Telecopy, Teropong untuk Melihat Bulan Karya Pemuda Desa

Iwan Efendi, pemuda Desa Dlingo, Kabupaten Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta, menunjukkan teropong berbahan barang-barang bekas karyanya pada Jumat, 14 Oktober 2016.
Sumber :
  • VIVA.co.id/Daru Waskita

VIVA.co.id - Tak perlu jauh-jauh ke Observatorium Bosscha, Bandung, untuk melihat bulan atau benda-benda antariksa. Iwan Efendi, pemuda Desa Dlingo, Kabupaten Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta, telah menciptakan teropong yang mampu menampilkan detail-detail permukaan bulan dan benda lain di antariksa.

Belajar dari Manusia Rp2.000 Triliun Jensen Huang: Filosofi Hidup Tukang Kebun yang Bikin ‘Kaya Raya’

Teropong yang dinamakan telecopy tercipta dari keinginan Iwan untuk melihat antariksa. Mahalnya teropong di pasaran membuat Iwan berinovasi dengan menciptakan telecopy.

Dia tak hanya membuat satu telecopy, melainkan emoat. Dia bahkan baru membuat kaca lensa bekas. Disebut telecopy karena lensa yang digunakan adalah lensa pembesar bekas mesin fotokopi.

Cara PNM Dorong Pemberdayaan Ekonomi Gen Z

"Semua bahan untuk membuat telecopy merupakan barang bekas, termasuk lensa bekas dari mesin fotokopi keluaran tahun tertentu," kata Iwan di Bantul, Jumat, 14 Oktober 2016.

Ayah dua anak ini menjelaskan, diperlukan tujuh lensa untuk merakit satu telecopy. Tiga lensa dipasang di bagian depan dan sisanya di belakang. Pemasangan lensa tidak boleh sembarangan tetapi dengan rumus tertentu sehingga menghasilkan cerminan objek yang fokus. Bagi penggemar lensa, teknik memfokuskan gambar di antara lensa itu disebut teknik barco.

Dulunya Tukang Cuci Piring, Pengusaha Ini Kini Punya Harta Rp1.900 Triliun

“Lensa yang depan berfungsi sebagai pembesar, dan yang belakang berfungsi sebagai pengecil. Susahnya, kan, bikin fokusnya itu; kalau salah ukuran, pasang gambarnya hanya kabur atau bruwet,” katanya.

Pria 36 tahun itu mengaku masih kesulitan membuat telecopy. Tidak mudah mendapatkan lensa bekas fotokopi. Bahan-bahan lain cukup mudah didapat. Iwan cukup pergi ke pengepul rosok dan mencari paralon serta pipa. Tidak perlu merogoh kocek terlalu dalam. Satu set lensa pembesar fotokopi bekas, biasanya dibeli seharga Rp250 ribu hingga Rp350 ribu rupiah.

Untuk membuat satu unit teropong, Iwan hanya mengeluarkan sekira-kira Rp500 ribu. Meski berbiaya murah, kualitas gambar yang dihasilkan tidak kalah dengan teleskop buatan pabrik yang harganya bisa mencapai ratusan juta rupiah.

Kemampuan Iwan tidak begitu saja didapatkannya. Kali pertama merakit teleskop, Iwan membutuhkan waktu hingga empat bulan. Berapa kali harus mengulang dan memperbaiki posisi lensa, sudah tak terhitung lagi saat itu. Kini hanya butuh waktu tiga  hari, Iwan sudah bisa membuat satu unit telecopy dengan delapan kali pembesaran objek itu.

"Kalau berapa kali gagal, saya tak ingat karena banyak. Karena gagal, saya mencoba mencari komunitas teropong di Yogya dan dari sanalah saya dapat pengalaman merakit teropong," ujarnya.

Meski sudah mampu memproduksi teropong, Iwan mengaku belum berniat untuk menjual hasil karyanya itu. Beberapa teropong di rumahnya sering dipakai anak-anak untuk melihat bintang dan bulan.

Baginya, banyak orang yang tertarik dan datang untuk belajar astronomi saja sudah cukup bahagia. Lelaki yang sehari-hari bekerja sebagai tukang kayu itu mengaku kegemarannya merakit teropong hanya hobi dari ketertarikan terhadap astronomi.

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya