Peneliti Muda Rino Rakhmata Mukti

Dari Limbah Padi untuk Kemandirian Energi

Rino R Mukti
Sumber :
  • VIVA.co.id/M Ali Wafa

VIVA.co.id – Usianya masih muda saat meraih gelar doktor dari Technische Universität München, Jerman pada 2007. Rino Rakhmata Mukti meraih gelar doktor saat usianya 29 tahun. 

Keren, Peneliti RI Raih Penghargaan Riset Post-Doktoral di Inggris

Sebagai peneliti muda, Rino telah menemukan katalis zeolit yang bermanfaat untuk industri petrokimia dan industri penyulingan minyak bumi, dari hilir sampai sektor riil. 

Menariknya, katalis zeolit yang ditemukannya memanfaatkan bahan alam yang dianggap tak berguna, yaitu limbah sekam padi. 

Kecoak Raksasa dari Laut Dalam Jawa Adalah Spesies Isopoda

Jebolan Master di Universitas Teknologi Malaysia itu mengatakan, jika Indonesia mampu mengembangkan serius bidang katalis zeolit maka bukan tak mungkin bisa memberikan efek domino bagi industri di Indonesia. Dampak tersebut pada akhirnya mewujudkan industri Indonesia yang bisa mandiri, tak sepenuhnya tergantung dengan teknologi dan produk impor. 

Manfaat katalis zeolit dalam bidang minyak, kata Rino, bisa membuat Pertamina menghemat dan akhirnya memungkinkan bisa mandiri dalam energi. Muaranya, rakyat bisa merasakan harga akhir bahan bakar minyak yang terjangkau. 

Peneliti Muda Indonesia Menelisik Fenomena Biologis di Balik Jam Tidur

Selain itu, katalis zeolit bisa menjadi bekal bangsa Indonesia untuk menghadapi problem kelangkaan bahan bakar tak terbarukan di masa depan. Ketika  di masa depan bensin dan bahan bakar minyak kian menipis, katalis zeolit bisa dimanfaatkan untuk menemukan bahan bakar alternatif yang terbarukan. 

Atas terobosannya, Rino mendapatkan anugerah Penghargaan Achmad Bakrie tahun 2016 kategori Peneliti Muda. 

Penghargaan itu menambah deret pencapaian sebelumnya, yaitu Asian Rising Stars Award at 15th Asian Chemical Congress pada 2013; Indonesian Young Material Scientist Award pada 2014; dan DAAD-Fraunhofer Technopreneur Award pada 2016.

VIVA.co.id telah berbincang santai dengan Rino di Bandara Soekarno Hatta, Tangerang, beberapa jam jelang keberangkatannya ke Jerman, 1 September 2016. 

Rino mengaku, tiga bulan berada di Jerman membawa nama Institut Teknologi Bandung (ITB). Dia dimintai tolong industri cat lokal di Jerman untuk mengembangkan fasilitas penelitian dan pengembangan yang berkualitas tinggi. 

Berikut beberapa petikan wawancara dengan peneliti muda ITB tersebut:

Anda telah meraih penghargaan peneliti muda Achmad Bakrie Award 2016. Apa makna penghargaan ini?

Penghargaan ini, menurut saya merupakan penghargaan yang prestisius dan kehormatan bagi saya. Bukan hanya saya ya, tapi bagi institusi saya Institut Teknologi Bandung (ITB), tim saya, kolega dan mahasiswa saya. Penelitian itu kebanyakan kerja tim, itu kebahagiaan semua. Ini juga motivasi untuk menjalankan penelitian lebih lanjut, sehingga bisa dipakai di masyarakat maupun industri. 

Bisa dijelaskan bidang yang Anda tekuni dan temuan yang baru-baru ini dihasilkan? 

Jadi kami meneliti material maju, ada sebuah material yang berfungsi sangat baik. Kita bisa memakai material ini untuk buat bahan dan energi baru, energi alternatif dari sumber terbarukan. Jadi material ini contohnya material zeolit, dalam hal ini yang saya kaji adalah katalis. 

