Peringkat Daya Saing RI Turun, Ini Pemicunya

Ilustrasi proyek jalan tol
Sumber :
  • VIVA.co.id/Anhar Rizki Affandi

VIVA.co.id –  Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) menilai selama dua tahun kepemimpinan Presiden Joko Widodo dan wakil Presiden Jusuf Kalla, implementasi Nawacita di bidang ekonomi masih jauh dari harapan.

BPS: Pertumbuhan Ekonomi Indonesia di 2021 Capai 3,69 Persen

Atas hal itu, agar Nawacita ekonomi benar-benar nyata dalam implementasi, INDEF memberikan catatan dan evaluasi dua tahun kinerja pemerintah di bidang ekonomi dengan fokus pada aspek daya saing, kemandirian ekonomi dan membangun dari pinggir.

Salah satu peneliti INDEF Eko Listiyanto memaparkan berdasarkan data peringkat daya saing global dari World Economic Forum, terkait Global Competitiveness Index (GCI) atau peringkat daya saing global pertumbuhan ekonomi Indonesia menurun. 

BI Proyeksi Pertumbuhan Ekonomi RI 2022 Maksimal 5,5 Persen

"Nah Kalau kita perhatikan, ini saya bikin rangkuman, sebetulnya dua tahun ini peringkat GCI kita turun gitu. Ini berbicara banyak hal, karena yang diukur adalah dari indikator yang basic kepada yang sangat teknologi. Ada inovasi juga termasuk di situ," kata Eko di saat diskusi bertajuk dua tahun Nawacita: lampu kuning produktivitas dan daya saing di kantor Indef, Jakarta, Kamis 20 Oktober 2016.

Eko menyebut, saat tiga tahun sebelum periode Jokowi dan JK, peringkat Indonesia cukup bagus, mulai dari peringkat 50 kemudian membaik dengan naik peringkat ke 38 dan terakhir sebelum Jokowi-JK ditutup dengan peringkat 34.

Pertumbuhan Ekonomi 5,5 Persen pada 2022 Dapat Tercapai Jika...

“Tapi kemudian dua tahun terakhir ternyata menurun, dari surveinya World Economic Forum, di Global Competitiveness Index (GCI) ini menujukan rangking kita menurun, ini seperti anak sekolah juga. Kalau peringkat menurun seharusnya mengevaluasi diri. Kok rangking kita jadi turun," ujar Eko.

Ia menjelaskan, banyak faktor dan indikator yang menyebabkan hal itu turun. Dia menyebut, salah satunya seperti dari sisi penilaian hal-hal dasar, yakni seperti penilaian dari segi institusinya.

Ternyata penilaian itu mengalami pemburukan, dari peringkat 55 pada tahun lalu malah turun pada tahun 2016 ini. Selain itu juga ada yang lebih mendasar, soal kesehatan dan pendidikan dasar, dari peringkat 80 langsung turun ke peringkat 100.

"Itu luar biasa. Naik tapi memburuk. Terus kemudian dari sisi efisiensi. Terutama ada yang bagus ada yang meningkat, karena yang dinilai faktornya juga banyak. Yang menarik, yang turun itu efisiensi pasar. Pasar kita kelihatan semakin tidak efisien," tuturnya.

Tak hanya itu, Eko juga menuturkan, Indonesia juga kalah dalam hal inovasi dan efisiensi dalam bidang ekonomi dibanding sejumlah negara lain. Selain itu juga di dalam GCI itu juga ada faktor bagaimana persepsi pengusaha terhadap bisnis dan investasi di bidang perekonomian di Indonesia. Sebab, ada tiga masalah utama yang selalu ada setiap tahunnya, yakni korupsi, efisiensi birokrasi dan sarana dan prasarana infrastrukturnya.

Eko melanjutkan, sehingga yang menjadi permasalahan Indonesia dalam peringkat daya saing global, ada empat. Pertama memburuknya peringkat daya saing global. Kedua, paket ekonomi minim implementasi. Ketiga, kemudahan berbisnis tidak membaik dan keempat, peran Industri manufaktur kian luntur.

 

Kepala Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kemenkeu, Febrio Kacaribu.

Kemenkeu: Pertumbuhan Ekonomi 2021 yang Dirilis BPS Sesuai Prediksi

BPS baru saja merilis pertumbuhan ekonomi Indonesia di kuartal IV-2021 sebesar 5,02 persen dan sepanjang 2021 3,69 persen.

img_title
VIVA.co.id
7 Februari 2022