Cara Pemerintah Jaga Harga Bawah Merah Tak Berfluktuasi
- ANTARA/Syaiful Arif
VIVA.co.id – Pemerintah melalui Kementerian Pertanian mendorong petani bawang merah untuk menanam dari biji, atau benih. Hal tersebut, untuk mengendalikan harga bawang, agar tidak berfluktuasi.
“Berfluktuasinya harga bawang merah disebabkan terbatasnya umbi bibit berkualitas. Karena itu, pada tahun ini pemerintah melalui Bulog mengimpor benih bawang merah sebanyak 1.500 ton," kata Direktur Perbenihan Hortikultura, Direktorat Jenderal Hortikultura Kementerian Pertanian Sri Wijayanti Yusuf, seperti dikutip dari keterangannya, Kamis 8 September 2016.
Sri, dalam menghadiri Festival Bawang Merah di Lombok, Nusa Tenggara Barat, menyatakan apresiasinya kepada perusahaan benih PT East West Seed Indonesia (Ewindo) yang telah memelopori budidaya bawang merah melalui benih, atau biji.
Kelangkaan umbi bibit bawang merah juga disampaikan Candra, petani bawang asal Bima, NTB. Menurutnya, berapa pun umbi bibit yang dihasilkan oleh petani penangkar pasti akan diserap oleh petani. Apalagi, jika umbi bibit yang dihasilkan memiliki kualitas tinggi seperti varietas Tuk Tuk dan Sanren.
Candra mengaku telah memesan 20 ton umbi bibit yang diproduksi oleh petani penangkar dari Lombok, NTB. "Umbi bibit yang saya pesan ini masih jauh dari mencukupi, dibanding dengan jumlah petani bawang di Bima," ujar dia.
Menurut Mahli, petani penangkar bawang merah asal Lombok, budidaya bawang dengan menanam dari biji, atau benih memang membutuhkan ketekunan dan ketelitian di awal masa tanam.
Mahli yang baru pertama kali menanam bawang merah dari biji mengaku sangat puas dengan hasil tanaman bawang merahnya. "Hasilnya hampir empat kali, dibanding jika saya menanam tembakau," jelasnya.
Sementara itu, Direktur Utama Ewindo, Glenn Pardede mengatakan, Festival Bawang Merah yang digelar oleh perusahaan bertujuan untuk mendorong produktivitas dan menciptakan pertanian efektif bagi petani dengan memproduksi umbi bibit bawang merah melalui biji.
"Kami berharap, dengan dikenalnya cara baru ini akan membuat kesejahteraan petani lebih meningkat," ujar Glenn.
Ewindo sejatinya telah mengenalkan teknologi menanam bawang merah melalui biji sejak hampir 10 tahun silam. Jerih payah yang panjang tersebut, kini baru menunjukkan hasil dengan semakin banyak petani yang sukses menanam bawang merah dari biji, atau benih.
Lebih lanjut, Glenn menerangkan, dengan menggunakan benih/biji bawang merah varietas "Tuk-Tuk", petani akan mendapatkan tiga keuntungan. Pertama, biaya transportasi lebih murah karena berbentuk biji. Kedua, benih bisa lebih lama disimpan dalam storage (maksimal dua tahun) selama tidak terkena sinar matahari. Padahal, dengan sistem konvensional, umbi hanya bisa disimpan antara 2-4 bulan.
Ketiga, biaya produksi jika bawang merah dipanen dalam bentuk bawang siap konsumsi menjadi lebih rendah. Jika menggunakan sistem konvensional, setiap hektare lahan memerlukan sekitar 1,5 ton umbi dengan biaya di kisaran Rp45 juta. Sedangkan jika menggunakan metode pindah tanam, hanya memerlukan lima kilogram benih dengan biaya sekitar Rp10 juta.
Selain itu, cara baru budidaya bawang merah dengan menggunakan biji memiliki keunggulan, yakni lebih sedikit terserang penyakit, karena benih tidak membawa "bulb borne disease" seperti virus dan jamur.
Pemakaian pupuk juga lebih efisien. Hanya dengan menggunakan dosis pupuk setengah dari kebutuhan pupuk dengan metode penanaman konvensional, produksi bawang merah tetap tinggi. Bahkan, hasil panen Tuk-Tuk bisa mencapai 20-25 ton/ha, lebih tinggi dibanding teknik budidaya konvensional yang hanya bisa menghasilkan 12-15 ton/ha.
Selain varietas Tuk-Tuk, Ewindo juga berhasil meneliti dan menemukan sejumlah varietas baru bawang merah, salah satunya Sanren F1. Bawang merah varietas baru ini, diyakini sebagai bawang merah pertama di dunia yang ditemukan oleh peneliti Indonesia dengan sifat unggulnya, antara lain mampu berproduksi maksimal di musim kering dan penghujan. Seperti diketahui, bawang merah umumnya hanya dapat berproduksi maksimal pada musim kering.
Varietas Sanren F1 juga memiliki bentuk, warna dan aroma yang sesuai dengan selera pasar dan konsumen. Selain itu, untuk area tanam seluas satu hektar, benih (biji) yang dibutuhkan hanya sekitar tiga kg. Sementara itu, hasil produksinya sangat tinggi, yakni bisa mencapai 28 ton per hektare. SANREN F1 juga dapat beradaptasi dengan baik ketika ditanam di dataran rendah dengan ketinggian 50 - 100 mdpl.
"Pengenalan cara baru budidaya bawang merah dan penemuan varietas-varietas baru ini, merupakan sumbangsih kami dalam memacu pertumbuhan dan kemajuan bidang agro industri, khususnya budidaya hortikultura di Indonesia. Kami berharap, dengan pengenalan cara budidaya ini mampu mendorong peningkatan kesejahteraan petani bawang merah," kata Glenn.