Dan katalis itu bisa dipakai dalam industri penyulingan minyak bumi. Jadi dari hilirisasi sampai sektor riil. Contohnya, kita merasakan sendiri menggunakan bensin dalam kendaraan bermotor kita. Itu hasil dari penggunaan material zeolit. 

Zeolit fungsinya apa?

Fungsi kasarnya, ibaratnya gunting. Dia menggunting fraksi-fraksi minyak bumi. Jadi minyak bumi yang kita ambil dari dalam bumi itu rantai karbonnya kan panjang. Nah itu rantai panjang yang ini misalnya bensin, terus rantai panjang yang lainnya untuk diesel. Rantai karbon yang lebih besar lagi misalnya untuk jet. 

Dan gunting-gunting ini, zeolit. Zeolit membuat bensin itu. Tanpa itu (katalis zeolit) bensin tak bisa dibuat. Bensin yang sekarang kita pakai kan dari minyak bumi, tanpa zeolit, bensin tidak akan ada. 

Zeolit pemanfaatannya untuk industri apa saja?

Bukan hanya industri bahan bakar, industri petrokimia sangat merasakan manfaat zeolit itu. 

Jadi katalis zeolit dipakai untuk menurunkan bahan-bahan selain bahan bakar. Misalnya oleksin, kalau diturunkan bisa menjadi plastik, dengan proses polimerisasi. Oleksin ini dihasilkan dengan menggunakan dari proses katalitik, ada katalis, yaitu zeolit material. 

Jadi fungsi zeolit meningkatkan kualitas sebuah material?

Betul. Jadi Zeolit itu bisa dalam prosesnya mengonversi minyak bumi jadi bensin sekalian meningkatkan bilangan oktan. Dan itu yang diproduksi dari proses katalis zeolit bisa bilangan oktan ditingkatkan. Lebih tinggi (bilangan oktan) dibanding premium misalnya. 

Temuan Anda kami dengar juga dipakai Pertamina?

Ya, yang saya teliti, yang kami kaji. Sekarang dalam proses untuk dipakai di industri. Perjalanan untuk bisa sampai dipakai industri itu panjang, sekitar tiga tahun, arahnya ke sana. 

Manfaat lainnya apa?

Dengan memahami ilmu katalisis, kalau kita punya ilmu ini, di dalamnya ada ilmu kimia ya. Kita bisa mengarahkan segala kebutuhan yang kita inginkan, problem yang kita hadapi sekarang diselesaikan dengan ilmu ini. 

Misalnya minyak bumi itu kan sekarang supply-nya menurun. Ke depan kalau tidak ditemukan sumur minyak baru, kita akan kehabisan minyak bumi di dunia. Jadi makanya kita harus pikirkan proses lain. Misalnya, menghasilkan bensin dari sumber gas alam. Kita punya gas alam di Kalimantan dan Papua. 

Itu dari gas alam bisa diubah jadi bensin, melalui proses katalitik yang menggunakan zeolit. Misalnya gas alam kan mengandung metana. Kemudian metana kemudian dikonversi menjadi metanol, kemudian dikonversi lagi bisa menjadi bensin, menggunakan katalis zeolit. 

Jadi zeolitnya sama tapi bisa dipakai di mana saja. Jadi bahan bakar alternatif yang kita perlukan, walau gas alam dan minyak bumi sumber yang tak terbarukan, tapi kalau bicara sumber terbarukan kita bisa gunakan zeolit lagi untuk proses yang kita pakai.

Dilihat manfaatnya banyak sekali. Apakah fokus kajian untuk zeolit sudah semakin meluas di Tanah Air?

Orang makin tertarik ke arah sana, karena ini kan juga bidang nanoteknologi. Secara ukuran kan, sekarang material ini bisa dikecilkan skala nano. Nanoteknologi ini bisa meningkatkan efisiensi. Dengan adanya nanomaterial, setidaknya kita bisa meluaskan ruang permukaan material tersebut. Bayangin luas permukaan material meningkat, jadi reaksinya kan makin banyak. 

