkan diri. Itu bagaimana?

Ya macam-macam sebabnya kenapa bisa jadi hanya satu pasangan calon. Bisa jadi karena partai enggak berani mengajukan calon lebih dari satu, karena takut kalah atau memang karena sebab lain. Tetapi kepentingan untuk menelisik apa sebabnya itu menjadi kehendak masyarakat.

Bukankah secara demokrasi itu akan menciptakan iklim tidak sehat?

Ya memang, dari perspektif pendidikan politik, dalam demokrasi mestinya masyarakat diberikan pilihan yang banyak. Tidak disodorkan satu saja, sehingga masyarakat diberikan pilihan untuk menimbang-nimbang mana yang terbaik. Itu salah satu wajah dari demokrasi kita.

Presiden pernah kritik bahwa Pilkada 2015 kurang booming, sedangkan sekarang karena pemberitaan media juga, nuansa Pilkada terkesan meriah di Jakarta. Sementara di daerah tak terlihat. Presiden ingin bahwa Pilkada sekarang lebih booming.

Pada 2015 itu tidak terlihat booming atau ramai itu karena calon tidak diberi keleluasaan untuk berkampanye. Calon itu dibatasi, seperti bahan kampanye, alat peraga kampanye, baliho, spanduk dan lain sebagainya. Itu semua tidak boleh dibuat oleh calon, tapi dibuat oleh KPU yang anggarannya terbatas. Begitu juga iklan, tidak boleh dibuat mereka.

Wajar kemudian kalau Pilkada menjadi sepi. Maka di pilkada 2017 itu sekarang dimungkinkan calon itu bisa menambah alat peraga, bahan kampanye supaya menjadi lebih semarak. Tapi untuk iklan, itu belum bisa dan hanya diproduksi oleh KPU.

Tapi dalam menentukan alat peraga itu, KPU menentukan jumlahnya berapa, jenisnya apa saja untuk setiap pasangan calon, dan dipasang di mana saja. Tidak boleh dipasang sembarangan, disamping sudah ada ketentuan tidak boleh dipasang di tempat ibadah, lembaga pendidikan, juga tempat umum yang tidak diperbolehkan. Oleh karena itu, KPU provinsi, kabupaten/kota itu harus mendapatkan rekomendasi oleh Pemda tempat mana saja yang boleh dipasang dan tidak. Dan tempat itu harus dibuatkan keputusannya oleh KPU daerah.

Untuk menjaga ketertiban, kerapian di samping di daerah itu memang sudah punya aturan sendiri, daerah mana yang boleh dipasangi alat peraga ini.

Soal persiapan Pemilu 2019, terutama wacana penggunaan e-vote, apakah masih berjalan?

Ada banyak aspirasi, termasuk pemerintah yang mendiskusikan, bppt dan beberapa keompok masyarakta yang mendiskusikan mengenai apakah sudah saatnya KPU sudah bisa menggunakan pemilu elektronik atau evoting pada pemilu 2019. Sebetulnya KPU sudah lama merespon kepentingan ini dengan cara membentuk tim kajian, yang terdiri dari para pakar, pakart IT, pakar hukum, politik, budaya, untuk mengkaji kemungkinan ini, atau membuat semacam road map pemanfaatan ICT atau teknologi informasi dalam pemilu.

Kajian yang kemudian didapatkan oleh tim ini adalah, dan ini menjadi kebijakan KPU, bahwa teknologi penting dalam pemilu, pertanyaannya apakah sudah saatnya e-voting atau e-counting? KPU beranggapan bahwa selain kesiapan teknologi, dan itu bisa disiapkan oleh putra-putri Indonesia, tapi yang perlu disiapkan juga adalah sejauh mana masyarakat atau peserta pemilu mempercayai teknologi itu sebagai instrumen untuk pemilu yang demokratis. Jadi jangan sampai ketika kita menggunakan teknologi itu orang enggak percaya hasilnya.

