Demokrasi Kita ini Kebablasan, Rakyat Belum Siap
- VIVA.co.id/M Ali Wafa
VIVA.co.id - Ade Komarudin bukanlah politisi “kemarin sore.” Dia sudah berkecimpung sebagai anggota Dewan Perwakilan Rakyat sejak 1997, sudah malang melintang di kancah perpolitikan nasional.
Tidak heran bila kader Partai Golkar yang akrab disapa Akom itu bisa dipercaya menjadi Ketua DPR. Ia dilantik pada 11 Januari 2016 – menggantikan Setya Novanto – setelah sebelumnya memimpin fraksi Golkar di Senayan.
Belum lama ini Akom meluangkan waktu untuk wawancara dengan VIVA.co.id. Ketua Soksi periode 2010-2015 dan 2015-2020, itu pun membicarakan berbagai persoalan.
Akom dengan menceritakan masa kecilnya. Bagaimana ia memilih suatu cita-cita, dan akhirnya meraihnya pada saat ini. Meskipun ada saja kisah-kisah tak terduga di dalamnya misalnya saat memilih perguruan tinggi untuk melanjutkan pendidikannya.
Akom lalu menyinggung soal realitas politik di Indonesia saat ini. Masyarakat menikmati demokrasi, pemilihan langsung, tapi belum juga mencapai kesejahteraan.
Suami dari Netty Marliza itu juga membicarakan soal apa UU prioritas setelah DPR dan pemerintah berhasil mengesahkan sejumlah UU seperti Tax Amnesty. Lebih jauh, ia menyinggung mengenai kemungkinan maju sebagai RI 1.
Bagaimana lengkapnya, berikut wawancara kami dengan Ade Komarudin:
Sekarang Anda menjadi seorang Ketua DPR. Apakah pernah terbayang sebelumnya?
Cita-cita saya dulu itu jadi politisi. Ya terus terang saja saya mempersiapkan diri untuk menjadi politisi bukan karena kebetulan. Saya semuanya diarahkan ke situ. Nggak ada yang mengarahkan, saya sendiri. saya tidak diberi harapan orang tua, sama siapapun, nggak ada. Ya memang saya dari kecil.
Waktu SD saya aktif di Pramuka, selalu jadi ketua kelas. SMP sama, saya menjadi pratama, komandan pramuka di SMP, Ketua OSIS. Dua-duanya aktif saya. Kemudian SMA juga sama. Dan saya tidak pernah meninggalkan sekolah saya. Maksudnya, saya SMP juga pelajar teladan, SMA juga jadi pelajar teladan. Kalau Pramuka di SMA, komandan pradana, pelatihan penyerbuan, calling-callingan dengan sekolah lain.
Saya belajar juga. Saya kan jurusan IPA, waktu itu jurusan di SMA saya cuma dua. Satu IPA, satu IPS. Jadi yang nilainya bagus masuk IPA, yang tidak bagus masuk IPS. Itu sistem pendidikan kita yang keliru, harusnya kan gak begitu. Harusnya sesuai minat dan bakat.
Saya masuk Jakarta tahun 1984, sebelumnya paling pergi hanya untuk wisata. Orang Purwakarta kalau pariwisata lihat kapal, Monas.
Saya kan di pesantren juga, SMP di pesantren, waktu kelas 3. SMA juga waktu kelas 1 sampai kelas 2. SMP saya di Al Ikhlas, Purwakarta, Pasar Jumat. Kalau SMA di Al Imam Syafiah, di Pasar Rebo, Kompleks Arab.
Saya masuk Universtas Islam Negeri Jakarta itu awal mula sebenarnya karena mengantar kakak saya. Kakak saya itu satu leting dengan saya. Karena sekolah jauh, jalan sawah, pematang jauh, rombongan 12 orang. Waktu itu masih kampung belum jadi desa.
Itu saya jalan kaki, sama teman-teman. Kakak saya kelahiran 63 atau 64, beda setahun atau dua tahun. Bareng sama temen-temen yang lain. Saya masuk SMP dia masuk pesantren di purwakarta, namanya MAI. Sekolahnya itu dia di Madrasah Arabiah Al Islamiyah. Sekolahan milik orang Arab.
Pada saat (selesai) SMA, saya nganter kakak saya ke sini. Sebenarnya saya tahu orang tua saya tidak mau saya masuk universitas umum, kalau bisa ke Al Azhar Kairo. Saya bilang, saya gak bisa bahasa Arab, repot saya nanti.
Semua keluarga saya memang harus masuk sekolah agama. Ayah saya bekerja di Departemen Agama. Sekolah umum dianggap bukan sekolah. Dia ingin anaknya ya urusan agama ajalah, kira-kira begitu.
Nganter. Saya sendiri kapasitasnya nganter. Tapi sebenarnya kakak saya punya game biar saya mau. Dia pengen saya pergi ke luar, Al Azhar Kairo, tapa saya menolak. Nah, nganterlah kakak saya itu. Saya pikir daripada cuma ikut nganter, ambillah formulir.
Saya baca, padahal lulusannya top-toplah. Ada Cak Nur, termasuk yang saya kagumi waktu itu. Saat SMA saya baca, artikel-artikelnya hebat-hebat, karena saya memang suka baca.
Pada saat tes itu, saya lulus, kakak saya nggak. Sayang sekali. Yang ngantar lulus, yang diantar nggak lulus. Karena nggak lulus, kakak saya ngambil sekolah di Cipasung, pesantren, kan ada Sekolah Tinggi Agama Islam, STAI, Cipasung.
Di SMA saya waktu itu ada proyek perintis 2 terakhir PMDK pertama, yang rangking-rangking gitulah. Itu ada 6 orang kalau gak salah. Ada dua orang yang masuk ITB, 4 orang ke ITB. Tapi sama sekali saya nggak ngurus waktu itu karena saya sudah dapat tiket ini, buat apa juga. Saya sudah mulai tertarik, bapak saya maunya juga begitu.
Aktif lagi di organisasi karena waktu itu ingin menjadi politisi. Tanpa tes di ITB itu ancamannya DO. Waktu itu rektor ITB Andi Hakim Nasution, ahli matematika.
Saya beralih dari eksak (ke non eksak). Saya ngambil perbandingan agama di UIN. Itu saya aktif di HMI, saya bikin kelompok studi, tahun 80-an, ada Said Hasan Putra, Rizal Mallarangeng, ada Taufik Rahzen yang sekarang budayawan. Saya junior mereka satu, dua tahunlah. Saya dengan Saiful Mujani membuat kelompok studi.
Aktif di situ dan HMI, pro aktif, sampai PB HMI, kemudian masuk AMPI, KNPI, akhirnya ya anggota DPR 1997. Jadi politisi kan, ya anggota DPR. Itulah politisi. Parlemen adalah media para politisi. Institusi para politisi.
Kenapa ingin menjadi politisi?
Ya mau aja. Saya bilang dari awal.
Pengaruh dari siapa?
Tidak ada. Saya itu sering baca buku. Saya sering melihat para politisi dunia, pemimpin negara ini, sering baca. Saya suka biografi, riwayat seseorang. Banyak semua, saya baca semua. Setiap pemimpin ada kelemahan, ada kelebihan.
Bagaimana melihat kualitas anggota DPR sekarang?
Yang pasti kalau kualitas SDM-nya jauh lebih baik pada saat Orde Baru. Karena sekarang ini, terutama di awal-awal reformasi dengan pemilihan langsung, orang melihat tingkat popularitas orang, bukan kualitasnya. Dan popularitas itu penuh penipuan kan? Prosesnya aja penuh penipuan.
Coba kalau kita wawancara talk show di tv, tempatnya kan biasa-biasa saja. Tapi kalau lihat di layar kan bagus banget. Artinya, dunia publikasi itu dunia, dalam tanda petik, penipuan. Semuanya baik. Orang yang mewawancara kelihatan pinter padahal yang pinter kan bukan pewawancaranya. Ya kan, betul? Yang bikin, yang input, itukan yang pinter? Sutradaranya yang pinter, aktornya kan hanya menjalankan tugas.
Akhirnya kualitas anggota DPR-nya zaman reformasi jauh lebih rendah dibanding masa Orde Baru. Cuman bedanya, dulu kan DPR posisinya tidak seperti zaman reformasi setelah amandemen. Dulu kreatifitas agak susah orang berkembang.
Saya kan mengalami tahun 1997, 1999. Anggota DPR waktu itu masih hebat. Sumbernya dari mana? Pegawai Negeri, tentara, anggota MPR-nya pasti dari golongan profesi. Orang-orang yang memang terpilih dari sumber-sumber yang mempersiapkan diri menjadi pemimpin. Capable, kualitasnya oke lah.
Pada saat reformasi, harusnya kan rakyat, pemilihan langsung. Rakyat itu kan memilih yang gue kenal saja. Mau bodoh, mau apa, entah apa latar belakangnya. Yang penting dia kenal, dan dia coblos itu. Bahkan kemudian merebak politik uang. Orang tidak lihat lagi kualitasnya. Siapa yang kasih uang itu yang dia coblos.
Dulu, kreativitas anggota DPR kurang berkembang. Tapi 97-99 orang sudah mulai berani untuk mengemukakan pendapat. Itu kan pra era reformasi. Orang kelihatan toh, dan sangat produktif membuat UU. Pada zaman Pak BJ Habibie menjadi Presiden itu sangat produktif.
Ini tantangan buat partai politik yang posisinya cukup strategis dalam konstitusi kita. Sumber rekrutmen itu penting, bukan hanya soal keterpilihan. Sekarang orang misalnya, dari berbagai sumber, siapa yang punya uang itulah yang akan memenangkan pertarungan. Dan jangan lupa, popularitas bisa dibeli dengan uang.
Kalau Presiden Amerika Serikat itu rata-rata yang terpilih itu orang yang dana kampanyenya jauh lebih besar, bukan orang yang lebih kaya. Bukan. Dana kampanyenya lebih besar. Contoh, Barack Obama. Dulu lawan Hillary Clinton.
Hillary itu istri Presiden Amerika dua periode. Gubernur Bill Clinton di Arkansas selama dua periode. Pengacara terkenal karena dia orang pintar. Itu berbahagia rakyat Amerika pada saat itu. Dua-duanya kandidat yang berkualitas. Dua intelektual. Yang satu, Obama cuma lebih pandai berpidato. Dia pintar, sama kaya Hillary, sama-sama pintar. Sama-sama orang hebat di kampusnya. Sekolahnya benar.
Cuma keunggulan Obama itu, Obama dengan suara yang bagus dan dia bukan dari kalangan mapan pada saat itu. Rakyat Amerika pilih dia. Pilih dia itu di sana tandanya apa? Orang bantu. Rakyat itu iuran. Ada yang 5 dolar, 10 dolar, 20 dolar, kepada tim kampanye Obama. Dan duit di sana itu yang diterima oleh tim kampanye itu diaudit, dilaporkan pada publik pada akhirnya.
Jadi di Amerika itu, orang yang banyak dibantu sama rakyat bukan sama konglomerat, sama rakyat, ya tentu termasuk konglomerat, di sana itu pasti itu tanda orang itu yang terpilih. Kenapa? karena uangnya pasti paling banyak.
Hillary yang kaya itu dibanding Obama (tak banyak mendapat bantuan warga)karena mungkin sudah mapan, bini presiden, bini gubernur. Obama cuma pemimpin redaksi majalah jurnal hukum.
Jadi akhirnya orang Amerika memilih Obama dan sumbangan paling banyak dan dia yg memenangkan pertarungan. Uang itu dipakai untuk apa? Untuk membeli popularitas melalui media. Tv, medsos, radio, iklan, dan itu ongkos paling besar. Amerika yang besar kan gak mungkin didatangin satu per satu.
Di Indonesia, rakyatnya boro-boro bisa kasih sumbangan kepada politisi. Begini semua (menadahkan tangan). Kenapa? Karena rakyatnya memang susah, masih susah. Jadi kita ini demokrasi kecepetanlah, bahkan kebablasan. Rakyat belum siap. Harusnya bertahap waktu itu. Jangan langsung demokrasi liberal. Tapi kita tidak bisa balik lagi, sudah tanggung.
Nah, sekarang akhirnya, orang yang punya popularitas, orang yang punya uang pribadi-pribadi. Karena rakyat gak mungkin kasih sumbangan bahkan rakyat harus dikasih, kalau dia mau terpilih di sini popularitas perlu dibeli, ya rakyat juga perlu dibeli kalau dia mau terpilih. Begitulah kenyataannya negeri ini sekarang terutama di daerah-daerah.
Jakarta mungkin ongkos lebih banyak untuk opini. Masyarakatnya cair. Siapa yang pandai meng-create opini, baik, bagus banget, dia yang akan menang. Pilgub DKI kan juga. Dan di sini cair, bisa berbalik dalam waktu sekejap, rakyat DKI. Main di udara itu kalau di DKI lebih penting, tapi kalau Jawa Barat, Jawa Tengah, Banten, kemudian Jawa Timur, itu permainan darat lebih penting. Meskipun mereka sudah menonton tv, mereka tidak pernah mendiskusikan itu. Ditelan mentah-mentah. Ujung-ujungnya satu, orang dipilih karena uang. Akhirnya, kualitasnya ya kayak gini.
Dengan kualitas menurun dibanding periode dulu, tugas Ketua DPR menjadi lebih berat?
Dengan Undang-undang Pemilu, partai politik sekarang, teman-teman harus benar-benar berhitung. Ada yang salah dengan hal ini. Ada orang wacana mau mengembalikan kepada tertutup seperti waktu dulu kualitas anggotanya bagus. Apakah benar, ini pertanyaannya, partai akan seperti dulu, menentukan seseorang itu karena kualitasnya. Saya juga ragu. Karena sekarang pragmatisme dalam politik sudah demikian gila. Jangan-jangan nanti partai politik menentukan orang itu. Siapa yang setor paling banyak kepada partai.
Jadi berpindah saja. Pemilihan langsung setor kepada rakyat, ke partai cuma sedikit. Nah sekarang blek seluruhnya. Udah kau nomer satu pasti jadi. Berarti musuh kita yang terbesar adalah pragmatisme.
Sebenarnya itu tugas Anda yang membawahi 560 anggota DPR untuk membenahi?
Sebenarnya tugas ketua umum partai politik. Jadi merekalah (yang bertanggung jawab) karena kedudukannya strategis dalam UU. Mereka, terutama yang punya suara di parlemen, 10 partai politik. Mereka nanti yang menentukan masa depan negeri ini, apakah kualitas anggota DPR yang akan datang itu lebih baik dari sekarang. Dan itu nanti bisa kelihatan dari UU Partai Politik dan Pemilu.
Kualitas Undang-undang yang disahkan DPR dipertanyakan, dan bahkan beberapa yang tak lama disahkan langsung digugat ke Mahkamah Konstitusi. Bagaimana Pendapat Anda?
Itu konsekuensi demokrasi. Jadi bukan karena kualitasnya. Kan ada ruang setelah zaman reformasi bagi publik menggugat. Jangan-jangan publik itu cuma satu orang? Hanya 10 orang? Tidak mewakili rakyat Indonesia. Yang terpilih adalah anggota DPR.
MK sekarang juga mulai digugat oleh para ahli hukum. Enak saja, katanya, negeri ditentukan oleh 9 orang aja. Gua ini doktor beneran, profesor beneran, mereka kok..
Nggak bisa kita gugat begitu. Faktanya adalah secara konstitusi MK itu memang pemutus final untuk urusan hukum tata negara. Itu konstitusi kita, itu konsekuensi dari reformasi. Jadi kita juga tidak bisa marah-marah. Tapi MK-nya juga harus paham. Silakan saja gugat, mereka kan tahu mana benar, mana salah. Tergantung pada integritas hakim-hakim MK-nya juga.
Terkait Tax Amnesty, silakan gugat saja. Sudah tahu ini untuk kepentingan negara. Hanya mau dijahilin satu dua orang, buat apa? Itu kan jahil. Kasihan lho negeri ini. Tapi demokrasi, kita nggak bisa tutup mulut orang itu, kita bungkam. Kita kemudian elu mengganggu negara aja, nggak bisa. Itulah demokrasi. Ya kita-kitanya yang harus juga hakim MK jangan digubris. Apa pedulimu, udah.
Anggota DPR ada yang terlibat masalah narkoba, kasus korupsi hingga ke kasus perempuan. Bagaimana mencegah hal-hal seperti itu ke depan?
Seperti yang saya bilang tadi, itu tergantung pada UU Partai Politik, UU Pemilu, dalam hal ini rekrutmen. Bagaimana anggota DPR itu terletak di situ. Sistem pemilu itu mau gimana? Kalau misalnya masih terjebak pada politik uang ya akan begitu aja terus. Kan supply dan demand. Hukum yang berlaku. Kan orang pikirannya, keluar duit banyak, beli rakyat. kan begitu otaknya. Kalian kembaliin duit gua.
Soal parlemen modern, bagaimana komentar Anda?
Kalau saya terus terang sampai sekarang itu kan parlemen modern itu cuma di awal-awal aja. Kalau saya konstitusi mengamanatkan apa ke DPR ini, mengamanatkannya menjaga tiga fungsi. Fungsi legislasi secara kuantitatif kita harus kejar, kuantitasnya harus produktif, produknya juga harus berkualitas.
Fungsi anggaran, saya ingin anggaran ini mensejahterakan rakyat. Saya ingin ada evaluasi perencananaan pembangunan yang bener sesuai dengan UU yang telah kita tetapkan RPJMN, panjang, kan ada UU-nya. Kemudian sesuai dengan nawacita, visi-misi Jokowi-JK. Nah, perencanaan kementerian itu seharusnya diaudit. Audit secara politik oleh DPR, audit oleh BPKP, BPK.
Patokannya ya UU RPJMP, nawawacita, diukur. Departemen ini susah sesuai dengan itu atau belum. Yang tidak sesuai singkirkan. Apalagi sekarang uang cekak menurut saya harus pandai memilih mana yang prioritas.
Saya sekarang ingin negara ini konsentrasi penuh, satu soal konsentrasi pangan. Kenapa? Ini kan melambat pertumbuhan dunia ya terus terang saja bukan hanya kita di banyak negara. Di Asean aja cuma Vietnam yang agak bagus. Filipina mendingan, yang lain payah. Malaysia 3 persen, kita 5 persen, lumayan kita.
Pangan ini betul-betul negara harus campur tangan supaya urusan kampung tengah rakyat bisa terjamin. Terjamin itu apa? Ketersediaannya cukup, terpenuhi terus harganya terjangkau oleh daya beli masyarakat.
Untuk itu gak bisa hanya membiarkan liberal dan kapitalistik saat ini dibiarkan ke pasar. Gak bisa. Tapi gak bisa juga negara campur tangan 100 persen. Jadi negara sekarang minimal 40 sampai 50 persen.
Contoh daging. Mana anda mau harga daging bagus sesuai dengan rakyat terus kualitas bagus, tata niaga harus dibetulin. Kemudian data, ini data harus ada. Data sapi itu sebenarnya berapa sih kita harus impor? Kalau sejuta, maka konsisten data sejuta itu harus clear. Ini kan beda-beda.
Misalkan kalau kita meragukan dara dari BPS ya udah tambah anggarannya suapaya kualitas datanya bagus. Seperti kita survei Pilkada. Kalau duitnya bagus pasti hasilnya valid, karena respons bagus.
Untuk supya bagus kalau sejuta kurang atau 800 kurang itulah yang diimpor. Nah, impor itu jangan daging langsung. Sebaiknya dari bakalan supaya di sini digemukkan. Di situlah nilai tambahnya.
Itu negara campur tangan untuk itu. Misalnya kita sudah ada UU tapi belum di-follow up oleh eksekutif mengenai Badan Pangan Nasional. Badan pangan itu yang mengendalikan harga itu, sembako utama. Sesuai dengan amanat UU ga usah jauh-jauhlah. Bulog aja dikembalikan fungsinya seperti zaman dulu. Tapi juga jangan 100 persen, misal impor sapi, bulog 100 persen gak bisa. Kasih swasta 50 persen mereka juga 50 persen.
Supaya bakalan impor supaya digemukan oleh peternak di sini, karena dari awal negara sudah diintervensi harga bisa dikendaliin.
Selain itu, badan pangan di samping badan negara agro industri untk mereka bekerja sama dengan swasta. Negara diserahkan kepada BUMN. Mereka bekerja sama dengan swasta, misalkan modal pemerintah 50 persen, swasta 50 persen. Dan BUMN ini jangan dibebani lagi untuk cari untung.
Bagaimana sinergi parlemen dengan pemerintah saat ini?
Ya, parlemen sudah direkomendasikan oleh saya seperti itu. Kita selalu ketemu menteri-menteri begini-begitu untuk mengarahkan negara ini supaya terwujud. Kasihan negara ini itu sektor pangan.
Revolusi itu pasti berasal dari perut, pemerintah jatuh pasti awalnya urusan perut. Coba lihat Bung Karno, Pak Harto, semua terjadi setelah ada krisis ekonomi. Sehebat apapun pemerintahan di semua negara semua sama, negara kita pun begitu. Jadi urusan kampung tengah harus diselesaikan.
Tapi, selain membenahi kampung tengah tingkat kelahiran harus dikendaliin. Pasca reformasi, program BKKBN gak mendapat perhatian. Dianggap itu produk Pak Harto, gak benar itu. Seharusnya BKKBN diperhatikan.
Ya, tingkat kelahiran harus dikendalikan juga. Masak bisa beranak sampai 8-10, capek juga ngasih makan. Gak ada habis-habisnya. Sementara lahan pertanian semakin terbatas. Lihat aja Bekasi, Kerawang, Subang, Purwakarta, Indramayu, itu sudah tergerus berapa ribu hektar oleh industri.
