Indonesia Harus Menguasai Pasar ASEAN
VIVA.co.id – Anggota Komisi VII DPR RI Satya Widya Yudha mengatakan jika Indonesia harus menguasai pasar ASEAN, dan bukannya dikuasai oleh pasar ASEAN, dan asing di era pasar bebas ASEAN (MEA) sekarang ini. Langkah itu penting, karena dunia dan ASEAN sedang mengincar Indonesia sebagai tujuan pasar internasional.
“Indonesia ini berpenduduk besar, dan sudah menjadi target pasar internasional. Karena itu, kita harus berbuat melalui kebangkitan industri. Kalau tidak, maka Indonesia akan dibanjiri oleh produk-produk asing,” kata Ketua Dewan Pakar Pimpinan Pusat Ikatan Alumni (PP-IKA) Institut Teknologi Sepuluh November Surabaya (ITS) itu dalam diskusi soal industry di Gedung DPR RI bersama Anas (Sekjen PP IKA ITS), anggota IKA-ITS Bambang Haryo, Lukman Mahfoedz, dan Achmad Sigit di Gedung DPR RI, Jumat 16 September 2016.
Beberapa waktu lalu Presiden RI Jokowi ada yang minta masuk TPP (Trans Pasifik Patnership) di Amerika Serikat, tapi kata Satya, pihaknya melarang karena Indonesia belum siap. Mengapa? “Kalau belum siap, maka Indonesia akan menjadi korban dari TPP itu sendiri. Untuk itu, Indonesia harus bangkit melalui industry yang kreatif dan inovatif,” ujar politisi Golkar itu.
Menurut Satya, Philipina, Vietnam, dan Thailand kini sudah belajar berbahasa Indonesia, mengingat Indonesia sebagai tempat strategis untuk pasar industry mereka, juga dunia. Makanya dia meminta kita tidak alergi dengan PMN (Pernyertaan Modal Nasional) untuk BUMN industry, karena industry memberikan konstribusi besar terhadap negara.
Termasuk dalam pengelolaan migas, dengan industri dan infrastruktur migas yang terbatas, maka pemerintah harus konsisten dengan pembangunan industri ini.
“DPR hanya minta pemerintah konsisten,” ujarnya.
Menurut M. Taufik, negara maju itu didukung oleh industri, pertanian, perdagangan, dan lain-lain. Tapi, pasca tahun 2001 industri kita menurun sampai 21 persen. Itu artinya tiap tahun mengalami penurunan 0,5 persen dari sebelumnya 30 persen. Dengan demikian daya saing Indonesia juga menurun.
Karena itu kata Taufik, kita harus terus mendorong pertumbuhan industri khususnya pangan, farmasi dan alat-alat kesehatan, tekstil, dan transportasi.
“Kalau ini jalan, maka Nawacita Jokowi dan tujuan industri itu sendiri akan berhasil,” katanya.
Lukman Mahfoedz menegaskan optimismenya jika pada 2020 Indonesia akan mencapai 30 persen industri nasional dan itu akan memberikan konstribusi besar pada perekonomian negara. Tapi, faktanya mengkhawatirkan, meski perdagangan Indonesia-China mencapai USD45 miliar, tapi deficit USD14 miliar.
Oleh sebab itu kata Mahfoedz, harus ada perubahan yang terstruktur, terarah, dan terukur, dengan modal dasar sumber daya manusia (SDM), teknologi, inovasi, pembinaan pemeirntah untuk memasarkan produknya. Sehingga, mahalnya harga gas tidak dijadikan kambing hitam dalam persaiangan internasional.
“Menurunnya industri kita ini karena tidak ada keperpihakan kepada rakyat Indonesia. Apalagi dengan program listrik 35 GW yang sampai tahun 2025 Indonesia akan menjadi tujuan pasar dunia, karena memang tak ada pasar yang sebesar Indonesia. Maka aturan-aturan harus diimbangi dengan sistem pemasaran (market) yang handal. Kalau tidak, maka nasibnya akan seperti 200-an industri di Surabaya, yang kini tutup semua,” katanya. (webtorial)