Terkepung Industri Musik Digital
- Pixabay
VIVA.co.id – Banyak cara membangun suasana hati. Salah satunya mendengarkan musik. Pilihan paling umum ini dilakoni Fitri setiap hari, setiap pagi.
Puas mengecek pesan, email, dan notifikasi lain di ponselnya, salah satu karyawati swasta di sebuah perusahaan studio teknologi di Jakarta ini terbiasa membuka Spotify, sebuah aplikasi layanan musik digital dengan segudang koleksi lagu dari berbagai dunia. Dipilihnya lagu yang sedang ingin didengar, dinaikkan suaranya, dan Fitri pun bersiap memulai aktivitas hariannya.
Fitri adalah satu dari sekian pecinta musik yang menggunakan Spotify dan layanan serupa untuk mendengarkan musik. Baginya, Spotify mudah digunakan dan punya koleksi lagu yang lengkap dari seluruh dunia. Bahkan ia pun tak ragu menjadi pengguna premium yang rutin membayar Rp49 ribu setiap bulannya. Dengan akun tersebut, Fitri bisa mengunduh lagu-lagu favoritnya dan memutar di mana saja tanpa khawatir kuota internetnya jebol.
Begitu juga dengan Vicky, mahasiswa di sebuah perguruan tinggi di Jakarta. Musik adalah bagian dari hidup anak muda ini. Tak mau ketinggalan tren, Vicky kini mendengarkan lagu lewat aplikasi Joox, layanan musik streaming serupa. Berbeda dengan Fitri, Vicky mengaku sudah cukup puas hanya dengan menjadi pelanggan biasa atau gratis. Selain koleksi lagu yang cukup lengkap, ia juga menyimpan lagu-lagu favoritnya untuk diputar secara offline.
Spotify, Joox, dan layanan musik streaming lainnya memang jadi tren cara mendengarkan musik di era digital saat ini. Kehadiran sejumlah layanan tersebut membuat Fitri, Vicky, dan para pengguna lainnya tak lagi mengunduh musik ilegal. Layanan musik streaming yang ada dianggap sudah mampu memberi pengalaman mendengar musik digital yang lebih nyaman, tanpa buffering, mudah, dan jadi cara mereka untuk menghargai karya para musisi.
Lantas, sebenarnya seperti apa musik digital itu, bagaimana perkembangannya, serta tantangan apa saja yang harus dihadapi para pelaku industri musik di era digital ini?
Tentang Musik Digital
Musik digital merupakan bagian dari format musik dari masa ke masa. Musik digital menurut pengamat musik Indonesia, Bens Leo, adalah musik dengan teknologi terbaru, bukan analog, yang proses editingnya juga berbeda dari sebelumnya. Musik ini adalah proses digitalisasi terhadap format rekaman musik analog. Musik digital akhirnya menjadi tren musik saat ini setelah era piringan hitam, kaset, Digital Audio Tape (DAT), CD, VCD, dan juga DVD. Format file musik digital yang paling populer adalah MP3, WAV, AAC, dan juga WMA.
Dari proses rekamannya, proses pembuatan musik digital tentu lebih mudah dibanding analog. Mulai dari studio yang lebih sederhana, bahkan bisa dilakukan di kamar pribadi musisi itu, hingga proses penyuntingan, perekaman musik digital memang tak serumit pada perekaman analog. Musik digital adalah musik dalam format yang bisa dengan mudah diakses melalui device manapun, seperti ponsel saat ini.
Namun meski musik digital menawarkan segala kemudahan dan memang jadi tren saat ini, album fisik seperti CD masih belum tergerus seutuhnya. Musik digital, menurut penyanyi Tulus, merupakan salah satu opsi yang seharusnya tidak sampai mematikan cakram digital asli dalam kemasan fisik. Musik digital tidak bisa menggantikan romantisme penggemar terhadap karya musisi favoritnya.
"Punya cakram disc jauh lebih romantis sih. Rasa memiliki musiknya itu ada," kata Tulus saat dijumpai di sebuah acara.
