Cerita Boediono Saat RI Hadapi Krisis Ekonomi
- ANTARA/Fanny Octavianus
VIVA.co.id - Mantan Wakil Presiden Republik Indonesia, Boediono berbagi cerita mengenai pengalaman Indonesia dalam menghadapi krisis yang sempat menghampiri di rentang tahun 1998 dan 2008. Pengalaman ini pun pada akhirnya diterjemahkan dengan baik, dalam menata struktur perekonomian bangsa.
Boediono, yang juga menjadi pembicara dalam seminar bertajuk “Managing Stability and Growth Under Economic and Monetery Divergence" di Sofitel, Nusa Dua, Bali, Senin 1 Agustus 2016, mengatakan ada lima pelajaran utama yang bisa dipetik dari pengalaman Indonesia menghadapi krisis.
Pertama, Indonesia pada masa tersebut sempat mengalami periode sulit dalam menyiapkan berbagai langkah antisipatif menghadapi krisis ekonomi global. Pada akhirnya, Indonesia menjadi salah satu negara yang terpukul akibat krisis tersebut, dan membutuhkan cukup waktu untuk kembali pulih.
“Tetapi, pada akhirnya, Indonesia memiliki persiapan yang lebih baik dalam menghadapi krisis kedua, sehingga dampaknya tidak terlalu signifikkan,” jelas Boediono.
Kedua, lanjut Boediono, adalah bagaimana pemerintah Indonesia mampu merespons cukup cepat saat terjadinya krisis yang melanda. Ia mengatakan, pada 1998, Indonesia tidak cukup memiliki informasi akurat mengenai krisis moneter. Belajar dari pengalaman tersebut, pada krisis 2008, Indonesia menjadi salah satu negara yang pulih dengan cepat.
Sementara yang ketiga, yakni dari adanya tumpang tindih koordinasi antarkelembagaan. Menurut dia, kondisi politik pada periode tersebut, membuat para pengambil kebijakan saling menyalahkan satu sama lain, sehingga tidak tercipta rumusan kebijakan yang baik.
Namun, mantan menteri keuangan itu menegaskan, para pengambil kebijakan tidak sepenuhnya bisa disalahkan karena hal itu. "Ini fenomena umum yang terjadi pada negara-negara berkembang, yang peran institusinya belum matang," ungkap dia.
Keempat, adanya peran penting dari sisi internal pemerintahan, yang mendukung penuh segala kebijakan yang diambil pada masa krisis. Ketika periode ini, para pengambil kebijakan pun sudah mulai memiliki pengalaman yang cukup dalam menghadapi krisis.
Terakhir, adalah situasi politik yang semakin membaik, sehingga mendukung setiap kebijakan ekonomi. Boediono mengatakan, secara langsung kondisi politik yang semakin membaik, tutur menyelaraskan efektivitas kebijakan ekonomi.
"Saat krisis pertama, ada komplikasi persoalan politik yang cukup panjang. Pada krisis kedua, kami sedikit beruntung, karena kondisi politik sangat minim," tutur dia. (asp)