Heboh Biaya Interkoneksi, Lanjut Network Sharing
- XL
VIVA.co.id – Biaya interkoneksi membuat pro dan kontra di industri telekomunikasi. Setelah ini, kehebohan kemungkinan akan berlanjut ke wacana berbagi jaringan (network sharing), seiring dengan rencana pemerintah merevisi Peraturan Pemerintah (PP) no.52 tahun 2000 tentang Penyelenggaraan Telekomunikasi.
Pemerintah melalui Kementerian Komunikasi dan Informatika mengungkapkan wacana revisi tersebut, karena PP no.52 tidak lagi sesuai dengan kebutuhan zaman, seiring dengan teknologi yang semakin berkembang.
Dalam PP ini, salah satunya menambahkan wacana network sharing. Jika dijalankan, hal ini dipercaya berpotensi membawa kerugian yang besar, sama halnya dengan interkoneksi, yang hanya akan menguntungkan pihak asing.
"Negara bisa mengalami kerugian yang besar, karena para operator yang selama ini malas membangun jaringan akan mendompleng jaringan milik operator yang sudah susah payah membangun, seperti jaringan luas milik Telkom dan Telkomsel. Dikhawatirkan ini akan membuat penetrasi ketersediaan jaringan di wilayah Indonesia tidak akan bertambah," ujar Yaqut Cholil Qoumas, anggota Komisi VI FPKB DPR RI, dalam keterangannya, Senin, 5 September 2016.
Selain network sharing, pria yang juga menjabat sebagai Ketua Umum GP Ansor ini menanggapi isu biaya interkoneksi yang disebutnya sebagai aksi korporasi yang ingin mendobrak dominasi Telkom dan Telkomsel dalam industri telekomunikasi.
Operator asing itu, disebutnya, hanya ingin memperbesar setoran ke pemilik saham, atau investor utama, yang berada di luar negeri, seperti Malaysia (XL Axiata) dan Qatar (Indosat Ooredoo).
"Penurunan biaya interkoneksi sebesar Rp46 per menit, sesungguhnya tidak terlalu berdampak signifikan bagi konsumen. Komponen biaya interkoneksi setidaknya hanya berkontribusi rata-rata sebesar 15 persen dari total biaya tarif ritel yang berada di kisaran Rp1.500 sampai Rp2.000 per menit. Di sini, pemerintah seharusnya menyampaikan hasil perhitungan tarif interkoneksi yang transparan dari seluruh operator kepada publik," ujarnya.
Karena itu, untuk melakukan efisiensi, Yaqut menyarankan, agar operator mengelola biaya promosi secara efektif dan menetapkan margin yang wajar, sehingga biaya ritel yang dibebankan ke konsumen dapat lebih terjangkau.
Selain itu, dengan menetapkan tarif interkoneksi berbasis biaya masing-masing operator (asimetris), secara tidak langsung pemerintah mendorong para operator untuk terus membangun jaringan secara merata ke seluruh wilayah Indonesia.
"Kebijakan penurunan biaya interkoneksi, jangan sampai hanya menguntungkan operator swasta saja. Selama ini, banyak operator swasta yang tidak serius membangun infrastruktur jaringan, atau hanya terbatas di kota saja. Kebijakan biaya interkoneksi ini juga jangan sampai merugikan Telkom dan Telkomsel, yang selama ini giat membangun infrastruktur jaringan hingga ke daerah pedalaman atau pelosok. Apalagi, operator pelat merah tersebut telah mengeluarkan investasi yang tidak sedikit," papar Yaqut. (asp)