Peranan Politik Islam Makin Signifikan di Politik Nasional
VIVA.co.id – Ketua DPR RI Ade Komarudin menyampaikan paparan tentang pemikiran dan peran politik Islam dalam mewujudkan persatuan umat. Ia mengatakan apakah politik Islam dapat menjadi benteng persatuan umat di Indonesia, sementara tokoh-tokoh Islam menyebar ke berbagai partai politik.
Demikian disampaikan Akom sapaan akrab politisi Partai Golkar itu dalam siaran pers saat menghadiri acara Musyawarah Kerja Nasional II Persaudaraan Muslimin Indonesia (Parmusi), yang mengangkat tema ‘Merajut Persatuan Umat, Membangun Bangsa’ di Hotel Sahid Jaya, Jakarta, Minggu 2 Oktober 2016.
"Peranan politik Islam semakin signifikan di dalam politik nasional, konsep umat memang sepanjang sejarahnya telah banyak mengilhami imajinasi kaum muslim, khususnya kaum intelektual Islam sejak periode awal. Terminologi umat muncul lebih dari 60 kali dalam Al-Qur'an dan memiliki beragam makna, namun dari sejumlah makna tersebut, istilah umat sejak fase-fase awal Islam telah digunakan untuk melambangkan dan mewujudkan gagasan tentang komunitas Islam," ujarnya.
Akom menjelaskan bahwa dalam Islam, agama dan politik tidak dapat dipisahkan. Menurut Islam, kitab suci Al-Qur'an memperlakukan kehidupan manusia sebagai suatu keseluruhan organik, artinya semua bidang kehidupan manusia harus dibimbing oleh petunjuk-petunjuk yang bersumber dari Al-Qur'an, termasuk di dalamnya kehidupan politik.
"Sejak awal umat Islam pada dasarnya adalah umat yang memiliki kesadaran politik. Oleh karena itu perkembangan politik di Indonesia tidak bisa lepaskan dari perjuangan politik Islam, terlebih lagi mayoritas atau sebagian besar penduduk Indonesia adalah umat Islam," katanya.
Â
Meskipun demikian, lanjutnya, ekspresi politik bangsa Indonesia dalam kenyataannya tidak bersifat monolitik, yakni umat Islam di Indonesia menyebar dan terbagi di berbagai partai. Sejak periode awal kemerdekaan ekspresi politik umat Islam telah berpolarisasi ke dalam dua golongan, yakni golongan Islam dan golongan Kebangsaan.
Namun polarisasi itu tidak harus dipahami secara mutual eksklusif, dengan implikasi turunannya yang satu disebut pro Pancasila, dan yang lain kontra Pancasila. Dalam kenyataannya baik anggota golongan kebangsaan maupun golongan Islam ternyata tidak juga monopolitik, pada masing-masing golongan itu selalu ada orang-orang yang berdiri pada posisi sebagai jembatan penghubung.
"Saya sutuju bila Parmusi tidak usah berniat menjadi partai politik, sebaiknya berdakwah saja, dan melakukan aksi keumatan dalam berbagai sektor dengan baik. Politik Islam tidak seharusnya dimaknai secara sempit sebagai agenda untuk merebut kekuasaan formal, mengabdi kepada umat dibarengi dengan perdebatan intelektual yang berkualitas harus terjadi dalam Permusi," katanya. (webtorial)