Komisi XI: Postur APBN Rusak Karena Hutang Semakin Banyak
VIVA.co.id – Hutang menjadi sebab rusaknya postur APBN Indonesia. Hingga saat ini, hutang tercatat lebih dari Rp4.000 triliun. Sekitar Rp3.300 tiriliun di antaranya adalah utang pemerintah pusat.
Menanggapi hal tersebut, Anggota Komisi XI DPR RI Heri Gunawan mengatakan, semua tahu bahwa hutang yang makin besar menjadi sebab rusaknya APBN yang disusun pemerintah.
"Lihat saja, defisit makin lebar hampir 3 persen. Lalu, utang tersebut raib entah kemana. Tidak produktif. Infastruktur tetap saja tidak banyak berubah. Terus kemudian, keadaan sosial-ekonomi rakyat malah makin nyungsep, gini ratio bertambah, kemiskinan mencapai 28 juta orang. Bahkan, data terakhir, terjadi pengurangan 200 ribu orang yang bekerja di sektor pertanian. Sektor yang seharusnya produktif," ujarnya di Kompleks DPR, Jumat 26 Agustus 2016.
Ia menuturkan, jelas sekali bahwa hutang itu ditarik hanya untuk membayar bunga hutang. Istilahnya gali lobang, tutup lobang. Lihat saja, pada RAPBN 2017, posisi keseimbangan primer sudah mencapai defisit Rp111,4 triliun. Ini menjadi tanda, bahwa utang yang ditumpuk itu tidak produktif. Hanya untuk membayar bunga hutang saja.
"Jadi, menurut saya, dengan pola semacam itu, tidak ada penjelasan lain bahwa hutang yang ditarik punya dampak yang berbahaya. Hasilnya satu, kita dicekik. Dibikin tidak mandiri. Kalau Rp4000 triliun dibagi 250 juta penduduk Indonesia, maka masing-masing bayi baru lahir menanggung hutang sekitar Rp16 juta. Tragis dan kasian, baru lahir sudah tidak mandiri," ujar Politisi Gerindra ini.
Ia mengaku, sudah berkali-kali disarankan fraksi Gerindra. Fraksinya selangkah di depan, mengungarkan pemerintah untuk memperhatikan sektor yang hari ini masih jadi ‘anak tiri’ adalah sektor pertanian-peternakan-kehutanan-perikanan sebagai sektor strategis yang hingga detik ini hanya menyumbang 15,4 persen atas PDB. Padahal, Indonesia sudah banyak berutang, tapi dampaknya nihil. Sektor-sektor strategis tetap saja salah urus (lemahnya SDM, investasi, teknologi) sehingga produktifitasnya menurun. Padahal, tenaga kerja di sektor ini sangat dominan (di atas 50 persen).
"Sebab itu, untuk mencegah meluasnya kerusakan APBN akibat, salah satunya, utang, maka kita perlu mengingatkan pemerintah untuk berhati-hati soal utang. Mereka seharusnya sudah sadar bahwa APBN nasional sedang dibajak. Disusun secara serampangan dan tidak kredibel serta sarat kepentingan. Dan karena itu, seluruh kepentingan nasional terancam," ujarnya.
Heri juga menjelaskan, selain menjadi sebab rusaknya postur APBN, utang menjadi ‘momok’ bagi ancaman gagalnya negara. Hal tersebut dinilai menjadi semacam ‘bom waktu’ yang setiap saat bisa meletus.
"Kita tidak ingin utang yang mencapai lebih dari Rp4.000 triliun (sekitar Rp3.300 di antaranya adalah utang pemerintah pusat) menjadi sebab rusaknya postur APBN yang harusnya sebesar-besarnya pembangunan kesejahteraan dan kemakmuran rakyat secara adil dan merata," kata pria asal Sukabumi ini.
Eks Wakil Ketua Komisi VI ini menuturkan, fakta berkata lain, pemerintah pusat berutang bukan untuk tujuan pembangunan kesejahteraan dan hal-hal produktif lainnya, melainkan untuk membayar bunga utang yang sudah jatuh tempo. Untuk diketahui, bunga hutang terus melonjak. Tahun depan, kurang lebih sekitar Rp210 triliun. Inilah yang jadi sebab keseimbangan primer terus tertekan pada RAPBN 2017 sudah mencapai negatif Rp111,4 triliun. Hasilnya, kita defisit terus-menerus.
