- Raden Jihad Akbar/VIVA.co.id
VIVA.co.id – Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat penduduk miskin di Indonesia pada Maret 2016 mencapai 28,01 juta atau 10,86 persen dari jumlah penduduk. Angka tersebut turun 0,50 juta orang dibanding September 2015 yang kala itu tercatat sebesar 28,51 juta orang, atau 11,13 persen dari total penduduk Indonesia.
Data BPS juga menunjukkan, jumlah orang miskin di Indonesia sejatinya bertambah saat ini. Di akhir pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) tepatnya pada September 2014, angka kemiskinan tercatat sebesar 27,72 juta. Sedangkan pada semester I 2015, setelah Presiden Joko Widodo menjabat, jumlah orang miskin melejit menjadi 28,5 juta orang. Setelah itu, memang jumlah penduduk miskin terus mengalami penurunan hingga posisi terakhirnya pada Maret 2016.
Guna menekan angka kemiskinan, pemerintah terus mendorong pelaksanaan program-program bantuan sosial. Mulai dari sekolah gratis, hingga pemberian secara rutin komoditas pangan pokok, yaitu beras untuk masyarakat miskin.
Namun, di era kepemimpinan Jokowi, program pengentasan kemiskinan yang diterapkan tidak jauh berbeda dengan pemerintahan sebelumnya. Hanya saja pelaksanaannya dibuat lebih terfokus dengan menggunakan sistem yang lebih segar dan terintegerasi, salah satunya lewat kartu sakti yang telah disebar saat ini.
Dengan harapan penerimanya bisa tepat sasaran dan pada akhirnya dapat menekan angka kemiskinan.
Jurnalis VIVA.co.id, Chandra G Asmara beberapa waktu lalu berkesempatan melakukan wawancara khusus dengan Kepala BPS, Suhariyanto, yang baru dilantik pada 15 September 2016, untuk menggali lebih lanjut mengenai potret kemiskinan, dan rekomendasi arah kebijakan yang ideal diterapkan pemerintah.
Dalam kesempatan itu, pengganti Suryamin tersebut juga mengungkapkan potret kegiatan ekonomi di Indonesia, yang terangkum dalam sensus ekonomi tahap pertama yang dilakukan oleh BPS tahun ini. Dia juga menjabarkan apa saja yang akan dilakukannya untuk meningkatkan kinerja lembaganya. Khususnya dalam penyajian data yang akurat bagi pemerintah guna menentukan arah kebijakan.
Berikut petikan wawancara yang dilakukan pada Jumat 30 September 2016 di ruang kerjanya.
Dari tahun ke tahun bagaimana potret kemiskinan di Indonesia?
Kalau kita kembali kepada sejarah, dulu tahun 1994, sebelum krisis kita bisa menurunkan angka kemiskinan dari 35 persen ke 20 persen, itu cepat sekali. Begitu mencapai 20 persen memang makin susah.
Ya memang itu sesuatu yang natural, secara gradual turunnya. Tapi kita lihat sudah di batas 10 persen, persoalan yang dihadapi menjadi agak berbeda. Memang harus diakui bahwa penurunan kemiskinan agak lambat kalau dilihat trennya. Tapi memang ada persoalan mendasar di sana.
Persoalan apa yang sangat mendasar itu?
Kalau penduduk miskinnya banyak di sini, mengangkatnya butuh upaya luar biasa. Tapi, kalau ditelusuri lagi, kenapa masyarakat miskin yang di bawah menjadi kronis? Iitu karena mereka memang tidak mempunyai akses apa pun. Akses ke infrastruktur dasar, misalnya pendidikan dan kesehatan, mereka tidak punya modal, sehingga bagaimana mereka perlu mengangkat usaha.
Bagaimana efektifitas program-program pengentasan kemiskinan saat ini?
Kalau kita bicara kemiskinan, kalau itu ternyata sudah sampai level kronis penduduk miskin ada golongan dan layer-nya. Jadi kebijakannya memang harus berbeda, tidak bisa lagi hanya sentuhan misalnya kasih beras miskin (Raskin), kasih bantuan sosial (Bansos), tidak mungkin. Perlu ada sentuhan khusus.
Sentuhan khusus seperti apa maksud Bapak?
Misalnya untuk para buruh tani, bisa tidak kita kasih pembagian tanah cuma-cuma. Kita sudah bicarakan ke pemerintah. Jadi memang agak-agak berat. Itu yang pertama.
Yang kedua, memang karakteristik kemiskinan itu beda-beda antarwilayah, antarkota dan desa saja sudah beda. Sehingga kita perlu mengambil sebuah prioritas. Apalagi, kalau data BPS kelihatan, sekitar 55 persen penduduk miskin itu bekerja di sektor pertanian. Jadi desa dan pertanian itu sarangnya orang miskin.
Kebijakannya memang harus berbeda antarwilayah, tidak bisa menerapkan one for all gitu. Jadi ketika budget terbatas, perlu ada prioritas. Apakah budget ini akan disebar ke seluruh provinsi, atau saya konsentrasikan ke pedesaan.
Berdasarkan potret BPS bagaimana rekomendasi kebijakan untuk menekan kemiskinan?
Kalau saya berpikirnya lebih jangka panjang. Bahwa, kemiskinan dan ketimpangan itu terjadi, dan tidak ada obat mujarab. Tapi, kuncinya dalam jangka panjang, yaitu tadi bahwa kita harus memperluas akses kepada seluruh masyarakat.
Kita bicara pendidikan misalnya. Pendidikan level Sekolah Dasar (SD) bagus sudah, angka sudah 99 persen. Ke tingkat Sekolah Menegah Pertama (SMP) masih bagus, ke 86-87 persen. Begitu Sekolah Menegah Atas (SMA) masih kemewahan, drop-nya lumayan jauh.
Artinya apa? Belum semua orang mempunyai akses. Kalau akses itu adalah memang semua bisa free sampai tingkat SMA, di beberapa provinsi memang sudah. Mungkin kita harus pikirkan ke depan, ada akses yang sama, di pendidikan, di kesehatan. Kalau cara-cara itu ditempuh, kemiskinannya mungkin akan gradual menurun. Memang tidak akan cepat, tapi dalam jangka panjang akan bagus itu.
Terkait dengan sensus ekonomi, bagaimana potret perekonomian Indonesia 10 tahun terakhir?
Saat ini jumlah usaha atau perusahaan di Indonesia tahun 2016 sebanyak 26,7 juta. Dibandingkan 2006, 10 tahun yang lalu, naiknya sekitar 17,6 persen. Ada pattern yang menarik di sana.
Apa temuan menarik dari hasil sensus tahap pertama yang dilakukan?
Kalau kita lihat per pulau, 60 persen dari usaha itu masih ada di Jawa. Tapi, kalau dilihat pertumbuhan jumlah usahanya, yang banyak itu di Indonesia Timur seperti di Papua dan Maluku. Ini hasil sementara, nanti detailnya kita harapkan Desember.
Hasil sensus menemukan bahwa hanya 30 persen yang mempunyai lokasi usaha khusus. Artinya, 70 persen campur rumah tangga, pedagang kaki lima, dan sebagainya. Jadi sebagian besar nanti akan masuk usaha menegah kecil (UMK).
Indikasi itu sebenarnya sudah terlihat, saat kita rilis data tenaga kerja bahwa 58 persen tenaga kerja kita bergerak di informal. Karena di negara mana pun informal bisa menjadi sebuah katup, kalau kita bercermin kembali pada kejadian tahun 1997 dan sebagainya.
Jadi kalau dilihat kekuatannya, dari jumlah usaha, jumlah tenaga kerja, semua akan lebih besar di sektor informal atau UMK. Tapi, kalau dari share, tetap saja UMB yang dijamin paling besar.
Jumlah usaha masih terpaku di Pulau Jawa, pemerataan ekonomi belum tercapai?
Ya, dari share PDB kelihatan. Fenomena ini sudah lama terjadi, Pulau Jawa, terutama Jakarta, itu jadi gula-gula.Tapi pertumbuhan usahanya selama 10 tahun paling tinggi di Maluku dan Papua.
Memang betul ke depan kita harus menyebar kue perekonomian itu di luar Jawa. Dan itu mudah-mudahan dengan sentuhan infrastruktur yang sedang dibangun di luar Jawa, bisa mengalihkan ke sana.
Tidak meratanya kegiatan ekonomi memang persoalan yang puluhan tahun kita hadapi, bahwa Jawa sudah terlalu padat. Kita sudah tahulah. Jadi komitmen membangun Indonesia Timur harus lebih ditingkatkan.
Berdasarkan potret BPS, apa yang kurang di Indonesia Timur untuk melakukan kegiatan usaha?