Begitu juga dengan Kunto Aji, penyanyi muda yang sedang naik daun di era digital ini. Meski unggul dalam penjualan musik digital, Kunto mengaku tetap menuangkan karyanya dalam bentuk CD. Baginya, secara konten memang sama, tapi CD adalah bentuk yang collectable dan menjadi bentuk penghargaan baginya dan orang-orang yang mendukungnya.
Bens Leo pun mengatakan, meski kini tak banyak orang yang membeli musik dalam bentuk CD, seorang musisi sejati harus tetap memiliki bentuk fisik karya musiknya jika ingin diakui. Dengan begitu, musisi tidak akan pernah kehilangan karyanya dan selalu diakui keberadaannya.
Perkembangan musik digital di Indonesia memang tergolong sangat cepat. Dahulu, kita mendengarkan musik lewat kaset yang kemudian beralih ke dalam bentuk CD. Ketika zaman CD mulai menjajaki era digital, RBT dan unduhan lagu berformat MP3 pun masif dilakukan. Kini, hasil unduhan lagu mulai dirasa kurang nyaman karena device harus menyiapkan ruang lebih sebagai penyimpanan datanya. Streaming atau memutar langsung secara online pun jadi pilihan. Karena itulah, layanan musik streaming seperti Spotify, Joox, Apple Music, YouTube, dan lainnya jadi lahan empuk untuk industri ini berkembang.
Spotify
Spotify merupakan layanan musik digital asal Swedia yang paling populer saat ini. Spotify masuk ke Indonesia pada Maret 2016 lalu dan langsung disambut baik para pecinta musik yang sudah lama menunggunya. Layanan musik digital ini memberikan akses kemudahan untuk mendengarkan lebih dari 30 juta lagu yang mereka sediakan. Dengan talenta lokal yang bertanggung jawab dalam mengkurasi playlist sesuai selera Indonesia, Spotify rupanya bisa diterima dengan tangan terbuka.
Perwakilan Spotify Asia, kepada VIVA.co.id, menyebutkan sejak layanan musik digital ini dirilis di Indonesia, setidaknya layanan ini sudah didengarkan selama lebih dari 36 juta jam dengan rata-rata pengguna menghabiskan 90 menit setiap harinya. Pukul 12.00 hingga 16.00 dan pukul 20.00 hingga 23.00 adalah waktu-waktu populer pengguna Tanah Air menggunakan Spotify. Indonesia, menurutnya, adalah pasar dengan pertumbuhan tercepat di Asia Tenggara.
Secara global, Spotify digunakan oleh lebih dari 100 juta pengguna dengan rentang usia 18 hingga 34 tahun. Dari data yang ada, kini, pengguna cenderung tak lagi mendengarkan musik berdasarkan genrenya, melainkan playlist populer yang sudah ada di Spotify tersebut. Beberapa playlist yang sering digunakan pengguna Indonesia, antara lain Top Hits Indonesia, Kopikustik, dan juga Generasi Galau. Sementara itu, Kotak, Tulus, Judika, dan The Overtunes adalah artis lokal yang paling banyak diputar dan Justin Bieber dari artis dunianya.
Popularitas Spotify bukan tanpa alasan. Dari sisi pengguna, layanan ini dianggap memiliki segala kenyamanan dalam mendengarkan musik digital. Para pengguna yang memilih akun gratis bisa mendengar semua lagu dari berbagai genre, negara, dan lainnya tanpa batas secara streaming dalam berbagai device, seperti tablet, ponsel berplatform Android, Windows, juga Desktop. Bahkan Spotify juga bisa digunakan di PlayStation (PS4 dan PS3).
Spotify juga memiliki akun premium dengan harga Rp49.990 setiap bulannya untuk berlangganan. Dengan tarif tersebut, pengguna premium punya keuntungan, di antaranya kualitas hi-def audio (320 kbps) dan bisa mengunduh playlist untuk didengar secara offline.
Joox
Joox hadir lebih dahulu di Indonesia dibanding Spotify. Keberadaan Joox disambut baik para pendengar musik digital, karena sejumlah kenyamanannya. Layanan yang bisa digunakan di web, iOS, dan juga Android ini juga menawarkan sejumlah keunggulan fasilitas di dalamnya. Dengan koleksi jutaan lagu, Joox memiliki lirik lagu sehingga pengguna bisa berkaraoke sambil mendengarkan lagu.
Para pengguna juga bisa memutar ulang lagu favoritnya secara offline dengan cara yang mudah. Ini adalah salah satu kelebihannya karena mereka yang tak ingin berlangganan masih bisa menikmati lagu yang legal. Namun, jika pengguna ingin menggunakan akun premium, tarif berlangganannya pun sama dengan Spotify per bulannya. Audio yang dihasilkan pun memiliki kualitas sama, yakni hingga 320 kbps.
YouTube
Era musik digital juga tak bisa lepas dari YouTube. Sebagai platform media streaming video terbesar yang ada di dunia, orang-orang masih banyak yang merujuk pada YouTube untuk sekadar memutar lagu. Tiga genre video yang paling sering diputar di YouTube antara lain hiburan yang termasuk komedi, musik, dan juga video tutorial 'how to'.
YouTube di Indonesia menunjukkan perkembangan yang begitu pesat dan signifikan dari tahun 2014 ke 2015. Putri Silalahi, Product Communications Google Indonesia menjelaskan, durasi menonton YouTube yang dilakukan orang Indonesia pada tahun tersebut meningkat pesat sebanyak 130 persen.
Lebih mencengangkan lagi, pengguna YouTube di Indonesia semakin aktif, tak hanya menonton melainkan ikut mengunggah video. Peningkatan jumlah berapa jam video yang diupload orang Indonesia melesat hingga 600 persen hingga pertengahan tahun 2016 ini. Tentu saja negara ini jadi yang tertinggi pertumbuhannya di kawasan Asia Pasifik.
"Kami excited karena dulu Indonesia terkenal hanya nonton saja, tapi sekarang ternyata dikenal suka bikin dan berkreasi," ujar Putri saat dihubungi VIVA.co.id melalui sambungan suara.
Musik Digital dalam Industri
Perkembangan teknologi memang tak selamanya dinilai positif oleh semua orang. Meski sudah banyak platform yang menyediakan musik digital yang mudah dan murah, perilaku unduhan secara ilegal pun masih marak dilakukan. Teknologi dianggap bisa saja menghancurkan industri musik, karena digital dan pembelian online membuat orang hanya membeli single atau lagu bukan albumnya. Bahkan, sejumlah pihak masih menganggap platform itu merugikan musisi dan mematikan industri.
Pada akhir tahun 2014 silam, industri musik digital dunia sempat dihebohkan dengan kasus Taylor Swift yang memutuskan menarik semua karyanya dari Spotify. Merasa dirugikan, Swift pun meminta ada ketentuan yang harus disepakati antara dia dan Spotify agar sama-sama diuntungkan. Penyanyi terkaya itu memang dikenal sebagai salah satu musisi yang vokal untuk urusan hak dan royalti terhadap karyanya di era digital.
Menanggapi hal tersebut, Spotify menjelaskan, kerja sama yang dibangun antara layanan musik dan label tentu membawa keuntungan bagi kedua belah pihak. Dalam kasus ini, layanan musik digital justru memberikan alternatif bagi para pengguna untuk menikmati musik legal dengan harga yang terjangkau, bahkan gratis sepenuhnya.
Namun setiap kali pelanggan memutar lagu dari artis manapun, royalti akan dibayarkan untuk para musisi.
Bam Khalik, Marketing Manager Warner Music Indonesia pun menjelaskan, akan ada laporan yang diterima pihak label dari layanan musik yang bekerjasama dengan mereka, Spotify ini misalnya.
"Spotify kasih report ke kita dimainkan berapa kali bulan ini, dari sekian ratus orang dapatnya sekian rupiah, dari situ kita bagi dengan artis. Tetap sama, royalti artis, produser, dan lain-lain. Sama, hanya medianya yang beda, sama kayak jual CD," ujar Bam saat dihubungi.
Putri Silalahi sebagai representator dari YouTube Indonesia pun menjelaskan, YouTube sendiri juga memberikan penghargaan bagi para kreator YouTube, baik itu label, artis, maupun YouTuber umum yang memiliki jumlah subscriber atau pelanggan tinggi di platformnya.
Ia menjelaskan penghargaan tersebut berupa tombol putar perak yang berkilau jika akun YouTube tersebut mencapai 100 ribu pelanggan dan tombol putar emas besar dan gemerlap jika berhasil mencapai 1 juta pelanggan. Penghargaan tertingginya adalah tombol putar yang terbuat dari berlian jika memiliki 10 juta pelanggan.
Terkait pelanggaran hak cipta yang sering dipertanyakan publik, Putri menuturkan, sejak awal YouTube berdiri, platform ini sudah menggunakan teknologi Content ID yang bisa mendeteksi pelanggaran hak cipta. Konten dalam bentuk apapun itu yang diunggah ke YouTube akan ditelusuri otomatis oleh Content ID. Jika ditemukan ada channel lain yang menggunakan konten tersebut, maka YouTube memberi 3 pilihan.
"Apakah mau langsung di-blocked videonya, apakah mau profit sharing, misalnya dibiarkan saja pakai lagu itu tapi profit yang orang tersebut dapat, seperti dari iklan akan dibagi, atau pilihan terakhir diamkan saja," terang Putri.
Sundari Mardjuki, Senior Marcomm Manager Sony Music Indonesia, juga menyambut baik era digital dalam industri musik sekarang ini. Ia mengatakan, di Indonesia pengguna ponsel cerdas, sebagai device utama pemutaran musik digital, saat ini sudah berjumlah sekitar 79 juta orang. Dengan pengguna aktif internet sebanyak 88 juta, industri musik digital adalah lahan empuk bagi para pelaku bisnis dalam bidang ini.
Layanan musik digital yang ada di Indonesia menjadi salah satu media para musisi dan label untuk menjual karyanya. Ia mengatakan, perhitungan revenue atau hasil yang didapat dari bisnis musik digital tak bisa dilihat dalam bentuk satuan saja.
"Dari segi nilai memang terlihat lebih kecil dibanding dengan nilai dari album fisik. Memang kalau dilihat dari per subscription kecil, tapi kita bicara jumlah yang jutaan itu," ujarnya ketika VIVA.co.id hubungi melalui sambungan telepon.
Pengamat musik Bens Leo menambahkan, era digital memunculkan sebuah ide ekstrem soal indikasi ketenaran. Mereka yang lagunya banyak dibajak dan diunduh tanpa bayar atau mereka yang lagunya sering diputar bisa jadi indikasi bahwa mereka populer.
Kemudahan mengakses musik digital dalam cara apapun itu membuat masyarakat mengenal karya dan musisi tersebut. Ketika karya mereka disukai, maka akan terbentuk fans fanatik yang loyal sehingga bersedia menonton pertunjukkan musik mereka secara langsung.
"Saat mereka manggung, fans ini akan menjadi penonton utama. Mereka juga bisa membeli merchandise-nya di luar dari CD. Perkembangannya jadi ekstrem memang," ujar pria kelahiran Pasuruan tersebut.
Peruntungan yang didapat dari era digital ini pun kemudian bak bola salju yang terus bergulir dan membesar. Kedua label besar di Indonesia itu pun membenarkan jika revenue dari musik digital tak berhenti di layanan musik digital saja. Jika musiknya banyak diputar orang, maka akan ada pendapatan lain yang masuk, seperti dari iklan, sinkronisasi atau jingle untuk produk-produk tertentu yang menggunakan lagu dari musisi tersebut.
Tantangan di Era Digital
Terlibat dalam industri musik di era digital dengan kata lain harus siap menerima tantangan besar jika ingin bertahan. Persaingan yang semakin ketat lewat media-media yang bisa diakses tanpa batas mau tak mau menuntut kreativitas yang tinggi dari kalangan musisi.
Bens Leo menjelaskan, ada tantangan atau sesuatu yang harus luar biasa yang bisa ditampilkan para musisi untuk masyarakat Indonesia. Seperti yang disebutkan sebelumnya soal indikasi popularitas di era digital ini, musisi harus memikirkan bagaimana caranya agar bisa menonjol dan disukai oleh para pendengar musik di Indonesia.
Era digital yang tak terbatas memang banyak melahirkan talenta-talenta baru yang punya kualitas tak main-main. Dengan perkembangan teknologi seperti ini, semua orang bisa populer dengan cepat, bahkan melampaui para pendahulunya.
Tulus, penyanyi Teman Hidup ini jadi salah satu contoh musisi yang sukses di era digital. Awalnya, tak banyak orang mengenal Tulus. Namun kemunculannya yang membawakan lagu dengan nuansa jazzy dan lirik sederhana penuh makna berhasil memikat jutaan pasang telinga orang Indonesia. Kini, karya-karya Tulus tak pernah absen mendominasi tangga musik dan penjualan digital di berbagai platform. Penjualan album digitalnya meroket dan popularitasnya kian meninggi hingga terdengar ke luar negeri.
Begitu juga dengan Vidi Aldiano yang meniti karier di industri musik Indonesia sejak tahun 2008. Suara Vidi langsung akrab terdengar karena punya ciri vibra yang khas. Pernah mereguk pahit manisnya bersama label, Vidi kini kembali memilih jalur independen.
Bukan tanpa alasan Vidi memilih jalur indie. Menurutnya, tantangan perkembangan zaman juga mendorongnya kembali ke jalur indie. Kemudahan di era digital pun dimanfaatkan untuk lebih mengeksplorasi potensi diri.
"Sebenarnya gue mau ngelawan paradigma kalau anak indie itu orangnya idealis, enggak ngerti jualan, terus karyanya cuma bisa dinikmati beberapa orang saja. Nah itu yang mau gue lawan. Being independent artist tuh semangatnya tetap kapitalis juga. Walaupun sekarang gue indie tapi tetep harus ngurusin bisnisnya juga," kata Vidi.
Â
Semangat untuk bergerak sendiri atau menjadi indie diakui Bens Leo jadi peluang yang besar bagi para musisi di era digital, baik dari segi konten maupun bisnis. Vidi sendiri mengungkapkan puas karena apa yang dia inginkan benar-benar dicari dan dikejar sungguh-sungguh.
"Kalau sukses, sukses sendiri, kalau gagal ya gagal sendiri," kata pemilik album Persona ini.
Banyaknya artis indie yang terbilang sukses di pasar musik Tanah Air tak membuat label-label merasa tersaingi. Sundari dari Sony Music Indonesia menilai bahwa saat ini adalah era keterbukaan di mana semua orang bisa berkarya karena fasilitas ada di mana-mana. Media sosial bisa jadi strategi untuk pemasarannya.
"Sebenarnya yang krusial itu dalam musik seperti apa yang diterima kontennya, gimana promosinya, managing artisnya. Kita punya komitmen hasil karya yang berkualitas, filosofi sendiri dalam bermusik yang enggak sekadar ikut-ikutan. Secara kualitas bisa dipertanggungjawabkan dan secara komersil pun demikian," ujarnya.
Warner pun mengakui jika era digital membuat strategi marketing berubah dengan persaingan yang lebih ketat. Tantangannya, materi atau musik sudah tidak bisa memetakan pasar.
"Sekarang market benar-benar bebas memilih, streaming mau lagu, musik gamelan, EDM, ada semua. Market yang memilih, kita cuma menyediakan barang saja," terang perwakilan Warner.
Seperti semua pihak mengatakan, era digital adalah era yang menggairahkan untuk konten-konten kreatif, termasuk musik. Ketika muncul pertanyaan, bagaimana bisnis musik digital ke depannya, Bens Leo menerangkan, musik adalah seni dan yang namanya seni budaya tidak bisa diprediksi.
"Kita enggak tahu kalau ternyata RBT berhenti. Dulu kan tiap ada yang nelepon ada lagu, sekarang enggak. Kita enggak pernah tahu kapan hilangnya. Apakah nanti digital akan hilang dan analog muncul lagi? Kita enggak tahu. Seperti piringan hitam yang mulai muncul lagi di tahun 2010-2011, orang rindu dengan itu," ujar mantan jurnalis musik tersebut.
Baginya, semua adalah siklus musik yang terus berjalan. Semua orang harus siap, karena seni budaya itu selalu berubah. Tampil dengan kreatif dan berkualitas adalah kunci semua pelaku industri ini agar bisa bertahan dan mengikuti perkembangan zamannya. (umi)