Jadi orang mulai tertarik. Seiring dengan banyak banyak instrumen yang dipakai penelitian, semakin jelas penelitian bisa dilakukan. Makanya orang nanti makin mau meneliti, ilmu dan instrumen makin terang dan canggih, orang akan mengejar ilmu ini. Dan juga karena kebutuhan manusia yang makin banyak. 

Kita sudah pakai gadget lebih dari satu, kebutuhannya makin banyak. Tentunya banyak teknologi yang harus mengikuti. Sebelumnya belum ke arah sana, karena kita cenderung untuk pakai produk luar. 

Riset zeolit di luar negeri yang bisa jadi cermin bagi kita mana?

Memang Amerika dan Eropa yang mengawali riset ini ya. Terutama Inggris, Prancis, Jerman dan Amerika. Negara itu yang mengawali penelitian zeolit, industri petrokimia, itu kan berhubungan dengan industri petrokimia hilir. 

Mereka mengawali itu, jadi mereka lebih maju. Tapi kan untuk mempelajari langkah mereka, kita tidak harus memulainya dari nol. Bisa kompetisi dengan mereka dari tengah. 

Mulai dari tengah. Modal kita apa?

Kita punya bahan dasar alam banyak. Kita bisa pakai bahan bakar alam kita untuk menjadikan nilai ekonomi lebih tinggi. 

Contohnya, selama kita makan nasi kan ada limbah padi, kan ada silika tinggi, belum dalam bentuk zeolit. Limbah padi mau diapakan, kalau limbah ini dikonversikan ke katalis zeolit, kan bisa sebab, bahan utamanya silika. Kalau ini bisa, maka nilai ekonominya kan bakal lebih tinggi. 

Perkilogram zeolit kalau di luar itu harganya US$100-200. Itu keuntungan yang kita punya. Produksi zeolit dengan mudah, dari bahan alam. 

Rino R Mukti

Apakah karena itu penelitian Anda pakai limbah padi?

Iya. Kita pakai (sekam padi), apakah itu bisa diubah ke zeolit. Buktinya bisa. 

Selain limbah padi, bahan yang banyak di Tanah Air untuk dimanfaatkan sebagai katalis, apa saja?

Bisa misalnya dari limbah power plant, pembangkit listrik. Abu terbang (fly ash), ini kan dikeluarkan pembangkit listrik. Ini mengandung silika, ini bisa digunakan untuk mengubah menjadi zeolit. 

Tapi itu kan bukan bahan yang natural ya? 

Kan selama kita menggunakan sumber daya tak terbarukan untuk hasilkan listrik, energi, pasti itu (abu terbang) akan ada terus. Semua yang punya basis silika bisa dipakai untuk mengubah menjadi zeolit. 

Contoh lain, itu bahan alam, tanah diatom (diatomaceous earth) yang ada pada limbah tumbuhan di pesisir. Itu sebagai limbah, mikroalga, tanah itu mengandung silika tinggi yang sering ada di pesisir. Itu salah satunya. 

Hubungan katalis zeolit dengan nanoteknologi apa? 

Jadi katalis zeolit bisa berukuran nanometer, nanopartikel. Di dalam nantopartikel, ada pori, ada porositas yang lebih kecil lagi, bisa subnano. Nah ini dibuat, dengan adanya nanopartikel, dengan nanopori . 

Secara teknologi apakah katalis makin kecil makin potensial?

Iya, makin kecil makin baik. Sehingga alat yang kita pakai harus canggih, misalnya mikroskop elektron. Kita punya dua, baru beli, satunya harganya Rp20 miliar. Itu dipakai untuk fisik secara atomik, atau skala molekuler

Kataliz zeolit sama nanoteknologi, itu sangat mendasar dalam riset ini?

Banyak kebutuhan ya, yang saya lihat sendiri di Merak ada pabrik yang menggunakan katalis zeolit untuk mengubah benzen menjadi etil benzen

Nah etil benzen menjadi stiren atau plastik kresek. Selama ini Semua ini zeolit di kilang Pertamina itu yang notabenenya impor.  Kita bukan gantikan barang impor jadi barang lokal, tapi meningkatkan performa pabrik. 

Potensinya pemanfaatan katalis zeolit di Industri kita sejauh mana?

Sangat besar. Kita bahan alam punya dengan zeolit, besar, market-nya ada, beberapa kilang memang pakai zeolit. penelitinya juga ada. 

Pertamina sudah gandeng hasil tim Anda, sejauh mana Pertamina membuka ruang kemandirian katalis?

Atas dasar kesuksesan katalis nasional. Sebelum ini (hasil tim Rino), ada pemanfaatan katalis nasional, melalui proses hibrida, itu dilakukan senior saya di ITB, Dr Subagyo dari teknik kimia ITB. 

Dia sudah bantu Pertamina dan mereka sukses dengan katalis nasional tapi bukan berbasis zeolit. Atas kesuksesan itu, kita lebih percaya diri untuk berkontribusi lebih lanjut dengan kilang petrokimia.

Karena market zeolit itu bisa dibilang katalis terbesar di dunia ya, penggunaan dan penjualannya, itu harus main ke sana. 

Pertamina sudah memberikan tim ITB, harapannya kita bisa berkontribusi. Bisa mengomersialkan zeolit kita, terus kemudian itu akan jadi efek domino ke industri lain. Zeolit lokal dipakai industri lain.

Apa efek pemanfaatan katalis zeolit bagi Pertamina?

Kalau pakai zeolit lokal, harga bisa ditekan. Harga pembelian zeolit, harga pembelian katalis ditekan. Bagaimana pun katalis zeolit tiap hari diperbaharui, tiap hari disesuaikan kan itu katalis baru, itu kan butuh biaya (untuk penyesuaian tiap hari). Kalau itu impor harganya lebih mahal dari lokal. 

Harapannya kita meningkatkan efisiensi dari pabrik dalam menghasilkan bensin, sehingga jumlah hasilnya lebih banyak. Misalnya, nanti harapannya lebih banyak Pertamax dibanding Premium.

Bisa enggak pemanfaatan katalis zeolit bikin harga akhir bahan bakar makin murah?

Tentunya. Kalau operasional lebih murah, harusnya harga produksi lebih ditekan lebih murah. 

Dengan kontribusi pemakaian zeolit, apakah bisa untuk menekan impor?

Jadi gini, memang kurang tahu yang diimpor (Pertamina) detailnya apa saja (dalam industri bahan bakar). Tapi sejauh ini, kita impornya juga masih bahan dasar, bukan dalam bentuk bensin. Tapi dalam bentuk minyak bumi yang sudah diproses itu kita terus impor, itu diproses di kilang-kilang. Makanya kita masih punya kilang di petrokimia.

Tapi yang jelas kalau punya teknologi ini, jangankan untuk domestik, kita bisa ekspor dan berkontribusi ke negara lain yang membutuhkan teknologi ini. 

Rino R Mukti

Secara ekosistem, apa yang dibutuhkan untuk mengembangkan katalis zeolit?

Pertama, dana. Kalau lihat ini peluang besar, tentunya pemerintah harus kontribusi menyuntik dan dan mengawal penelitiannya.

Penelitian berbeda dengan kehidupan kita sehari-hari ya. Harganya (biaya penelitian) memang lebih tinggi. Kalau di kimia pegang Rp5 miliar itu setahun itu kecil. Itu hal yang biasa. Biaya operasional di laboratorium itu memang miliaran. Enggak mahal lho kalau untuk dibandingkan industri petrokimia yang sehari penghasilan bisa Rp5 miliar.

Kita harus investasi dan fokus, misalnya pemerintah punya fokus (industri tertentu), bukan bagi rata. Kalau begini dapatnya kecil-kecil. 