Infrastruktur yang pengaruh pada konektivitas. banyak sebetulnya daerah yang memproduksi komoditas yang bagus, tetapi ketika dia tidak punya pelabuhan, dia harus lewat provinsi lain, sehingga cost-nya menjadi panjang sekali.
Saya sangat memahami bapak presiden sangat berusaha membangun infrastruktur dan konektivitas, karena itu penting sekali. Bisa dicek sama teman-teman kalau ada kabupaten yang produknya bagus banget, tapi akhirnya agak susah ya berkembang.
Misalnya, di Kalimantan Timur. Kalau dari Balikpapan ke Samarinda, itu namanya buah naga sudah luar biasa. Itu buah naganya bagus sekali, tapi bagaimana buah naga itu dipasarkan di sana kalau tidak ada konektivitas.
Jadi kuncinya infrastruktur dan konektivitas. Jujur selama beberapa periode ditinggalkan, dan lebih terkonsentrasi ke Jawa. Tapi sekarang lebih bergulir, tentu butuh biaya banyak dan dengan memperhatikan keuangan negara, mudah-mudahan bisa cepat.
Terlepas dari berbagai isu tersebut, apa yang Bapak rasakan saat ini duduk di kursi Kepala BPS?
Lumayan sibuk. Sejak dilantik sudah pulang malam-malam, tapi enggak apa-apa. Yang penting teman-teman punya semangat yang sama untuk memperbaiki. Kalau kita ada semangat yang sama pasti kan enak.
BPS menyajikan suatu data yang akurat, agar bisa menjadi landasan untuk membuat suatu kebijakan. Apa yang akan dilakukan Bapak?
BPS kemarin sudah duduk bersama Kantor Staf Presiden, dan juga Bappenas, nanti itu satu data. Untuk peningkatan kualitas data sendiri, ada beberapa hal pembenahan di dalam, supaya ke depannya lebih enak.
BPS arahnya adalah paperless. Jadi kita sedang menggunakan tablet untuk uji coba data satuan kerja nasional, tenaga kerja, dan dicoba untuk holtikultura. Tapi memang jumlah equipment kita masih terbatas. Itu dari sisi pelaksanaan.
Kalau untuk pelayanan publik, ada beberapa hal prioritas saya. Kita juga akan mulai implementasikan web versi empat. Di sana nanti akses datanya akan jadi makin cepat. Kemudian saya inginnya tabel-tabel BPS itu bentuknya infografis ya. Jangankan masyarakat umum, wartawan aja begitu, jadi mungkin ketika press rilis, saya tidak perlu menampilkan tabel yang bulet begitu, yang susah dicerna.
Ada yang menuding data BPS tidak valid, bagaimana Bapak menyikapinya?
Kalau konsumen kan ada yang mengawasi, BPS juga ada yang mengawasi. Di level nasional itu ada yang namanya Forum Masyarakat Statistik, itu lembaga independen. Anggotanya ada 21, sekarang dia yang memimpin Pak Bustanul Arifin. Tapi, di sana melibatkan teman-teman akademis, ada birokrat, itu betul-betul kami melakukan pertemuan rutin dan mengevaluasi kualitas data BPS. Itu di level nasional.
Di level internasional, juga ada tim internasional yang datang ke BPS dua kali setahun. Mereka datang, dan akan bawa laptop dan mengecek betul data pertumbuhan ekonomi yang dihitung oleh BPS itu betul-betul valid atau tidak.
Hasil evaluasi itu nanti akan diupload di website-nya, dilaporkan ke Komisi Statistik Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB). Misalnya, kalau Anda buka web Dana Moneter Internasional (IMF), di sana ada declare data pertumbuhan ekonomi yang dirilis di Indonesia qualified. Mungkin teman-teman banyak yang tidak tahu kalau kita sudah rilis, selesai begitu, tidak. Ada yang betul-betul memonitor, dan kita betul-betul mempertanggungjawabkan.
Untuk IMF itu yang dicek adalah pertumbuhan ekonomi dan ekspor dan impor serta inflasi. Kalau di Komisi Statistik PBB ada warning. Misalnya negara A, dikasih warna merah. Karena katakanlah data inflasinya dipertanyakan, bisa kena default.
BPS sudah pernah mendapatkan warning seperti itu?
Alhamdulillah enggak. Alhamdulilah belum. Janganlah.