Kita kan begitu, yang tidak pakai e-voting saja setiap pemilu selalu ada fitnah bahwa pemilu ini tidak fair karena ada manipulasi IT. Wong pemilunya enggak pakai IT kok.

Kedua, salah satu esensi atau kebanggan kita dalam pemilu itu kan ramai-ramai di TPS, pestanya, pesta demokrasi. Masyarakat itu senang dengan hadir ke TPS dan tepuk tangan, sorak-sorai, nanti kalau e-voting akan menghilangkan tradisi itu.

Ketua KPU RI Juri Ardiantoro

Kenapa nuansa itu bisa hilang kalau e-voting?

Kalau e-voting orang semua datang sudah tinggal pencet saja. Enggak ada menghitung suara,  sorak sorai sah,  enggak ada lagi itu. Suara langsung dikirim ke server kan.

Dan ketiga, Pemilu di Indonesia itu pemilu yang sangat terbuka, pemilu di TPS itu sangat terbuka, sehingga tidak mungkin, atau sulit sekali orang berbuat curang di situ. Mana yang tidak terbuka. Semua menyaksikan, semua saksi ada.

Justru yang dikhawatirkan orang itu kan perjalanan surat suara. Oleh karena itu teknologi yang dibutuhkan itu bukan untuk menggantikan orang menghitung suara, tapi teknologi untuk mengamankan suara. Maka rekomendasi KPU itu yang dibutuhkan sekarang itu e-rekap,  jadi rekapitulasi elektronik yang bisa mengirimkan suara dengan cepat dan aman. Bukan e-voting atau e-counting, makanya sekarang di 2017 KPU sudah merancang ke sana disamping scan C-1 KPU juga melakukan rekapitulasi untuk prakondisi.

Yang keempat, bukti KPU itu menganggap penting teknologi dan sistem informasi dalam pelaksanaan pemilu itu, KPU secara parsial kan sudah menggunakan ini. Jadi sekarang itu banyak sekali sistem informasi atau aplikasi yang digunakan oleh KPU. Mulai sistem distribusi logistik kita bisa pantau melalui Portal KPU.

Ada SIDALIH untuk orang agar bisa mengecek peserta pemilu dan daftar pemilu. Kemudian, ada SITAP untuk pencalonan ini. Kemudian ada scan C1,  SITUNG, dana sebagainya. Hampir semua ada sistem aplikasinya sekarang itu. Sehingga memang, kita ingin memodernisasi pemilu, disaat yang sama kita ingin memastikan bahwa seluruh pihak itu percaya bahwa teknologi itu penting dan aman.

Bagaimana soal penerapan e-recap ? Apakah nanti dari TPS saja tabulasi suara langsung ke pusat atau ada cara lain?

Pilkada di Depan Mata, KPU Segera Terbitkan DPS hingga PKPU Pencalonan dan Dana Kampanye

E-recap itu kan terserah nanti modelnya seperti apa, apakah mau diinput di PPK sehingga datanya langsung ke Pusat. Atau langsung di-scan saja di formulir itu dan langsung ke Pusat, kan macam-macam caranya.

Ada juga teknologi baru, sekarang kalau orang nulis itu bolpointnya sudah memiliki kamera dan blutooth, sehingga orang nulis angka itu sudah bisa langsung terrecap. Kalau soal teknologinya sih banyak ya nanti.

Hasil Rekapitulasi PSU Pemilu 2024 di Kalimantan Timur

Jadi persoalannya hanya teknologi yang belum ditentukan?

Ya, bukan hanya itu saja. Soal keputusannya juga belum. Kalau soal teknologi sih nanti kita bisa buat, banyak orang Indonesia itu yang pintar-pintar untuk buat itu.

Irman Gusman Lolos jadi Anggota DPD RI dari Sumatera Barat Hasil PSU

Artinya keputusan untuk menggunakan itu apakah belum ada?

Belum. Tapi uji coba oleh KPU sudah mulai.

Apakah di Pilkada 2017 ini?

Di Pilkada ini kita lagi rancang, nanti kita lihat kemungkinannya. Tetapi kita ingin ada ujicoba e-recap. Jadi scan C1 seperti selama ini, sekaligus itu bisa membaca angka dan langsung direkap.

Ketua KPU RI Juri Ardiantoro

Masyarakat masih skeptis soal proses tabulasi suara. Misalnya pada Pemilu tahun 2009, sistem tabulasi nasional di Hotel Borobudur itu kan sempat down. Bagaimana KPU mengantisipasi agar hal itu tidak terjadi lagi?

Yah itu tadi, misalnya kesiapan teknologi itu penting. Jangan sampai kayak Pemilu 2009 itu, lebih cepat manual daripada tabulasi, sehingga menimbulkan kecurigaan di masyarakat.

Kedua, kalau pun nanti benar-benar digunakan, maka teknologi itu harus betul-betul mendapatkan pengakuan secara resmi yang melewati tahapan sertifikasi, uji coba atau pengujian, dan lain-lain. Kemudian kita semua men-declare-kan kita semua percaya sama teknologi itu, dan kemudian kita pakai dan bisa diaudit misalnya begitu. Kalau itu, menurut saya bisa kita kerjakanlah, karena banyak teknologi kepemiluan di negara-negara lain sebagian dikerjakan oleh orang-orang Indonesia.

Bagaimana persiapan menghadapi gugatan pada Pilkada 2017 nanti, apakah KPU Pusat sudah berkoordinasi dengan KPU daerah?

Bukan koordinasi. Sekarang itu kita sudah melakukan rakor (rapat koordinasi) untuk menghadapi sengketa pilkada, kita sudah siap untuk itu, kita kan pernah pengalaman Pilkada sebelumnya.

Kalau melihat undang-undang sendiri kemungkinan potensi menghadapi gugatan Pilkada 2017 ini gimana, apakah akan sebanyak Pilkada 2015 lalu?

Yaa, saya berharap sih dan saya katakan pada pembukaan Rakor KPU seluruh Indonesia kemarin, kita berharap tidak ada satu pun gugatan. Tapi yang namanya Pemilu, arena memburu kekuasaan pasti ada saja orang yang tidak puas, pasti ada saja gugatan. Oleh karena itu kita siap-siap. Tetapi kalau melihat potensinya, kelihatannya lebih besar 2015 lalu tensi terjadinya sengketa, karena dulu daerah pemilihan kan lebih banyak, 269, sekarang itu 101 daerah. Dari 269 bahkan sampai ada yang tertunda kan.

Kedua, dulu itu ada partai yang berkonflik ada PPP dan Golkar. Sekarang kan sudah tidak, walaupun ada partai yang masih konfliknya belum selesai seperti PKPI sekarang kan.

Soal kewenangan Bawaslu, DPR menginginkan agar Bawaslu bisa menindak adanya pelanggaran dan memberi sanksi secara langsung. Bagaimana KPU bagaimana melihat itu?

Bagus saja menurut saya. Bahkan kalau bisa menertibkan penyelesaian permasalahan dalam Pemilu. Karena selama ini kan banyak sekali lembaga yang menerima komplain dari keputusan KPU maupun Bawaslu. Jadi orang-orang yang tidak puas dengan keputusan KPU dan Bawaslu kan bisa komplain kemana-mana, Bawaslu, ada DKPP, Pengadilan Negeri, Pengadilan Tata Negara, dan lain-lain. Nah, mestinya kan bisa disatukan. Kalau sengketa, misalnya Bawaslu kewenangannya diperkuat dan dipertambah. Jadi tidak ada yang lain-lain lagi yang bisa menerima sebuah perkara, karena kesulitan KPU selama ini banyaknya yang komplain kasus yang sama terhadap lembaga pengadilan yang berbeda dan putusannya berbeda-beda. Makanya saya kira penguatan kewenangan Bawaslu penting.

Kalau rencana membuat lembaga pengadilan khusus menangani sengketa pemilu atau pilkada itu sudah sejauh mana sekarang itu pak?

Belum, belum tahu. Itu rencananya akan diusulkan di perubahan UU Pemilu nanti, supaya ada penanganan terpadu, penegakan hukum terpadu, jadi lebih terintegrasilah nanti itu.

Kalau melihat persiapan sekarang, baik untuk Pemilu 2019 maupun Pilkada 2017 nanti apa sebenarnya persiapan yang mendesak atau prioritas harus diselesaikan?

Kalau persiapan sih sudah on the track. Teman-teman sudah mulai jalan, anggaran sudah tidak ada masalah. Jadi sebetulnya tinggal jalan saja sesuai tahapan, mematuhi peraturan, jangan memihak, udah selesai.

Ketua KPU RI Juri Ardiantoro

Nah, Bagaimana KPU menjaga netralitas agar tidak memihak itu, karena meskipun lembaga tapi kan anggota pasti memiliki nilai subjektif?

Saya selalu katakan dengan teman-teman daerah, biar bagaimana pun teman-teman KPU Provinsi, Kabupaten/Kota di daerah itu kan sudah menjadi elit di daerahnya. Dan secara pribadi mungkin ada saja dari mereka mempunyai hubungan dengan calon,entah hubungan keluarga, sahabat, saudara,dna sebagainya. Tapi mereka harus tahu posisi bahwa saat pilkada posisinya berbeda, dan harus tahu dengan posisinya, sebagai penyelenggara pemilu/pilkada mereka harus independen, kalau tidak independen mereka bisa dihukum baik itu pidana maupun etika, sehingga tidak boleh ada keberpihakan dan dia tidak boleh kelihatan berpihak.

Jadi dia tidak boleh membela, termasuk dia tidak boleh kelihatan membela. Kelihatan membela itu seperti dia tidak boleh menimbulkan persepsi masyarakat bahwa dia berbeda, misalnya dia terlihat jalan bareng, minum kopi bareng selama proses ini, itu tidak boleh.

Dan itu sudah masuk dalam pakta integritas dan semua orang bisa mengawasi itu.

Kalau fakta seperti beberapa kasus dugaan keberpihakan penyelenggara pemilu, misalnya di Jawa Timur, itu bagaimana?

Iya itu tadi, makanya tidak boleh penyelenggara itu berpihak dan kelihatan berpihak kalau terbukti keberpihakannya pasti diadili dan kalau terbukti pasti dihukum. Beberapa kan memang ada tuh kasus baik KPU Daerah, ada yang diberhentikan sementara, diperingatkan, diberhentikan tetap, dan sebagainya. Ada juga Panwas yang diberhentikan karena tidak netral. Itu jelas dalam pakta integritas kita. Kalau terbukti melanggar dan tidak mau netral kita pecat.

Ada perdebatan soal mekanisme KPU dalam reformulasi dukungan parpol bagi calon yang hanya memiliki calon tunggal di daerah-daerah. Di UU Pilkada jelas dikatakan bahwa partai politik yang sudah menetapkan dukungannya tidak boleh menarik kembali dukungannya. Di sisi lain, KPU membuka ruang itu agar ada upaya maksimal tidak muncul calon tunggal. Bagaimana Anda melihatnya?

Itu sebenarnya bukan pertentangan. Memang partai yang sudah mengajukan calon itu tidak boleh tarik dukungan, kemudian calon yang sudah ditetapkan enggak boleh mundur. Tapi pemilih itu kan harus ada lawan, maka kalau yang daftar itu hanya satu, bagaimana supaya calon itu bisa lebih dari satu.

Maka pengaturannya itu harus ditunda, kalau partainya sudah tidak ada lagi, maka kita buat ketentuan agar bisa dibongkar ulang untuk tercipta kondisi agar yang mendaftar bisa lebih dari satu. Kalau partainya sudah habis kan tidak mungkin tidak dibongkar untuk menciptakan calonnya bisa ada dua atau lebih. 

