Komisi IX Sarankan Pemerintah Hentikan Program DLP

Ilustrasi alat-alat kedokteran.
Sumber :
  • Pixabay

VIVA.co.id – Anggota Komisi IX DPR RI Adang Sudrajat menyarankan kepada pemerintah agar menghentikan program Dokter Layanan Primer (DLP).

Soroti Surat Kesbangpol Batam Minta Camat Kumpulin Data C1, DPR: Mengintersepsi Kewenangan KPU-Bawaslu

Sebab, pendidikan kedokteran memiliki masa pendidikan paling panjang di Indonesia, karena harus menempuh pendidikan sarjana kedokteran minimal 4 tahun. Selanjutnya, harus menjalani masa coach asisstant selama 2 tahun dan menjalani uji kompetensi selama 1 tahun.

"Terakhir, seorang tersebut harus menjalani 1 internship, setelah itu baru dapat menjalankan pekerjaan profesi praktek kedokteran," kata Adang, Kamis 29 September 2016.

Anggota DPR Sebut Pengesahan Pimpinan-Dewas KPK Digelar Pekan Depan

Bukannya tanpa kajian, Adang mengaku saran tersebut lahir dari rekan-rekan dokter, baik secara personal maupun institusi seperti Ikatan Dokter Indonesia (IDI).

"Saya mendapat masukan dari kawan-kawan dokter di seluruh Indonesia baik secara personal maupun kelembagaan seperti IDI agar program DLP ini secepatnya segera dihentikan," jelasnya.

DPR Singgung 'Partai Cokelat' saat Rapat Bareng Menhan-Panglima TNI

"Program DLP selama 3 tahun, akan menambah semakin lamanya proses pendidikan seorang dokter. Penambahan DLP 3 tahun masa pendidikan berakibat lambatnya dokter baru memasuki dunia kerja dan terganggunya kinerja serta masa kerja dokter senior," ujarnya.

Adang menjelaskan, meskipun bertambahnya masa pendidikan, hal itu tidak serta merta menambah daya saing dokter di Indonesia.

"Karena DLP tetap saja dokter umum," katanya.

Selain itu, Program DLP, lanjut Adang, akan memboroskan anggaran negara yang begitu besar karena untuk satu orang DLP dibutuhkan biaya sebesar Rp300 juta. Oleh karenanya, untuk menghasilkan 1000 orang DLP, pemerintah harus mengeluarkan anggaran sebesar Rp300 miliar.

Politisi PKS ini pun menilai Program DLP tidak akan mampu memperbaiki pelayanan di FKTP (Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama), meskipun sudah ditingkatkan kemampuan FTKP tersebut.

Pasalnya, apabila perhitungan sistem kapitasi tetap dipertahankan di FKTP, maka dokter DLP pun tetap akan memilih merujuk pasiennya daripada jadi pengurang pendapatan klinik. Hal ini mengakibatkan adanya tujuan untuk menurunkan besarnya klaim tagihan dari rumah sakit ke BPJS tidak akan tercapai, sehingga pemborosan biaya Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) tetap terjadi.

"DLP berpotensi memancing terjadinya konflik horizontal antara dokter umum non DLP dan dokter umum DLP. Sebab pada akhirnya dokter umum akan terbagi menjadi dua kasta atau dua golongan dengan hak dan keistimewaan yang berbeda," katanya.
Adang pun mengaku, dengan adanya program DLP ini telah terjadi konflik antara IDI, Kemenkes, serta Kemenristekdikti. Bahkan, hal ini merupakan sebuah kemunduran regulasi kesehatan secara nasional.

"Agar tidak terjadi semakin buruknya regulasi kesehatan nasional, maka saya meminta pihak terkait untuk saling menahan diri, sambil mencari solusi yang lebih rasional dan realistis. Apabila nanti ada perkara yang berpotensi menimbulkan kebaikan tapi menimbulkan akibat buruk yang nyata, maka menghindari akibat buruknya harus mendapat prioritas daripada mendapatkan manfaat yang belum pasti didapatkan," ujarnya. (webtorial)

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya