Pemicu Taksi Online Ditolak Beroperasi di Daerah
- Reuters/Garry Lotulung
VIVA.co.id – Taksi berbasis aplikasi, atau taksi online diminta untuk memenuhi uji kir, atau kelayakan yang diwajibkan pemerintah sebagai syarat untuk mendapatkan izin usaha. Namun, sepertinya hal itu belum berjalan dengan baik.
Pengamat transportasi Djoko Setijowarno mengingatkan, penolakan terhadap taksi online yang kerap terjadi di sejumlah daerah, disebabkan perusahan itu belum memenuhi aturan yang berlaku, baik di tingkat pusat maupun daerah.
"Kalau di tingkat pusat, berpegang kepada Peraturan Menteri Perhubungan No. 32 tahun 2016 tentang Pengadaan Angkutan Umum, atau kalau di daerah dapat mengacu kepada Pergub (peraturan gubernur) yang mengatur angkutan umum," kata Djoko, dalam keterangannya, Minggu 21 Agustus 2016.
Djoko mengatakan, pengusaha taksi online, atau berbasis aplikasi, sejatinya juga bergerak dalam bisnis penyediaan angkutan umum, maka diwajibkan mengikuti seluruh peraturan yang berlaku yang selama ini juga dikenakan kepada pengusaha taksi konvensional.
Dia mengingatkan, aplikasi itu hanya alat untuk memudahkan konsumen mendapatkan taksi, namun keberadaan angkutan umum, termasuk transportasi berbasis aplikasi (atau perusahaan aplikasi yg menyediakan jasa transportasi) harus memenuhi aturan yang berlaku. Hal ini, untuk menjaga keselamatan masyarakat itu sendiri dan persaingan yang sehat.
Sebelumnya, Menteri Perhubungan Budi Karya minta, agar taksi berbasis aplikasi untuk memenuhi aturan. Banyak armada taksi aplikasi tersebut belum memenuhi uji kir, atau kelayakan yang diwajibkan pemerintah sebagai syarat untuk mendapatkan izin usaha.
Selain itu, penyedia jasa transportasi online tersebut juga belum membayar tagihan pajak yang ditetapkan pemerintah.
Sementara itu, Kasie SIM Subdit Regident Ditlantas Polda Metro Jaya, Kompol Donny Hermawan menyatakan, pengemudi taksi online wajib mengantongi SIM A umum.
Pihaknya telah memfasilitasi uji SIM bagi pengemudi taksi online, dan mereka harus lulus uji teori dan simulator.
"KIR dan SIM sangat penting, karena terkait langsung dengan keamanan penumpang," kata Dirjen Perhubungan Darat, Puji Hartanto Iskandar menambahkan.
Salah satu daerah yang melarang beroperasinya taksi berbasis aplikasi adalah Bali yang sampai saat ini masih melakukan razia terhadap angkutan taksi berbasis aplikasi baik melalui pihak Kepolisian maupun Dinas Perhubungan, atau melalui operasi gabungan.
Sebelumnya, Pemprov Bali melakukan razia terhadap taksi berbasis aplikasi, karena taksi-taksi tersebut tidak mengantongi izin angkutan.
Pemprov Bali tetap menerapkan dan menindaklanjuti Surat Keputusan (SK) Gubernur Bali No.551/2783/ DPIK tanggal 26 Februari 2016 yang melarang operasional angkutan aplikasi online Taksi Uber, GrabCar dan GoCar di Bali.
"Kami tetap akan memberlakukan SK Gubernur Bali tentang Pelarangan Operasional Angkutan Aplikasi Online Taksi Uber, GrabCar dan GoCar di Bali," kata Kepala Dinas Perhubungan Ketut Artika.
Tidak hanya di Bali, penolakan terhadap beroperasinya taksi berbasis aplikasi dilaporkan juga terjadi di Surabaya, Yogyakarta, Makassar, dan kota-kota lainnya. Hal ini dapat berdampak luas, sehingga pemerintah, terutama pemerintah pusat harus tegas dalam menerapkan peraturan yang berlaku.
Penolakan terhadap taksi berbasis aplikasi juga terjadi di banyak Negara. Seperti Amerika Serikat, Perancis, Inggris, Jerman, Korea Selatan, Australia, Beligia, Kanada, Belanda, India, dan Jepang. Salah satunya yang terbaru adalah Taiwan, yang pada awal Agustus lalu, komisi investasi negara tersebut menyatakan bakal mengusir Uber dari negaranya ,lantaran dianggap salah mendefinisikan layanannya.
Menurut komisi tersebut, Uber telah memberikan informasi yang keliru dengan menyampaikan layanannya berbasis teknologi informasi, namun kenyataannya perusahaan ini menyediakan layanan transportasi.
Komisi tersebut menyatakan, keputusan final terkait larangan itu akan dikeluarkan pada Agustus ini. Komisi Investasi Taiwan, merupakan komisi yang mengawasi setiap investasi asing yang masuk ke Taiwan.