"Apakah ini pertanda bahwa negara ini sedang di ujung tanduk, sewaktu-waktu bangkrut dan gagal? Saya, dan kita semua, tidak ingin hal itu terjadi. Kita tidak ingin negara kaya raya ini bernasib serupa dengan Yunani yang bangkrut gara-gara kesulitan liquiditas untuk membayar Hutangnya," ujar Heri.
Lebih lanjut dijelaskan, seluruh elemen nasional tidak rela jika negara ini gagal. Generasi masa depan akan mengutuknya habis-habisan. Negara kaya raya ini, tidak sepantasnya gali lobang, tutup lobang. Pasti ada yang salah, pasti ada yang keliru. Ini soal manajemen kenegaraan yang amburadul. Yang tidak kredibel, asal-asalan, dan tidak jujur.
"Relakah kita meninggalkan kesedihan kepada generasi mendatang yang harus menanggung utang Rp16 miliar setiap orangnya, bahkan termasuk bayi yang baru lahir? Tentu tidak. Kita semua tidak rela itu terjadi. Sebab itu, sudahilah cara-cara yang tidak jujur dan kredibel. Sudahilah menerbitkan SUN yang sudah mencapai 77 persen dari total utang. Sudahilah penerbitan obligasi BUMN yang hanya untuk bayar utang. Sudahilah semuanya. Dan mari memulai cara-cara yang lebih beradab, yang lebih kredibel, yang lebih jujur, yang tidak serampangan. Semuanya untuk membangkitkan Indonesia raya yang lebih kuat, dan bukan negara yang terancam bangkrut," katanya.
Selain itu, jelasnya pemerintah kembali merilis paket kebijakan ekonomi yang ke-13. Pemerintah berharap, paket itu bisa merangsang pembangunan perumahan bagi rakyat.
"Punya rumah itu penting, tapi ada yang lebih penting lagi, yaitu membaiknya daya beli dan penciptaan kesempatan kerja yang lebih baik. Jadi, seharusnya pemerintah mengevaluasi 12 paket kebijakan sebelumnya yang sudah tak begitu jelas nasibnya ketimbang bikin paket baru yang belum tentu juga bisa dicapai," ujarnya.
Ia menjelaskan, ke-12 paket kebijakan, terutama yang terkait dengan investasi, peningkatan kemudahan berusaha terutama UMKM, serta penciptaan kesempatan kerja yang lebih baik, harusnya sudah bisa dinikmati. saat ini. Nyatanya kan tidak. Malahan, kita semua kaget, laporan BPS terbaru menyebutkan bahwa telah terjadi penurunan 200 ribu orang yang bekerja di sektor pertanian, kemiskinan masih 28 juta orang, ketimpangan juga makin lebar. Ini kan masalah sesungguhnya. Lalu, paket-paket yang sudah dirilis sebelumnya, kemana saja?
"Kita khawatir, paket ke-13 ini akan bernasib serupa. Hanya jadi ‘angin segar’ di telinga, tapi tak pernah ada realisasinya seperti halnya ‘kembang-kembang api’ yang menyala indah di awal, tapi mati dalam sekejap.
Sementara itu, tambahnya pemerintah juga perlu melakukan evaluasi program-program rumah untuk keluarga miskin yang pelaksanaannya masih minimal. Bahkan, dalam beberapa kasus, menjadi ajang ‘transaksional’. Rakyat yang sudah miskin, dibebani lagi dengan pungutan yang tidak jelas.
"Sebab itu, saya mendorong pemerintah untuk merealisasikan paket-paket kebijakan ekonomi yang sebelumnya sudah dirilis, namun evaluasi dan monitoringnya masih absurd. Termasuk juga evaluasi atas skema penganggarannya. ini penting mengingat APBN kita masih kurang sanggup, masih defisit," ujarnya. (webtorial)