Revisi PP 52 dan 53 Telekomunikasi Diawasi DPR

Ilustrasi/Perawatan Base Transreceiver Station (BTS) 4G.
Sumber :
  • VIVA.co.id/Ikhwan Yanuar

VIVA.co.id – Pakar Hukum Tata Negara, Margarito Kamis mengatakan, draf aturan network sharing yang dilakukan oleh pemerintah, dinilai tidak selaras dengan undang-undang yang sudah ada. Sebab, menurutnya, sudah semestinya kalau Peraturan Pemerintah itu menjabarkan dari isi undang-undang yang sudah ada sebelumnya.

"Tidak ada di sistem hukum tata negara bahwa Peraturan Pemerintah bisa melampaui undang-undang," ucap Margarito dalam diskusi network sharing di Kedai Sirih Merah, Jakarta, Rabu 5 Oktober 2016.

Pernyataan Margarito ini mengenai surat yang beredar pada 2 Agustus kemarin, untuk mengatur besaran penurunan interkoneksi rata-rata 26 persen. Dan, itu hanya ditandatangani oleh Pelaksana Tugas (Plt) Direktorat Jenderal Penyelenggara Pos dan Informatika (Dirjen PPI) Kementerian Kominfo.

"Mana ada sistem peraturan di negara ini, yang melimpahkan peraturan ke dirjen sebagai hukum? Sinting kita ini. Dirjen sudah menentukan harga, Plt (pelaksana tugas) pula yang menandatanganinya," ucapnya.

Margito mengatakan, untuk menghancurkan sebuah negara, maka dibuatlah aturan yang sebanyak-banyaknya. Aturan satu dengan yang lain, belum dipahami dengan seksama. Sehingga, saat implementasinya nanti, dipastikan akan saling berbenturan.

"Semakin banyak undang-undang, semakin kacau. Bikin aturan sebanyak-banyak, maka kacaulah negara ini. Karena yang satu tidak dipahami, yang lain tidak dipahami, atau dipahami sedikit-sedikit, sehingga yang terjadi di sana begitu, di sini begitu, seterusnya," tuturnya.

Diketahui, pemerintah saat ini tengah merevisi aturan Network Sharing yang ada di PP 52 Tahun 2000 tentang Penyelenggaraan Telekomunikasi dan PP 53 Tahun 2000 tentang Penggunaan Spektrum Frekuensi Radio dan Orbit Satelit. Sebelumnya, pemerintah juga mengeluarkan aturan terkait dengan besaran biaya interkoneksi untuk layanan telekomunikasi meskipun pelaksanaannya masih ditunda.

Diawasi DPR

Bangun Jaringan Fiber Optik, Triasmitra Tawarkan Obligasi Rp700 Miliar

Dalam kesempatan yang berbeda, Komisis I DPR menegaskan, akan terus mengawasi proses revisi PP 52 dan 53 tersebut. Hal itu disampaikan Ketua Komisi I DPR RI, Abdul Kharis Almasyhari, usai menerima perwakilan Lembaga Independen Pemantau Kebijakan Publik (LIPKP).

Dalam pertemuan itu, Ketua LIPKP, Sheilya Karsya menyampaikan, keluhan tentang proses revisi PP yang dinilai kurang transparan.

Syukurlah, Gak Ada PHK di Industri Telekomunikasi Indonesia

"Selain tidak transparan, revisi PP ini juga tidak sesuai dengan semangat pemerintah mendorong penyediaan jaringan telekomunikasi nasional sesuai UU 36 Tahun 1999 tentang Telekomunikasi. Dalam pembentukan UU, atau peraturan pemerintah, seharusnya terbuka, transparan dan melibatkan unsur masyarakat dalam memberikan masukan. Kenyataannya, revisi berjalan tertutup. Padahal sebelumnya kami telah mendatangi dan meminta BRTI, agar proses revisi PP ini dapat berjalan terbuka," kata Sheilya.

Lembaga itu mendesak DPR RI, khususnya Komisi I untuk segera memanggil dan mengadakan rapat dengan Menkominfo yang akan menerapkan dua PP yang dianggap cacat hukum. Bahkan, jika pun PP tersebut jadi diimplementasi, Sheilya dan LIPKP tidak segan untuk mengajukan Judicial Review.

Jangan Ada Kanibalisme di Industri Telekomunikasi

"Meski revisi PP ini adalah domain pemerintah, DPR juga punya tanggung jawab mengawasi jika proses revisi tidak taat azas dan terjadi masalah," ujar Abdul. (asp)

Layanan platform OTT (over the top).

Indonesia Diminta Belajar dari Inggris dan Turki

Indonesia bisa belajar dari Austria, Prancis, Hungaria, Italia, Portugal, Spanyol, Turki, dan Inggris yang telah menerapkan Digital Services Task (DST) untuk layanan OTT.

img_title
VIVA.co.id
28 Desember 2023