Rumah Modular Solusi Tercapainya Program Sejuta Rumah
- VIVAnews/Ikhwan Yanuar
VIVA.co.id – Penyediaan perumahan masih menjadi pekerjaan rumah sekaligus tantangan berat bagi pemerintah. Mengingat saat ini jumlah backlog (kesenjangan antara rumah yang dibangun dengan yang dibutuhkan rakyat) di Indonesia masih mencapai 11,4 juta unit rumah, berdasarkan data terakhir dari Badan Pusat Statistik (BPS).
Masalah klasik yang dihadapi tak lain karena mahalnya harga rumah yang jauh dari kemampuan masyarakat golongan menengah ke bawah.
Untuk mengejar pemenuhan kebutuhan itu, pemerintah melalui Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) menggadangkan program sejuta rumah. Pencanangan program ini pun menjadi awal sejarah, sejak Presiden Joko Widodo meluncurkan program ini pada 29 April 2015.
Namun demikian realisasi 2015 untuk program sejuta rumah belum tercapai maksimal. Hingga akhir 2015, hanya terbangun sebanyak 667.668 unit rumah baik bagi Masyarakat Berpenghasilan Rendah (MBR) maupun non MBR.
Kecepatan dari pembangunan rumah pun tak seiring dengan meningkatnya kebutuhan masyarakat akan rumah. Perlu dipertanyakan, benarkah dibutuhkan solusi pembangunan rumah yang lebih cepat dan lebih murah dan sesuai dengan kemampuan masyarakat menengah ke bawah?.
Direktur Jenderal Penyediaan Perumahan Kementerian PUPR, Syarif Burhanudin angkat bicara. Menurutnya, Sistem modular bisa saja dijadikan solusi dengan catatan bahwa desain yang disajikan lebih menarik minat masyarakat untuk memiliki rumah.
"Kami sudah rapat dengan Perumnas, Bapertarum atau tapera itu untuk memulai dengan sistem modular, jadi jauh lebih murah bangunannya. Kami akan bikin dengan sistem standar yang ada," kata Syarif saat berbincang dengan VIVA.co.id belum lama ini.
Untuk diketahui, sistem modular adalah metode pelaksanaan pembangunan rumah dengan memanfaatkan material atau komponen fabrikasi yang dibuat di luar lokasi proyek atau di dalam lokasi proyek yang nantinya komponen tersebut akan disatukan di tempat yang seharusnya atau posisi dari komponen tersebut.
Pembangunan dengan sistem modular bisa dilakukan dalam waktu yang cukup singkat, di mana pemerintah saat ini sanggup membangun dalam waktu dua hari. Negara lain pun sudah menerapkan hal tersebut, seperti Australia dan Selandia Baru.
"Ke depan, sistem modular itu akan memudahkan dalam pelaksanaan dalam kontrol dan biaya. Bahkan suatu saat nanti sudah akan menjadi e-catalog yang tidak lagi ditender," ujar Syarif.
Meski demikian, kata Syarif, pembangunan rumah modular untuk wilayah Indonesia yang jauh dari tempat fabrikasi seperti di Papua, tentunya butuh ongkos yang lebih besar dalam pengangkutan komponen-komponen bangunannya. Hal ini menjadi tantangan tersendiri bagi pemerintah.
"Sekarang kita berproses terus, perusahaan fabrikasi kami undang, banyak yang punya modular. Tapi persoalan tempat seperti biaya transportasinya yang lebih mahal kalau di Papua, tapi kalau di Semarang atau Pulau Jawa tentu masih murah," terang Syarif.
Belum familiar di masyarakat
Sementara itu, Ketua Umum Asosiasi Pengembang Perumahan dan Permukiman Seluruh Indonesia (Apersi), Eddy Ganefo mengatakan pihaknya mendukung adanya pembangunan rumah dengan sistem modular. Sebab, akan mempercepat waktu pembangunan perumahan dan tentunya dapat mendukung program sejuta rumah.
"Jadi, itu merupakan salah satu alternatif bagi penyediaan rumah. Masalahnya, rumah ini belum familiar bagi masyarakat, tapi kalau di luar negeri seperti di Australia dan Selandia baru itu sudah pakai," kata dia.
Eddy mengungkapkan rumah modular kualitasnya cukup mumpuni, bahkan ada yang tahan api, tahan gempa, hingga tahan bom. Meski demikian, ia mengaku menunggu dukungan pemerintah dalam memperbanyak subsidi dalam penyediaan rumah.
"Rumah itu ada yang tahan gempa, tahan bom, tahan api, sudah dipraktikkan dan diuji di puslitbang (Pusat Penelitian dan Pengembangan)," ungkap dia.
Kementerian PUPR sendiri saat ini telah memiliki rumah modular yang sudah dibangun di beberapa lokasi untuk program CSR bersama dengan perusahaan Semen. Rumah Instan Sehat Sederhana (Risha) dengan tipe 36 dipatok sebesar Rp47 juta per unit (di luar tanah), sehingga diklaim cocok mendukung program sejuta rumah.
Sekretaris Badan Penelitian dan Pengembangan (Balitbang) PUPR, Bernaldy, merincikan berbagai jenis dari rumah modular yang akan disediakan pemerintah, mulai dari Rumah Instan Sehat Sederhana (Risha), Rumah Unggul Sistem Panel Instan (Ruspin), Rumah Instan Kayu (Rika) dan Rumah Instan Nusantara (Rista).
Dalam pembangunan rumah ini, pemerintah akan menggaet pengembang perumahan dan peneliti. Rumah yang ditawarkan pemerintah tersebut pembangunannya hanya membutuhkan waktu dua hari.
"Rumah ini bulan depan kami sudah keluarkan, pengembang sudah siap. Saat ini Perumnas rencananya (bangun) di wilayah Jabotabek, Apersi Jabar," kata Bernaldy dalam diskusi bersama dengan awak media di kantor Kementerian PUPR, Kamis, 22 September 2016.
Ia mengakui desain rumah instan yang sudah ada saat ini belum begitu familiar dan menarik di pasaran. Untuk itu, ia membuka bagi pengembang untuk merancang desain sebaik mungkin agar rumah ini dapat lebih menarik minat masyarakat.
Hal senada juga disampaikan oleh Direktur Eksekutif Indonesia Property Watch (IPW), Ali Tranghada. Menurutnya, rumah sistem modular akan menelan biaya yang sangat rendah.
"Kalau modular, lebih efektif dengan fabrikasi, jadi cost bisa lebih murah, tapi sekarang belum diimplementasikan (dengan baik)," kata dia. (ase)