Di pihak lain, gak dapat perhatian juga dari kita semua, soal apa? Soal intensifikasi pangannya. Dulu zaman Pak Harto, begitu ada bibit semua orang berlomba swasembada.
Nah banyak hal, seharusnya kita yang prinsipnya dulu, yang prioritas urusan kampung tengah, ketahanan pangan, tingkat kelahiran, itu merupakan hal-hal yang penting harus diperhatikan. Kita gak ada ancaman dari luar, ancaman dari dalam, urusan kampung tengah.
DPR sendiri sering kali dianggap bertentangan dengan pemerintah. Benarkah demikian?
Kalau DPR itu ini lembaga demokrasi. Kalau saya, Presiden sekarang kalau benar saya bela, kalau tidak benar saya koreksi. Tugas DPR itu.
DPR juga nggak boleh jadi tukang stempel. Jadi wakil rakyat ya pekerjaannya itu tadi. Teman-teman harus sedih ketika ada tudingan dari masyarakat sebagai tukang stempel pemerintah. Berarti DPR itu mulai terancam, begitu aja.
Berarti fungsi pengawasan DPR gak berjalan, berarti itu terkooptasi oleh eksekutif dan itu gak boleh. Berarti demokrasi berada dalam posisi terancam pada saat itu.
Sekarang di anggaran yang palng penting sekarang itu bagaimana mencari cara agar mekanisme pembahasan anggara antara pemerintah dan DPR betul-betul transparansi terjamin. Kedua betul-betul untuk kepentingan rakyat, betul-betul sesuai dengan RPJMN, nawacita. Itu yang harus kita jaga sama-sama dan harus publik yang melihat itu.
Kemudian kita harus memanage semua itu. Saya itu bukan dirut, dirut itu bisa memecat, bisa memerintah sesuka dia. Saya gak bisa begitu.
Yang punya saham terbesar di sini ya parpol, yang 10 itu. Keputusan di sini kan tergantung pada keputusan 10 parpol itu. Nah, saya cuma mengkoordisaikan itu semua dan mengarahkan agar sesuai cita-cita semua yang tadi.
Ya kalau patokannya urusan pembangunan harus sesuai koridor konstitusi, itu aja. Dan saya tidak berpikir kepentingan siapa ya cuma untuk kepentingan negara ini. Dan saya gak ada beban, alhamdulillah plong.
Bagaimana dengan upaya revisi Undang Undang MPR, DPR, DPRD dan DPD (UU MD3)?
Jadi sekarang ini bagaimana mengatasi masalah penguatan MKD. Ya biarkan mereka berjalan. Jadi penguatan satu pasal soal penambahan pimpinan MKD.
Saya bilang sama teman-teman saya gak mau kita mempertontonkan kepada publik urusan yang sesungguhnya bukan urusan rakyat. Urusan kita ini, urusan internal, urusan rumah tangga, kalau bisa selesaikan baik-baik. Itu yang saya selalu bilang.
Ya biasalah dinamika politik, tapi saya tidak mau itu kemudian menjadi masalah publik. Itu yang sebenarnya media begitu doyan menggiring-giring itu ke arah mecah-mecah. Kalau bisa teman-teman itu mendalami permasalahan masyarakat, terutama kampung tengah itu.
Soal isu seputar Abu Sayyaf, DPR sendiri melihat sikap pemerintah bagaimana?
Kalau DPR selalu satu, negara ini soal Abu Sayyaf saya selalu bilang apa sih susahnya? Masak kita dimain-mainin bandit satu itu? Kita pikir Abu Sayyaf itu teroris? Bukan, bandit, perompak.
Nah, kenapa dia sekarang ngincernya Indonesia? Karena dikasih hati, karena kita pernah kasih tebusan. Sekalian saja cari mangsanya orang Indonesia terus.
Oleh karena itu, kita hrus ada ketegasan terkait permasalahan ini. Saya ingatlah zaman Pak Benny (Benny Moerdani) dulu operasi Woyla, kita bisa. Ini kan soal diplomasi dan ketegasan kita, soal komunikasi dan wibawa kita. Makanya saya terus terang apa sih susahnya?
Anda setuju jika pemerintah sebaiknya melakukan operasi militer atas Abu Sayyaf untuk membebaskan WNI yang mereka sandera?
Ya, apa pun pokoknya seluruh elemen di negeri ini harus dijaga. Enak aja mereka atur-atur kita. Dulu semua orang takut sama kita, berwibawa kita. Begitu dong. Kita harus punya harga diri juga.
Sudah 71 tahun Indonesia merdeka. Pandangan Anda bagaimana?
Kalau saya tadi soal nasionalisme ini adalah sebagai kebanggaan kita sebagai bangsa. Tolong kita semua, legislatif, eksekutif, yudikatif, sama-sama bahu membahu untuk menaikkan harga diri bangsa kembali setelah sekian belas tahun reformasi ini berjalan terus terang aja tercabik-cabik kita punya harga diri.
Zaman Bung Karno, penilaian saya, (Indonesia) dijaga dengan baik dengan caranya Bung Karno. Zaman Pak Harto, dengan caranya, negara ini luar biasa. Kita disegani. Zaman Bung Karno Asia Afrika, zaman Pak Harto Asean, Australia, semua negara kawasan sini sana. Tolong kita saling bahu-membahu, kita gak usah saling salah menyalahkan dan terlalu memikirkan ego sektoral. Kita DPR selalu begini begitu, karena ini soal bangsa.
Patokan kita harga diri bangsa dalam berbagai hal. Masalah ekonomi, politik, pertahanan dan keamanan apalagi. Itu yang sekarang harus bahu-membahu. Gak usah menyalahkan eksekutif, legislatif. Pokoknya sama-sama satu titik tujuan mengembalikan harga diri bangsa.
Terus terang saja, negara ini dipandang sebelah mata setelah reformasi. Negara ini gak kuat.
Tidak kuat karena apa?
Ya karena kurang kompak, masih mentingin ego sektoral. Saya sering menerima apa keluhan lembaga-lembaga itu? Minta penguatan. KY minta penguatan, semuanya. Apa ini maksudnya?
Selanjutnya DPD. Menurut saya harus ada sikap kita. Bubarkan atau berikan penguatan. Karena itu buat apa? Kasihan teman-teman DPD, kasian kepada negara ini juga.
DPD itu sekarang wujud ada tapi tiada. Jadinya, oke, fasilitas oke. Namanya dibilang senator tapi lihat seperti apa fungsinya? Mereka yang salah? Bukan, konstitusi yang salah.
Terus negara ini bayar mereka buat apa? Itu duit rakyat. Yang salah kita semua. Kita kembali kepada parpol soal ini. Karena ini tergantung kepada 10 parpol, mau amandemen, mau dibubarin atau dikuatkan? Jangan kayak sekarang, kasian negara, kasian rakyat. Kan yang menggaji rakyat seperti saya dan kasian mereka juga gak bisa maksimal karena kepentok konstitusi.
Rancangan UU apa saja yang diprioritaskan setelah beberapa DPR sahkan UU Tax Amnesty?
Kalau saya, kita semua selalu mengejar semua UU, karena penting. Sementara itu tantangan kita menghadapi dampak ekonomi yang berat ini, (kalau) main-main gak produktif. Nanti kalau kita sudah segar bugar istilah saya ini saya bercanda ini ya. Saya pernah bercanda kepada Presiden sekarang, buat kita semua bukan waktu main-main karena keadaan ekonomi global.
DPR itu sebaiknya sekarang ini jangan banyak main-main. Wisata buat anggota DPR atau politisi 15 tahun di sini beberapa angket yang bisa membuat gonjang-ganjing itu saya anggap sebagai wisata. Mengasyikkan buat politisi. Wisata itu buat keluarga saat kantong kita tebel, karena ada uang lebih supaya refreshing. Tapi kalau saat posisi tidak punya uang ya jangan wisata gak tenang juga nanti buat beli beras besok gimana? Kan gak mungkin.
Saya bilang bukan saatnya begitu, sekarang semua fungsi pengawasan DPR itu yang mencari solusi atas masalah yang dihadapi. Bukan mempermasalahkan masaklah dengan hak konstitusi seperti interpelasi, angket, dan segala macam. Nanti kalau sudah pertumbuhan ekonomi bagus, boleh.
Jadi prioritas RUU yang mau disahkan berikutnya apa?
Yang jelas RUU/UU parpol pasti dengan UU Pemilu, kan satu paket itu. Ini nanti baru masuk tanggal 16 Agustus, terus minggu depannya pasti UU mereka kita ketok. Terus kita berikan persetujuan mengenai Perppu Kebiri, kita sudah selesai di alat kelengkapan kemarin. Karena saya kerja, saya undang pimpinan Pansus, saya undang pimpinan fraksi. Eh ini gimana? UU ini gimana? Saya begituin setiap saat rapat. Laporan mereka. Laporan tertulis dan laporan ngomong. Yang pasti, UU prioritas UU parpol, awal tahun depan peraturan-peraturannya dibuat.
Sekarang negara sudah kita bantu dengan baik. Tax Amnesty ini urusan negara bukan urusan Jokowi. Urusan kita itu saya terus terang aja biar kita bisa bernapas.
Ente kalau tahu, kemarin dikurangi lagi 133 sekian T dengan asumsi masuk Tax Amnesty 165 T. Bisakah kita 165? Gue aja ragu.
Kemarin saya pasang antara 40-60 T. Kayaknya 40 T aja susah, sekarang baru berapa? 200-an miliar belum triliun. Sekarang bulan apa? Bisa gak tuh 4 bulan 165? Saya ragu. Itu bukan kita, tugas DPR udah selesai pak. Kalau ada yang komplain gak usah dengerin. Terus terang saya tutup mata, gak usah didengerin karena itu hanya kasih nafas sebab keadaan saat ini sangat menyesakan. Bagaimana gak menyesakan keadaan kayak begini. Perang Timur Tengah terus-terusan, terorisme secara menyeluruh.
Nah munculnya terorisme karena ideologi? Bukan. Kenapa? Karena pertumbuhan ekonomi dunia menurun terus berkaitan langsung kan dengan urusan kampung tengah. Jadi, orang gak ada pekerjaan akhirnya cari jalan pintas cari duitnya atau mati. Dia pikir ideologi? Bukan, menurut saya.
Apakah UU Intelijen dan Terorisme masuk prioritas?
Ya saya pikir semuanya akan kita bahas itu semua tapi UU itu kan seluruh pemangku kepentingan, harus kita dengar. Saya Tax Amnesty saya sudah dengar seluruh orang bahwa ini barang yang bisa menyelamatkan negara ini. Mau kerjaan ini dibilang jihad, jihadlah itu namanya.
Jadi kalau orang ga setuju saya gak peduli. Bukan gak mau dengerin orang, bukan. Karena saya beranggapan bahwa negara ini membutuhkan itu. Kalau gak ada yang tidak setuju warga negaranya, ngapain kita dengar. Negara ini negara demokrasi kok yang mayoritas. Kalau 99,9 persen setuju, 0,1 persen gak setuju ngapain kita dengerin 0,1 persen. Gitu aja kita kan?
Jadi waktu saya ambil keputusan dalam tiga jam itu ada anggota DPR gak setuju. Saya gak peduli, saya ketok aja. Karena saya anggap itu bagus. Saya mikirin cuma itu gak mentingin politik atau apalah. Saya sudah sampai kok di ujungnya, kalau seorang politisi inilah ujungnya. Kalau dapat yang lain itu cuma bonus aja.
Maksudnya gini ya, orang yang sekolah di Akmil cita-citanya jenderal bintang empat. Ada satu orang yang gak usah saya sebut pada saat tertentu, waktu itu dia letjen, nangis karena belum nyampe (jenderal bintang empat). Kebanggaan dia sebagai Akmil bintang empat. Bintang empat yang bener-bener.
Kalau saya, saya udah nyampe. Sekarang kalau saya mikirin diri sendiri, gak. Lebih bagus saya mikirin negara ini bukan mikirin kelompok, keluarga. Dan waktu terbatas untuk berbuatnya dan kita terbatas oleh waktu dan masa, paling sampe 2019 memang berapa tahun lagi? Waktu itu cepet.
Apakah Anda punya ambisi menjadi RI 1?
Saya terus terang saja sama sekali (tidak terpikirkan), karena sudah merasa nyampe sesuai cita-cita, jadi saya tidak kepikiran sama sekali. Nah, saya bilang saya sudah sampai jadi Ketua DPR, alhamdulillah saya bersyukur. Saya ini orang kampung, anak petani, pegawai negeri, kepala Kantor Urusan Agama. Adik-adik saya kakak saya guru, sekarang ada satu ikut saya yang lain itu guru.
Cita-cita saya sudah sampai, ya sudah. Sekarang saya cuma ingin kerja maksimal. Jadi DPR pokoknya tiga fungsi itu saya jalanin dengan baik. Kalau soal fasilitas, yang penting orang nyaman ke sini, jangan kotor, dan itu bukan urusan kita. Saya juga gak mau ikut campur terlalu dalam, biar Sekjen-lah. Saya cuma ingetin. Itu bunga, itu kotor.
(ren)