Nah saya melihat fokusnya enggak ada. Prinsipnya high investment high return, low investment ya low return.

Jadi kita perlu ada itu untuk membeli alat penelitian, alatnya kan mahal-mahal, kisaran ratusan juta sampai miliaran. Operasional juga mahal, perlu dana itu. Memang kita pertanggungjawabkan, sehingga kita bisa melatih skill kita. Kalau cuma baca textbook enggak bisa praktekkan ya sama saja. 

Selanjutnya selain dana, ya kerja sama dengan industri harus mau memakai produk kita. Jangan sampai kita sudah jauh tapi industri lebih milih produk luar dengan segala politiknya gitu. 

Ke depan harapannya bagaimana, ingin katalis zeolit dipakai industri kita?

Kita harap bisa berkontribusi ke industri dan meningkat skala besar untuk selanjutnya dipakai kemaslahatan, untuk bangsa kita. Supaya lebih menuju yang lebih tinggi. Selain itu, kita perlu mengembangkan sesuatu yang sama ke depan. 

Untuk 2045, kita ingin menyambut hari kemerdekaan yang ke-100. Itu kita harus bisa menebak melihat 2045 sebenarnya, pada tahun itu apa kebutuhan orang-orang. Siapa tahu bukan seperti sekarang.

Contoh saat ini kita pakai bensin sebagai bahan bakar, 2045 mungkin enggak, bensin tapi berbasis hidrogen. Artinya harus siapkan hidrogen datang dari mana cara produksinya, bagaimana dan bagaimana kehidupannya. Sehingga kita tidak terus menjadi bangsa pengikut saja, tapi negara yang memimpin di dunia. 

Peneliti di dunia bisa menemukan sesuatu pada usia muda, kisaran 25-30 tahun. Tapi peneliti kita cenderung menemukan sesuatu saat usia sudah lanjut. Tanggapan Anda?

Tapi tak apa-apa, karena kita memang baru seperti ini. Tapi ke depannya kita perlu siapkan. Ilmuwan harus bergelar doktor umur 25-26, itu idealnya. Saya dulu raih doktor umur 29. Menurut itu saya biasa saja.

Kalau kita lihat, penemu DNA itu sudah ambil post doctoral pada usia 25 tahun. BJ Habibie gelar doktor di bawah umur 30 tahun. Ini harus kita kejar ke sana. 

Makanya saya terus membujuk ke mahasiswa agar mereka studinya cepat, berkualitas, terus kejar pendidikan tinggi master dan doktor. Tahun depan ini mahasiswa bimbingan saya, bisa lulus doktor umur 23 tahun. 

Jadi ini artinya kita mempersiapkan. Muda tapi berkualitas. Harapannya seorang peneliti pasti senang, bangga kalau anak didiknya lebih berhasil. Kita harus persiapkan itu. 

Anda melihat jaringan dan interaksi peneliti di Tanah Air sudah mendukung untuk pencapaian misi 2045 yang Anda sebutkan tadi? 

Saya melihat ada peningkatan ada, banyak pertemuan seminar yang diselenggarakan di Indonesia. Orang asing pembicara terkenal datang ke Indonesia, terus dijalankan. 

Kemudian kita memunculkan ilmuwan kita di kancah internasional. Harus muncul di internasional sebagai pembicara keynote. Untuk bisa sebagai keynote internasional tidak mudah, kita harus diakui kepakaran kita. 

Kita harus menulis publikasi yang betul-betul mempunyai dampak tinggi terhadap sains. 

Peneliti kita banyak memilih berkarier di luar negeri dibanding di Tanah Air karena ekosistem di dalam negeri tak mendukung. Tanggapan Anda?

Ya betul. Menurut saya, mereka (peneliti Indonesia di luar negeri) tidak mau membuang kesempatan, kita harus pahami itu. Terutama karena investasi terhadap penelitian terutama alat-alat laboratorium kita kurang. 

Kita masih menganggap satu miliar itu, uang yang sangat besar hanya untuk beberapa orang untuk mengerjakan penelitian. 