Berbeda kalau, yang mengajukan cuma satu, tapi di luar masih ada partai politik yang kursi atau suaranya cukup untuk menyalonkan tapi dia tidak mencalonkan kandidat lain. Kalau itu tidak boleh dibongkar, karena untuk apa dibongkar kalau partai lain bisa mencalonkan.

Mungkin bisa dianggap bertentangan ya, tapi sebenarnya prinsip hukum kan biasa sebenarnya, bahwa satu pasal itu bisa batal dengan ketentuan pasal yang lain. Nah, tapi memang kan ada batasnya sampai kapan, jadi usaha membuka itu sebenarnya melaksanakan apa yang dikatakan oleh Mahkamah Konstitusi itu harus ada upaya yang sungguh-sungguh untuk tidak hanya muncul satu calon. Kalau kita sudah buka kemudian tetap hanya satu calon yaa kan undang-undang membolehkan hanya satu calon saja kan.

Artinya itu tidak dikhawatirkan akan membuka celah KPU digugat kemudian hari?

Kalau kita sih jangankan membuat keputusan, nengok kanan kiri saja kita digugat. Kita siap-siap saja kalau digugat.

Saat ini kan sudah berlangsung pencalonan Komisioner KPU periode 2017 – 2022, tim seleksi sudah dibentuk dan lain sebagainya. Apakah Anda akan maju lagi?

Ya, belum tahu sih. Tapi kecenderungannya sih tidak.

Kenapa tidak mencalonkan lagi?

Ya enggak lah, sudah cukup lama juga di KPU kan, gantian lah.

Ketua KPU RI Juri Ardiantoro

Apakah tidak memiliki keinginan untuk melanjutkan tugas berat di KPU agar KPU ini bisa lebih baik lagi?

Tidak lah,itu kan cara berpikir orang yang tidak mau melepaskan kekuasaan.

Apa sudah merasa paripurna?

Tidak juga. Orang itu kan harus bisa merefleksikan bahwa tidak bisa kita berada disitu terus-terusan apalagi disitu ada kekuasaan. Sekali-kali mengambil keputusan untuk kita menjadi orang yang biasa saja.

Apa sudah ada target lain, ikut berpolitik praktis di partai politik misalnya?

Tidak juga. Kita tidak tahu juga mau jadi apa selanjutnya nih. kita serahkan saja kepada Gusti Allah.

Tapi saya punya pemikiran teman-teman yang lain harus ada yang melanjutkan supaya ada kesinambungan dari sebelumnya. Sekarang itu sudah bagus kok, sudah kompak, bisa menjaga diri.

Menurut anda tugas apa yang harus dilakukan komisioner berikut, berkaca pada tugas yang belum selesai saat ini?

Yang belum selesai itu soal kelembagaan KPU. KPU itu harus jelas jenis kelaminnya sebagai lembaga independen, sehingga pengaturan dalam undang-undangnya harus jelas. Sebagai lembaga negara tetapi dalam ketentuannya komisionernya tidak disebut sebagai pejabat negara. Tetapi menjadi program tersendiri dalam hubungan kelembagaan.

Sumber KPU itu juga belum selesai. Sampai saat ini KPU itu tidak memiliki kantor sendiri, apalagi di daerah, sekarang moratorium kan tidak boleh membangun kantor. SDM KPU Sekretariatnya juga belum ideal, di samping strukturnya belum ada.

KPU itu besar loh, ada 500 lebih kantor di seluruh Indonesia, tapi pejabat eselon satunya cuma satu, yaitu Sekretaris Jenderal. Coba bandingkan dengan lembaga lain, DPR itu kesekjenan ada, deputinya lain, eselon satu ada berapa orang itu.

KPU eselon satu hanya satu orang. Bahkan inspektorat yang kerjanya itu memeriksa itu posisinya eselon dua, jadi harus ada penambahan deputi, kemudian inspektoratnya juga ditingkatkan jabatan eselonnya. Jadi bagaimana mau periksa eselon 1 kalau inspektoratnya eselon 2? Itu saja yang belum selesai ke depan.

(ren)

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya