Holding BUMN Energi Bukan Jawaban Atasi Tingginya Harga Gas
- VIVA.co.id/Muhamad Solihin
VIVA.co.id – Pembentukan Induk usaha atau holding BUMN di sektor energi dinilai tidak bisa menurunkan harga gas secara serta merta. Sebab, harga gas yang melambung tinggi saat ini disebabkan sistem distribusi yang salah yaitu melalui traders atau perantara yang bertingkat dari produsen ke konsumen atau dari hulu hingga hilir.
Research Director Center of Reforme on Economics (CORE) Mohammad Faisal mengatakan, harga gas yang tinggi sampai di sektor hilir disebabkan banyaknya trader gas. Karena itu, penggabungan PGN ke tubuh PT Pertamina (persero) tak dapat menyelesaikan persoalan tingginya harga gas.
"Tingginya harga gas di Indonesia selain disebabkan relatif tingginya harga di hulu, juga karena tingginya biaya distribusi dan margin niaga. Terjadi penjualan bertingkat dalam satu jalur distribusi ke konsumen," kata Faisal dalam diskusi 'Pembentukan Holding BUMN Energi' di Tebet, Jakarta Selatan, Selasa 4 Oktober 2016.
Ia mengatakan, beberapa trader hanya berperan sebagai perantara tanpa membangun infrastruktur untuk distribusi gas. Seperti di Bekasi, selisih harga dari hulu hingga ke konsumen akhir mencapai US$8,5 sampai dengan US$9,5 per MMBTU, di mana harga di konsumen akhir bisa mencapai lebih dari dari US$14 per MMBTU.
"Padahal, harga gas rata-rata nasional yang dijual ke konsumen akhir itu hanya US$8,3 per MMBTU," kata dia.
Oleh karena itu, lanjut Faisal, keberadaan trader tersebut semestinya dapat dikendalikan secara ketat oleh pemerintah sehingga keberadaannya tidak mengakibatkan inefisiensi pada distribusi gas ke konsumen.
"Di Bekasi itu, untuk menyalurkan gas ke konsumen akhir berjarak kurang dari 80 kilometer. Tapi ada lima trader yang terlibat," kata dia.