Selama kita masih berpikir seperti itu ya kita tidak akan membelanjakan untuk pembelian alat penelitian. Sehingga orang yang berpotensi malah mencari 'mainan' itu, jangan jauh-jauh, di Singapura pun ada. Ada yang mau spending pada hal yang berdampak tinggi terhadap kehidupan sehari-hari, dibanding industri itu (spending) tak apa-apanya. 

Negara yang ideal untuk riset itu 2 persen dari total GDP. Kita baru 0,02 persen, sedangkan Malaysia sudah 0,1 persen, Singapura bisa 1 persen. Kita masih jauh. 

Saya bisa menerima kalau ilmuwan itu di luar negeri agar tidak membuang kesempatan, hidup kan tidak lama kan selama hidup mereka ingin berprestasi. 

Anda sudah dikontrak di Jepang untuk meneliti, tapi memilih pulang ke Indonesia?

Betul. Tapi ya karena ada kesempatan. Jadi ilmuwan di luar keinginannya itu pulang, tapi masalahnya kesempatan belum datang. 

Saya waktu itu umur 33 tahun ada tawaran jadi dosen, jadi saya putuskan pulang, saya lihat peluang yang baik, terlepas semua masalah. Jadi saya mau pulang, mau berjuang. 

Masalah lainnya, saat peneliti kita mau pulang. Begitu pulang malah dibebani hal-hal yang administratif, bukan menekuni keilmuannya lebih mendalam. Tanggapan Anda?

Betul. Makanya kita harus belajar, termasuk di kampus dengan teman-teman, saya selalu mendiskusikan hal itu. Kita ingin yang muda lebih ke arah selain administratif, arah ke keilmuan itu. Itu memang masih masalah. 

Di Indonesia ada budaya harus nurut senior. Kalau senior yang bukan keilmuan kita ya bagaimana. Kalau senior sesuai ilmu kita, ya mau. Kita harus nurut di luar keilmuan kita, sehingga kita nurut pada hal-hal yang berbau administratif. 

Jadi hierakri itu masih lebih lebar, ya bagus tapi harusnya yang arahnya ke keilmuan. Jadinya enggak fokus, habis di administrasi. Kita harus ngomong secara baik-baik ke kampus kita, mohon diberikan kesempatan melakukan bidang ini. 

Tri Dharma perguruan tinggi itu kan meneliti, mengajar dan mengabdi. Perguruan tinggi harusnya bisa memilah, mana yang fokus ke penelitian, mengajar atau mengabdi. Itu yang saya kritisi. 

Anda kan pernah di Jepang. Di sana sangat menghargai ilmuwan. Bisa diceritakan?

Iya, kita di sana diberi 'mainan'. Ilmuwan 'mainannya' ya laboratorium. Tidak boleh duduk di meja, harus di laboratorium kasih fasilitas. Itu adalah penghargaan pertama. 

Karena di laboratorium, tentunya penghasilannya harus cukup, kasih makan yang cukup. Kalau enggak, ya nanti ilmuwan pastinya ngamen. 

Jangan sampai dia jadi mengajar di universitas lain, dosen terbang itu ganggu konsentrasinya. Jadi laboratorium diberikan, itu penghargaan tertinggi, kalau sudah lengkap, mereka bisa berkarya. 

Jepang saat lihat satu peneliti sudah lulus doktor, wah kelihatan ini ahli. Di-hire (dipekerjakan) lembaga riset atau universitas, di laboratorium dikasih startup funding. Ini uang untuk mulai kegiatan Anda. Di AS, di Jerman sudah ada (skema tersebut).

Kalau di Indonesia kan beda.

Penghargaan di Jerman sama. Investasi di penelitian dan ada hubungan dengan industri. Jadi merasa ada fasilitas ada tanggung jawab dan dihubungkan dengan pihak terkait. Kami punya laboratorium ini, kita bisa bekerja sama dengan industri. Jadi otak saja enggak cukup, butuh infrastruktur.

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya