- VIVA.co.id/M Ali Wafa
VIVA.co.id – Di Indonesia, masih sedikit sejarawan yang memiliki determinasi dan juga semangat tinggi layaknya Mona Lohanda. Sejarawan keturunan Betawi-China ini termotivasi mempelajari asal usul leluhurnya, dan mengungkap sejarah masyarakat Jakarta di era kolonial.
Beragam buku dan tulisan sudah ditelurkan Mona. Sebagai ganjaran, beragam penghargaan diraihnya, Paling mutakhir adalah Achmad Bakrie Award, yang didapatkan atas kegigihan dan dedikasi selama ini.
Perempuan yang lahir di Tangerang, Banten, dalam komunitas China Benteng pada 1947 ini, mulai bekerja di Arsip Nasional RI pada 1972 dan pensiun di 2012. Selama bekerja di ANRI, Mona banyak membantu mahasiswa, sarjana, dan peneliti dalam menelusuri arsip.
Mona menyelesaikan pendidikan sejarah di Fakultas Sastra Universitas Indonesia. Kemudian melanjutkan pascasarjana di University of London, Inggirs. Lalu mendapatkan gelar Ph.D di Universitas Nijmegen, Belanda.
Sebagai sejarawan, banyak juga yang menentang pendapatnya, terutama ketika Mona menjelaskan leluhur masyarakat Betawi berasal dari budak. Namun, semua itu didapatkannya berdasarkan catatan sejarah penguasa zaman dulu.
Tak hanya itu, dia juga menyebut beragam kelemahan pemimpin masa lalu, sehingga membuat Indonesia sampai bisa dijajah hingga 3,5 abad, oleh Negara yang luasnya lebih kecil dari Propinsi Jawa Barat. Selain itu, kesalahan di masa lalu yang berimbas hingga kini secara budaya.
Semua ini dituturkannya pada VIVA.co.id, 29 Agustus 2016 di sebuah ruangan di lantai basement Gedung C ANRI. Ruang khusus yang disediakan lembaga itu buat Mona, agar perempuan paruh baya ini bisa terus meneliti sejarah.
Bagaimana ceritanya Anda bisa tertarik dengan sejarah?
Semua orang tanya itu sama saya. Saya bilang, saya itu tidak bermimpi untuk masuk jurusan sejarah, saya dari SMP, zaman saya itu SMP itu ada A, B, C. A itu bagian budaya dan sastra, B itu ilmu kepastian alam, C itu ekonomi. Saya masuk B tapi saya lompat ke A. Boleh kan. Begitu lulus SMP, begitu lagi.  Saya enggak mau, saya mau masuk bagian budaya. Terus yang lain heran, orang kan ingin ke bagian B, saya tidak tertarik. Terus, guru saya kebetulan guru sastra itu bilang, anak ini lihat, hasil sastranya semua lebih tinggi. Jadi cocok, akhirnya masuk budaya.
Saya tidak berpikir masuk sejarah, saya itu maunya ke sastra Indonesia. Tapi waktu itu dibilangnya kalau mau belajar sastra Indonesia harus belajar bahasa Arab Melayu. Tapi sekarang saya butuh itu Arab Melayu, tapi saya bilang dulu tidak usah deh. Terus di daftar itu kan ada jurusan-jurusan, ada sastra Inggris, Jepang, China, Perancis, saya tidak tertarik sama itu. Selain itu ada juga jurusan sejarah, antropologi, sosiologi. Sudah saja saya gini-kan (tangannya membuat gerakan mencontreng).
Langsung pilih sejarah?
Iya, kan kita waktu itu komputer tapi masih pakai punchcard, sudah masuklah sejarah. Ternyata di sejarah tidak ada yang namanya sejarah murni, teman saya dia itu ada yang dari Inggris, tidak diterima sudah saja ke sejarah. Kalau saya sudah saja langsung pilih sejarah. Tapi kalau saya itu ingin saja tahu seperti apa sih sejarah, waktu dari SD, SMP, SMA sejarah begitu, ya ingin lihat saja, jadi keterusan.
Tapi saya punya satu prinsip, kalau kita memilih kita konsekuen. Setia pada pilihan, makanya waktu saya masuk langsung begitu.
Terus bisa sampai ke Arsip Nasional?
Sebenarnya saya waktu itu masih mahasiswa tingkat tiga, kan waktu zaman kami itu ada sarjana muda, harus lulus ujian ada semacam skripsi pendek, cuma 40 halaman. Waktu saya buat skripsi, kan butuh ke perpustakaan. Saya ambilnya zaman Belanda, yang punya buku tentang zaman Belanda itu di mana? Ternyata adanya di Arsip Nasional. Kebetulan kepalanya kan dosen kita juga, saya sering bolak-balik, enak kalau di sini, ditaruh di ruang baca, disuruh pilih. Terus ibu Sumartini bilang waktu itu, "Mon, kamu bantu saja di sini." Saya bilang, nanti dulu deh bu, saya kan belum ujian.
Saya enggak berani janji, padahal saya sudah terima tawaran dari beberapa dosen lain, termasuk dari fakultas sendiri. Papa saya selalu bilang, kalau sekolah jangan sampai terganggu kerja, nanti enggak selesai sekolahnya. Saya juga dapat tawaran dari Pusat Sejarah ABRI, terus dari fakultas, kalau LIPI dia belakangan, pak Abdulah baru tawarkan belakangan.
Kemudian waktu saya sudah sarjana muda ada masuk semester lagi kan lama, sudah capek karena ada buku tinggi menumpuk capek juga lama-lama. Akhinya iseng aja saya jalan, saya bilang boleh juga deh bu, sudah saja kita jalan. Tapi dengan perjanjian karena saya masih kuliah, jadi saat kuliah saya tidak masuk kantor. Itu (tahun) 71, 72 baru saya jadi calon pegawai negeri. Waktu itu baru terima gaji 70 persen.
Dalam proses itu belum terpikir menjadi arsiparis atau sejarawan?
Enggak terpikir, saya kan sampai pensiun saya bukan arsiparis, karena saya tidak pernah mendapatkan pendidikan sebagai arsiparis. Saya sejarawan, karena kepala ANRI waktu itu ibu Sumartini dia lihat, dia tanya juga sama dosen lain, kelihatannya anak ini cocok untuk hubungannya dengan kampus, jadi saya mendapat semacam assignment. Saya hubungannya dengan kampus, saya jadi sering bertemu peneliti, karena kebetulan saya ditugaskan untuk bertemu dengan peneliti. Dan waktu itu orang Indonesia peneliti belum banyak, kebanyakan orang asing.
Saya itu waktu itu saya suka ikut cari sendiri dan saya ngobrol, saya tanya. Jadi kita jadi kenal dan berteman, contohnya pak Ricklefs (M.C. Ricklefs), saya bilang ini bahasa Belanda itu kan ada pirografi, kalau bahasa Jawa ada? Dia bilang ada, abad ke 15, abad sebelumnya beda-beda. Kosakatanya juga, baru saya mengerti setiap bahasa itu juga mengalami perubahan dari abad ke abad, terus misalnya dengan pak Tony. Saya selalu dialog.
Dulu saya melayani itu dari '71 sampai '80an, pokoknya 14 tahun lebih, saya punya pengalaman, jadi karena mereka tanya saya juga cari sendiri di belakang. Saya baca-baca saya jadi tahu ini dan akhirnya kita memahami. Sampai akhirnya dari UNESCO, saya dapat tugas menyusun seluruh koleksi, cuma koleksinya dari zaman kolonial saja.
(mengambil buku Arsip Sejarah Asia)
Jadi seperti ini, di dunia itu ada sejarah Eropa, dan kita kebagian membuat sejarah Asia. Lalu saya ajak teman arsiparis untuk membuat daftar, karena selain membuat daftar kita harus tahu, misalnya kalau ini dibuat arsip dewan Hindia, dewan Hindia itu apa? Dan itu (penjelasannya) saya yang buat. UNESCO terus bilang, di antara Asia kalian paling cepat.
Aslinya teks bahasa apa?
Belanda, ada juga bahasa Perancis, terus kalau ada bahasa Jerman juga mesti disebut. Terus harus saya Inggris-kan, karena ini untuk internasional. Ini saya kerjakan sendiri. Ini setahun selesainya.
Berapa arsip?
Ini yang jadi favorit teman-teman di luar ini, hampir 10 kilometer.
Itu dokumen yang diarsipkan?
Iya. Ini dokumen VOC saja dua kilometer, ini masih ada periode sesudah 1817, sesudah Inggris. Tapi ini baru lembaga, dan dari daerah itu juga masih banyak. Ini favorit para peneliti. Makanya saya suka menyebut tentang budaya lokal, karena banyak, banyak banget mas. Malu kan kita.
Di sini paling lama adalah membuat daftar, karena belum ada daftar sebelumnya. Makanya di sini saya buat daftar beberapa nama arsiparis.
Anda baru saja menerima penghargaan Bakrie Award, apa makna penghargaan itu secara pribadi?
Saya tak kira, kaget, ditelepon mas Bambang. Besoknya mas Ulil datang. Di kepala saya ada beberapa penelitian. Penghargaan itu buat saya semacam memberikan akomodasi karena biaya penelitian kan tak murah. Waktu di sambutan saya katakan, ini mengingatkan saya masih punya utang yang sudah lama ada di dalam hati. Saya harus bayar utang itu. Saya sudah jadwalkan September ini saya harus selesaikan paper saya, saya sudah mulai jalan. Saya tinggal di Tangerang, kalau wara wiri habis waktu. Jadi saya bilang, saya juga perlu untuk biaya hidup di Jakarta. Mungkin saya tinggal satu bulan. Jadi saya tak usah terlalu repot. Kalau nulis kan bisa di rumah karena buku saya di rumah.
Apa yang mau Anda bikin?
Ada dua tentang Jakarta yang belum saya tulis. Satu tentang Kapiten Melayu. Ini akan saya dahulukan karena ada data. Saya pernah tulis artikel berkaitan dengan dia tapi dia punya fungsi yang banyak. Ada persoalan bahasa Melayu juga. Kedua, Jakarta di zaman pemerintahan lokal seperti apa. Itu baru dua. Masih banyak yang lain. Selama diberi umur panjang dan badan tak sakit-sakitan. Makin tua kan suka malas. Mimpi saya baru satu.
Saya kalau di rumah pun pasti ada kerjaan dari teman-teman lain. Minggu lalu baru selesaikan naskah dari mendikbud. Bu kita disuruh menulis pedoman bagaimana menggunakan sumber sejarah. Ibu diminta koreksi. Saya tadinya mau cerewet tapi sudahlah. Ini untuk yang di daerah. Ada lagi teman sudah bikin naskah bangunan tua, tolong dilihat. kayak gitu. Itu kerjaan begitu saja macam-macam ada. Ada orang DKI kasih buku transportasi. DKI tak perlu bikin buku itu. Tapi ternyata orang kita bikin proyek yang tidak-tidak. Bukan bagian Anda. Yang saya sebel, bikin tim. Tak boleh satu dua orang. Tim itu kan ada malas dan rajin. Saya bilang ngapain bikin tim. Saya disuruh jadi koordinator. Untuk apa cuma 100 halaman sampai 5 orang. Itu bisa ditulis sendiri. Lima orang buang-buang duit. Terus ada tim pencari data yang tak kerja.
Kemarin saya di kelompok arsitek yang kota tua. Anda selalu konsennya di kota tua. Coba di Jakarta Timur, Tak pernah ada yang sentuh. Bukan daerah militer dan kolonial juga. Kota tua melulu. Ini kan terlantar jadinya.
Kenapa ibu mau melakukan ini?
Karena saya senang mas, enggak ada alasan apa-apa. Kalau saya ditanya, selalu saya jawab, saya mah demen aja. Waktu kita mau pulang, abangnya mas Dani, dia orang pertanian, dia Tanya bagaimana bu? Saya bilang, di kantor itu banyak arsip tentang sistem cultuursteelsel tentang pertanian. Dari gula, kopi, teh, padi, semua ada, tinggal datang ke sini dan dia bisa membaca. Orang kita itu gampang, persoalannya mau tidak dia membaca. Ada juga dia keburu bosan, berat katanya.
Ibu lebih dikenal sebagai sejarawan Jakarta, beberapa buku ibu juga menceritakan sejarah Batavia?
Kapitan China (tentang) Batavia, Orang Pembesar (tentang) Batavia, terus ada sebetulnya artikel kecil-kecil lainnya. Begini, karena kita kalau menulis sejarah local kita sebaiknya punya kedekatan emosi. Mudah mengerti, karena anda bagian dari inner society-nya, sebab itu Kapitan China saya sebut juga Batavia, tapi sebenarnya Batavia itu punya status istimewa, dia punya panjang, jadi dia punya posisi sebagai ibu kota, masyarakatnya punya posisi. Ketika saya menulis ‘Kapitan China’ orang kemudian bilang, sudah mati, sudah tidak ada. Tapi ternyata dia sampai zaman Jepang menjajah. Bahkan tahun 50an ada, tapi karena sudah tidak diperhatikan pemerintah, itu tahun 50an mereka berhenti. Jabatan itu sudah tidak ada lagi, karena itu diberikan pemerintah zaman kolonial dalam hal ini VOC.
Sebenarnya masih banyak yang bisa ditulis tentang Batavia zaman kolonial, itu masih banyak.
Seperti apa bu?
Seperti tentang saya bilang, waktu kita pindah ke Yogya, ’45-’49, di sini (Jakarta) kan kosong. Tapi ternyata ada yang memerintah. Sebab, Gedung Proklamasi, di Pegangsaan Timur, itu rumah Sukarno itu dipakai kantor perwakilan lho. Dan waktu, duh saya jadi cerita kemana-mana, waktu itu saya pernah cerita, jadi PTRI itu ternyata saya baru tahu itu ada di Merdeka Selatan, jangan-jangan itu di Kedutaan Amerika sekarang. Orang dari Kemlu dia tanya, dan ternyata memang benar.
Tahukan anda, waku Sultan HB IX menerima kedaulatan dari Belanda, dia berangkat dari Pegangsaan Timur. Ada fotoya, ada arsipnya.
Ada pemerintahan berarti saat itu di Pegangsaan Timur?
Iya, berarti ada double. Sebab, sesudah kita itu, NICA membnetuk daerah, ternyata Gubernur Jakarta, itu Hilman Djayadiningrat, dari keluarga Husein. Saya curiga, jangan-jangan ketika ada NICA ini ngapain? Saya enggak tahu, apa sistem masih diteruskan, karena ketika kita zaman Belanda jelas, saya juga tulis di buku Batavia, di Jepang sedikit tapi enggak banyak berubah, nah ketika kita pindah ke Yogya, kan enggak mungkin ditinggalin, karena kan Sutan Sjahrir lebih banyak di Jakarta lho. Wong di fotonya lagi banyak orang Belanda kok.
Ibu mengatakan kedekatan emosional, tapi bagaimana kalau dilihat secara sejarah budaya?
Ada begini, ini buku proyek di DKI, DKI itu punya sejarah dan museum, rupanya mereka punya proyek menjelang Sutiyoso berakhir jabatan, mereka ingin menulis orang-orang penting di Jakarta, sebetulnya fokus mereka gubernur republik. Saya bilang saya enggak punya data kalau republik, tapi kita juga pikir, sudah yang zaman Belanda itu kita kasih juga bu Mona, akhirnya saya kan sudah punya data, ada data mulai dari Kapiten China sampai Kapiten Melayu. Nah Kapiten Melayu itu juga banyak, dari Kapiten Arab, nah sekarang Kapiten Arab itu belum ada yang tulis. Saya sudah bilang sama teman-teman saya yang Arab Betawi, saya kan China-Betawi, nah lu tulis tuh yang Arab-Betawi.
Komunitas Arab itu di Jakarta baru muncul 1830-an, Kapitan Arab itu umurnya kurang lebih… Karena dia munculnya itu sekitar 1848, karena komunitas Arab di Jakarta baru muncul 1830-an. Dia kalau komunitasnya besar, dia angkat kapiten. Itu lebih pendek saya bilang, dibandingkan saya mesti seratus tahun lebih. Terus ada lagi Kapiten China muslim. Itu sudah saya tulis di buku Jakarta Batavia, dan berbagai artikel.
Jadi dulu kata peranakan itu awalnya merujuk pada orang China yang muslim, tapi terus sesudah komunitas ini melebur pada setempat atau pribumi, kata peranakan dipakai untuk campur. Jadi itu sekarang masjid Kebon Jeruk mas, itu teman-teman arsitek sudah enggak bisa ke sana, sebab sudah menjadi milik komunitas tertentu dan sudah enggak bisa sembarang orang, padahal itu kuburannya masih ada gaya China dan huruf Arab.
Masjidnya juga dekor interiornya masih begitu, sayang kan. Itu bukti komunitas disitu, nah waktu itu Belanda menyebut kata peranakan itu, Kapiten dan peranakan pada China muslim. Kalau sekarang peranakan semua yang mix dia bilang peranakan.
Untuk baca arsip sejarah, tentu perlu belajar bahasa Belanda, dari mana?
Belajar karena dipaksa, aku dapat bahasa Belanda cuma dua semester kan, kami di jurusan sejarah wajib. Ini yang saya bilang ke teman, mestinya belajar sejarah juga belajar bahasa lokal, karena untuk tahu sejarah kan mesti mengerti bahasa lokal, harus kan, supaya bahasa asli ibu kita jangan hilang juga. Itu kalau saya ketemu teman saya kita harus push itu, jadi dalam kurikulum sejarah itu harus bisa kurang lebih satu bahasa lokal.
Itu salah satu cara untuk membuat bahasa lokal tidak punah. Kan sekarang cuma muatan lokal, kalau anaknya pindah lupa, karena bahasa sehari-harinya tetap bahasa Jakarta. Nah, kalau kita pelajari itu, akan jadi ilmu dan itu akan terus.
Saya bahasa Belanda saya kan masuk jurusan, itu diwajibkan dua semester, satu untuk gramatikanya, terus semester kedua bacaan. Begitu masuk arsip, saya bilang sudah enggak bisa ini. Kalau baca arsip buka kamus seratus kali pun, sama dengan bahas Inggris.
Aku dulu di SMA sudah suka dengan cerita terjemahan, saduran, ada seri Balai Pustaka, macam-macam saduran sastra dunia, begitu kuliah, buku referensinya sudah enggak ada terjemahannya saya push lagi, saya paksa supaya bisa bahasa Inggris. Biarin saja satu halaman buka (kamus) seratus kali juga apa boleh buat. Sampai sekarang saja saya terus pegang kamus. Mahasiswa bingung, ibu masih pakai bahasa Indonesia, saya bilang, lu enggak tahu bahasa Indonesia itu banyak berubah?
Saya tetap, saya kalau enggak pakai kamus itu di rumah kamus saya itu segini (menunjuk setinggi pinggang orang dewasa), bahasa yang sering saya jumpai, Perancis keluar, Jerman keluar, Inggris keluar, saya punya yang reference yang gede ini, sepuluh tahun sudah mesti diganti ini. Saya itu yang Inggris sering saya ganti karena mereka kan sering ada kosakata baru.
Belanda kan juga mengalami perkembangan?
Pasti, teman di Belanda ngatain kamu itu antiquariat. Kamu bilang kalau baca Koran kadang masih gelegapan karena sudah bercampur dengan bahasa modern. Kalau baca arsip itu lebih cepat, karena dia punya format. Kita sudah tahu, kalau baca dokumen atau surat bagian atasnya jangan dibaca karena basa-basi. Cari tengahnya mana inti suratnya, itu tehnik. Karena itu dokumen pemerintah, dia kalau jawab surat pasti diawali dengan bla, bla, bla, jadi kita cari saja intinya, biasanya di tengah, jadi ada tehniknya supaya tidak buang-buang waktu dan berpanjang-panjang. Tapi mencari esensinya itu harus dirunut juga.
Arsip saling berkaitan, bagaimana merunutnya atau menyusunnya?
Itu yang saya suka dengan arsip Belanda. Sebab mereka dari awal, dijawab sampai sini, itu banyak. Dokumen sejarah itu ada proses, ketika anda mendapat infomasi pertama lagi kemana-kemana, dalam surat menyurat itu seringkali terjadi perdebatan dan pertentangan, kalau datar saja itu enggak menarik.
Saya suka dengan buku tentang politik, bagaimana mereka harus menghadapi gerakan Kuomintang dan bagaimana mereka harus menghadapi gerakan Syarikat Islam. Mereka harus banyak dialog dan perdebatan, kalau datar saja saya tidak suka. Padahal teman saya bilang yang kamu tulis itu strukturis, padahal tidak datar, up and down itu kelihatan. Itu kalau kita melihat sejarah sebagai proses, dia bukan sesuatu yang datar kan.
Ada artikel yang saya tulis, tentang bagaimana orang China dengan orang Arab berkelahi di Surabaya. Kenapa dua pihak, ternyata itu 1912, orang China kan sedang baru Republiknya, nah orang Arab, menjelang PD I (Perang Dunia Pertama), Turki sebagai pelindungnya kan sedang begini (menunjuk ke arah bawah), jadi menarik, lucu.
Mereka ada berita di bioskop, kalau ada laporan berita tentang Turki sedang begitu, orang China bersorak, lucu, itu ada laporan polisi. Kayak gitu, terus mulainya kenapa, ya karena saling kata-kataan saja. Karena di Surabaya mereka hidupnya bersebelahan.
Memang pemerintah kolonial itu kalau mencari dua komunitas non pribumi itu selalu berdampingan, jadi saya punya cara, kalau ke daerah saya tanya kota tua mereka tidak mengerti, saya selalu tanya di sini ada kampung China? Oh baru mereka bilang ada.
Setiap kota ada sepert itu?
Pasti, kalau kota pelabuhan dan kota besar. Di Medan, Palembang, pasti mereka harus berdekatan karena kan ekonomi. Dan kedua mereka tidak bisa masuk ke pedalaman karena supaya bisa diawasi.
Untuk mencari arsip itu perlu sampai ke daerah?
Bukan, kalau arsip Belanda itu dari level dari kota sampai desa pun ada, itu laporan pertanian, perkebunan itu ada, tapi tergantung kita, semua bermula dari kita, kita mau tahu apa enggak. Kalau kita cepat puas, seperti teman bilang ada mahasiswa, teman bilang dia enggak puas karena tahu sebenarnya arsipnya banyak, masalahnya dia enggak rajin cari, jadi sudah saja. Itu tantangan tersendiri dan memerlukan insting. Kalau kita selalu merasa cukup ya sudah.
Kalau saya kan karena saya enggak puas masih banyak yang kurang. Yang waktu kita tulis draf, seringkali kita menemukan sesuatu yang tidak kita niatkan. Tapi saya biasanya saya tulis di buku untuk kita tulis di paper. Itu biasa.
Saya pernah, untuk mencari angka tahun, saya harus pergi ke Leiden (Belanda) unutk mencari tahu tahunnya. Bayangkan, keretanya saja berapa. Ketika menulis itu seringkali tidak sesuai dengan yang kita rencanakan. Tapi kita harus punya draf konsep.
Arsip lebih banyak di mana?
Tentang Indonesia pasti lebih banyak di sini. Justru kekurangan mereka, yang ada di mereka itu level pemerintahan pusat, kalau lokal, itu arsip daerah dari Aceh sampai Ternate atau Papua itu ada di sini. Makanya mereka itu pertama ke sana dulu, setelah itu mereka pasti ke sini.
Jadi merunutnya harus dari Belanda dulu?
Iya. Kalau mereka asing, kalau kita cukup di sini. Tapi terkadang perlu juga ke Belanda.
Saya awalnya menulis soal Kapiten China itu tidak ada maksud menulis tentang itu. Awalnya saya mau menulis tentang Kapiten Bugis, Jawa, segala macam, Ambon, Melayu. Profesor saya bilang, Mon lebih baik nulis tentang Kapiten China, karena itu datanya pasti kamu dapat banyak. Yakin pak? Iya, karena orang China itu suka menulis dan mengumpulkan dokumen, benar.
Kalau Kapiten lain itu banyak, professor saya itu sosiologi tapi tahu banyak, karena dia juga bisa bahasa Belanda. Umurnya pendek, benar setelah saya tulis itu umurnya hanya sampai 1830.
Kapiten China itu masanya berakhir setelah era Sukarno?
Ya, 1950, jadi itu jadi kasus, saya dipanggil sama orang LBH (Lembaga Bantuan Hukum) jadi Sejuk (Serikat Jurnalis untuk Keragaman) rupanya menulis tentang China Benteng yang di Neglasari. Saya bilang, itu bukan China Benteng. China Benteng itu punya nilai historis, antropologis dan budaya, itu bukan China Benteng. Mereka adalah korban dari PP Nomor 10 tahun ’59, mereka diangkut dari desa dibawa ke daerah Priok, ditaruh di sana untuk menunggu kapal dari China, dari RRT (Republik Rakyat Tiongkok) ternyata kapal itu Cuma dating dua, jadi mereka terlantar di situ, didiamkan saja selama masa Sukarno, Suharto. Dan mereka rebut mereka enggak punya bukti, dan benar, temanku kan saya tahu dari teman-teman Institus Keluarga Indonesia, mereka Cuma dapat exit permit only, surat itu. KTP enggak punya, jadi itu yang diributkan oleh anak-anak LSM, diskriminasi.
Sebenarnya bukan diskriminasi, orang mereka enggak punya surat. Saya jelaskan, dan itu bukan China Benteng, itu kan dari daerah ditumpuk ke situ, mereka enggak mau dibilang China Benteng, karena mereka baru di situ tahun ’60. Kalau kita (China Benteng) kan sudah ada sejak sekian ratus tahun lalu.
Malah sebelum VOC datang kita sudah ada di sana kan. Kalau mereka kan dikumpulkan di kota-kota pusat pelabuhan dari desa, katanya mau diberangkatkan, ternyata hanya dua kapal yang dating, sehingga mereka jadi problem. Dan ternyata di sana (China) juga mereka menjadi masalah, ini mau diapakan ada pendatang. Sehingga dari teman-teman LSM cerita, ada yang sudah terbawa, akhirnya mereka lari ke Hong Kong, banyak juga yang tersebar ke Brasil, ke Australia, New Zealand, diasporanya kemana-mana.
Karena status stateless?
Iya, ternyata mereka itu tidak punya itu (dokumen) karena sudah diambil, sehingga hanya dikasih izin exit permit only, karena mereka (LSM) juga mengontak saya soal warga Negara, orang China bilang di Belanda itu ada soal warga Negara. Status 48, status 58. Makanya mereka tidak mau disebut China Benteng, karena kita yang dari dalam kota sendiri itu China Benteng, yang di pinggir-pinggir sana, itu sudah ratusan generasi.
Bagaimana sebenarnya awal mula suku Betawi?
Masyarakat Betawi di kalangan mereka banyak terjadi beda pendapat, saya sebagai orang Betawi yang agak di luar karena kita kan orang yang, kalau Betawi yang benar itu kan ada unsur aslinya darimana. Kita bilang anda campuran dari macam-macam, mereka bilang menolak kalau mereka disebut turunan budak. Kita bilang bukan turunan budak, tapi ada unsur budak di situ, bukan hanya budak, tapi serdadu juga saya bilang. Ketika Belanda datang kan ada Pangeran Jayakarta, dia mewakili Banten, terus ada kampung China di Ciliwung, kemudian waktu diserbu Belanda kawasan ini kosong, kemudian yang dari Banten itu lari ke Jatinegara Kaum, itu kampung tua di Jakarta, salah satu. Saya heran, kok orang Betawi ada yang pakai nama Raden, ternyata itu keturunan dari Banten.
Terus oleh VOC, Jan Pieterszoon Coen, ini dibangun kota, diisi orang dari berbagai tempat, dia isi orang dari Ambon, dari Bali, semua. Nah, di Makassar itu ada pasar budak, nah ini di Betawi juga ada pasar budak, orang Bali kalau kalah perang kan jadi budak, mereka juga dikirim sama raja mereka ke Batavia sebagai budak. Kalau anda laki-laki dan berbadan kuat jadi serdadu seperti Untung Surapati, kan budak Bali, dia memilih jadi serdadu. Karena biar jelek-jelek juga kan masih dapat gaji, kalau perempuan budak.
Kalau orang China beli budak, dia tidak dikerjakan di rumah tangga, tidak jadi babu, dia suruh main wayang, sehingga sekarang kan banyak itu wayang di Betawi. Itu kan gambang kromong, wayang, lenong, itu. Atau kalau laki dia suruh kerja di kebon, orang China itu banyak yang punya kebon tebu. Di daerah saya itu di Tangerang itu perkebunan tebu pertama sebelum cultur stelsel. Nah kalau orang Belanda, budak itu dijadikan pemain orkes, kayak tanjidor, atau jadi babu asuh anak, atau tukang bikin sambal atau merias, macam-macam.
Itu bedanya, satu budak untuk kepentingan ekonomi, satu untuk status, prestise. Tanpa dia sadari pengaruh budak dari orang-orang Belanda itu ada unsure budaya masuk, jadi ada unsur China, Belanda, Arab. Kan kata-kata Betawi ada dari bahasa Belanda, ada kata China. Orang Betawi itu kan kalau bilang 50 mesti bilang gocap. Itu unsur Chinanya.
Unsur ini semua, makanya ada Kapiten Bugis, Kapiten orang dari Flores, Bali, ketika mereka melebur, hilang, pemerintah Belanda bilang enggak bisa lagi komunitas berdasarkan etnis. Nah setelah itu baru muncul Betawi.
Tahun berapa itu?
Sekitar 1830-an, bareng-bareng nanti Arab. Arab sudah masuk, jadi seperti melting pot.China kan sudah ada, terus ada sedikit Belanda, Portugisnya juga ada, nah mereka yang saya bilang itu tidak terima, karena mereka menganggap kita bilang mereka keturunan budak, saya bilang bukan, anda itu budak dari salah satu unsur, unsurnya kan banyak, pedagang dan segala macam.
Orang Betawi kalau dia kawin sama orang di luar etnisnya, terutama dengan China, itu disebut nyai lho. Mbah saya dulu kan disebut Nyai, karena saya punya engkong kan mamanya asli, disebut nyai. Orang Betawi itu kalau si perempuan kawinnya bukan sama orang lokal apa disebut Nyai Belanda, kawin sama orang China dipanggil mak nyai.
Orang bilang sejarah itu tak bisa dipisahkan, ada yang bilang itu hanya dongeng, saya bilang itu tak bisa dipisahkan.
Kenapa masih sedikit sejarawan lokal yang pelajari Jakarta?
Itulah kelemahan kita, saya ada artikel yang mau saya masukan di buku yang akan dicetak ulang. Perhatikan untuk teman-teman yang lain juga, bahwa saya ambil contoh sejarah Batavia, itu punya status yang lebih sulit daripada anda yang sejarah lain. Batavia itu karena iu kota Negara dari dulu sampai sekarang. Jakarta sebagai ibu kota bukan Jakarta sebagai kampung kita, sejarawan enggak bisa lihat, baru tahu, misalnya Jakarta sebagai kota proklamasi itu urusan sejarah nasional, tapi misalnya Jakarta di RT sini ada apa, itu masuk sini sejarah lokal.
Orang Kapiten China di Semarang sama Batavia itu beda, konsepnya sama, tapi dinamika lokalnya berbeda. Waktu Arab sama China konflik, di Surabay ramai, di beberapa daerah juga, di Batavia tidak terjadi apa-apa, karena Arab sama China di Betawi itu kompak, karena mereka berdekatan dan sejarahnya panjang. Dan orang China di Betawi kan banyak peranakan, kalau di Surabaya itu ternyata banyak yang totok. Arabnya kan juga seperti itu, banyak yang peranakan Betawi juga.
Berdasarkan arsip, kenapa VOC bisa menjajah hingga berabad-abad, apakah benar karena tidak kompak?
Kalau soal tidak kompak, sampai sekarang pun kita tidak kompak. Masalahnya begini, baru saya sadari, teman saya yang meneliti sejarah asia tenggara bilang, kok negeri yang segede itu bisa dijajah sama Belanda yang luasnya tak lebih besar dari Jawa Barat sampai ratusan tahun.
Saya ambil kesimpulan, kalau dibilang kita tidak kompak itu juga salah. Kita masalahnya semua kekuatan lokal, local kingdom atau local authorities itu belum punya konsep ke-Indonesia-an, itu kita tak bisa salahkan, mereka masih bersaing.
Anda tahu apa sebaba Sultan Agung menyerbu Batavia, sebabnya dia mau menyerbu Banten, Batavia tidak mau bantu. Dia kan menganggap Banten saingannya, tapi Batavia tak mau bantu akhirnya dia serang Batavia.
Sesudah dia menyerang Batavia, kalau orang menganggap Sultan Agung pahlawan ya boleh, tapi anda juga harus tahu, lihat ada cacatnya. Begitu itu, dia kan langsung masuk ke pedalaman, daerah pesisir kosong, pesisir dia taklukkan dari Bangkalong ke Bawetan sampai Surabaya si Pangeran Pekik yang saya heran dia tragis benar, dia dihancurkan sekeluarga dibunuh.
Setelah dia menghancurkan Bangkalong dan Bawetan, karena Banten enggak berhasil, Batavia dia enggak berhasil, terus mundur, ini di pesisir itu kan kosong, dan di sana kan ada penguasa-penguasa kecil lokal dan ini kosong, akhirnya VOC kan enak. Sampai ada bupati pesisir itu yang merasa lebih enak bekerja untuk VOC daripada Mataram.
Mereka bilang ke Mataram hanya bawa upeti sebulan sekali juga tak apa, itu salah satunya. Nah orang kan enggak tahu.
Nah terus anaknya Amangkurat I, kan waktu itu ada rebutan tahta. Dia minta bantuan Belanda, dia bikin perjanjian, walaupun dia diserang oposisi terus dia meninggal di Krapyak, makanya dikenal dengan ‘Panembahan Seda ing Krapyak’, tahu enggak salah satu perjanjiannya? Dia menyerahkan Priangan. Karena Priangan waktu itu salah satu adipatinya, yaitu Adipati Ukur kan disuruh menyerang ke Jakarta. Begitu diserahkan ke VOC langsung cultuurstelsel, waktu itu belum cultuur, masih priangan stelsel, kopi.
Itu model cultuurstelsel pertama, dulu Priangan itu lebih menderita.
Saya sering tanya mahasiswa, seringkali di perjanjian harus serahkan beras sekian ratus gantang. Istilahnya ada gantang ada koyang. Itu ukuran koyang, gantang, pikul. Orang bule kan enggak makan nasi. Tiap tahun dikirim ke Batavia, dijual ke Malaka. Itu kan semuanya mainannya semua dagang. Belanda kan enggak makan nasi. Makan nasi kan sekarang-sekarang ini, tapi enggak semua. Jadi kita harus ada yang disebut dengan the logic of history.
Disebutkan juga perwakilan wanita dalam parlemen lokal, DPRD. Itu pasti bukan perempuan Melayu. Pasti bule. Kan banyak komunitas Indo Belanda Eropa. Perempuan pasti bule. Suka bias. Ada data menarik. nanti dulu mas harus kritis. Kelemahan kita begitu dapat data dari arsip, senang, nanti dulu. Memangnya bisa dicaplok semuanya.
Catatan sejarah lebih banyak di pusat Jakarta?
Daerah bukannya tidak ada. Saya masih SD, Bung Karno mengganti sistem dari swatantra tingkat II, kabupaten. Sekarang kabupaten muncul lagi sesudah otonomi. Jadi dia lebih dominan. Itu harus dicari sebetulnya. Kalau orang kita, itulah kurang mau. Daerah tuh dikumpulkan sebanyak-banyaknya. Ada badan arsip dan perpustakaan daerah saya enggak tahu apa pekerjaannya. Arisp baru-baru saja. Sesudah saya meneliti sampai tahun 50-an, masih ada sisa-sisa arsip pribadi, dia serahkan. Tapi arsip di daerah kayak apa. Jaman kita perang, kita hidup kayak apa.
Pemerintahan Surabaya saat revolusi sudah ditulis sama Bill Frederick, Oke. Tapi Malang atau lainnya? Di zaman Soekarno saja, apa yang terjadi di sana. Tak usah sejarah kota Malangnya. Malang masih bau-bau Belanda. Kalau Jakarta Batavia saya kerja itu. Cuma sampai tahun 2000, bibliografinya sudah lebih 5000. Orang Belanda juga senang tulis Batavia karena dia lama di sini. Artikel-artikel sudah cukup banyak. Daerah lain, dulu di jaman Belanda malah ada tentang Makassar. Tapi sesudah kita merdeka itu saya tak mengerti.
Saya prihatin karena ketika kita otonomi, kan sering terjadi konflik. Seperti mau bikin kabupaten Aceh. Itu kan daerah Gayo saya lihat. Itu biar Gayo saja. orang Aceh lain lagi di sana. Itu karena ambisi dominasi orang partai politik. Dia mungkin dari Aceh. Tapi anda menimbulkan konflik budaya. Konflik budaya terjadi karena kita sendiri. Tak memahami kita dulunya siapa. Kita tak ada yang sadari. Orang Indonesia punya identitas berlapis.
Amerika ditanya dari mana, dari Ohio, California, bahasanya sama. Kecuali orang hitam dia punya ekspresi sendiri. Tapi kalau kita orang Indonesia, ada orang Jawa, Aceh, Tapanuli, Sunda. Jawa saja ada pesisir, Tegal, Pekalongan, bahasanya lain. Jogja, Solo lain. Berarti kita punya banyak varian. Itu harus jadi kebanggaan. Bugis Makassar, Bugis Bone, Bugis mana lagi. Banyak. Jangan dikira Dayak, itu Dayak saja, banyak itu. Itu harus jadi kebanggaan.
Kalau kebanggaan, anda pertahankan bahasa. Bahasa Indonesia jadi bahasa persatuan, bahasa politik dulu, satu nusa melawan penjajahan. Tapi sekarang merdeka kembali lagi, jangan dilupakan. Semua orang bahasanya bahasa Jakarta. Bahasa Jakarta kan bahasa nasional kedua, saya bilang sama orang Betawi, anda jangan minder, anda bahasanya bahasa nasional kedua. Sedikit ke Jakarta saja sudah pakai bahasa Jakarta.
Saya prihatin soal bahasa. Pada suatu saat kita jadi seragam. Anda pakai HP, semua makan hamburger, sepatunya Nike, mau apa lagi. Dan itu tak menarik lagi. Sekarang mereka sebut itu world culture. Anak-anak sekarang juga sebut we are people of the world. Tapi ada suatu saat anda akan tanya siapa saya. Mereka akan tetap cari ujungnya kemana. Sering orang bule sudah mulai bertanya siapa saya. Dicari asalnya.
Anda sekarang masih di ANRI walau sudah pensiun, apakah dalam rangka penelitian?
Tidak. ANRI sering didatangi tamu, suka cari. Pengunjung suka nanya. Sering kadang, apa yang saya tahu di sini, di sana tak tahu. Coba cek ada di belakang. Dulu bekerja pertama karena tak ada orang, saya langsung dicebur ke lapangan. Saya langsung ke koleksi, lihat satu-satu karena daftarnya tidak ada. Sekarang ada. Saya bilang anak baru jangan ditaruh di ruang baca. Dia baru lulus sejarah. Tahunya paling skripsinya doing, yang datang ke sini bukan cuma ahli, tapi kadang orang biasa juga. Anda harus bisa jelaskan dimana. Saya beri informasi tidak selalu yang ada di sini. Saya bilang daripada anda baca arsip ribet-ribet di perpustakaan nasional, ada buku-buku ini.