Mahfud MD: Tak Masalah Hasil Sidang IPT Dibawa ke PBB
- ANTARA FOTO/Sigid Kurniawan
VIVA.co.id – Mantan ketua Mahkamah Konstitusi, Mahfud MD, mengatakan tak masalah jika hasil keputusan Majelis Hakim Internasional dari International People’s Tribunal (IPT) kasus 1965 yang menyatakan Indonesia bersalah atas kejahatan kemanusiaan peristiwa 1 Oktober 1965 dibawa ke Persatuan Bangsa Bangsa (PBB).
Kejahatan kemanusiaan yang dimaksud yakni pembunuhan massal yang dilakukan terhadap anggota PKI dan anggota Partai Nasional Indonesia (PNI), yang merupakan pembela setia Presiden Soekarno. Mahfud berujar, hal tersebut adalah sebuah kewajaran karena setiap orang memiliki hak untuk mengajukan laporan ke PBB.
"Tidak masalah kalau dibawa ke dewan HAM PBB. Itu sesuatu yang biasa. Semua orang bisa mengajukan," ujar Mahfud di kantor Kementerian Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Keamanan, Jalan Medan Merdeka Barat 15, 21 Juli 2016.
Mahfud juga berkata, hasil keputusan Majelis Hakim Internasional IPT kasus 1965 tidak memiliki konsekuensi atau pengaruh bagi negara Indonesia. IPT juga bukanlah sebuah lembaga peradilan resmi dan hasil keputusannya tidak bersifat mengikat.
"IPT itu bukan pengadilan dan keputusannya tidak mengikat. Sama sekali tidak mengikat," ujar Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia itu.
Menurut Mahfud, dalam sistem hukum di Indonesia, hanya dikenal dua macam pengadilan pidana, yaitu pengadilan Internasional di bawah kewenangan International Criminal Court (ICC) dan pengadilan negara di dalam negeri masing-masing.
"Pengadilan pidana itu hanya dua, pengadilan negara dan internasional, atau ICC dan pengadilan negara di negaranya masing-masing. Kalau di Indonesia itu MA. IPT itu liar," kata Mahfud.
Untuk diketahui, Majelis Hakim Internasional dari International People’s Tribunal (IPT) yang diketuai Hakim Ketua, Zak Jacoob, menyatakan Negara Indonesia bertanggung jawab atas beberapa kejahatan terhadap kemanusiaan melalui rantai komandonya.
Beberapa kejahatan itu adalah pembunuhan massal yang diperkirakan menimbulkan ratusan ribu korban. Kedua, penahanan dalam kondisi tak manusiawi, di mana jumlah korban diperkirakan mencapai sekitar 600.000 orang.
Ketiga, perbudakan orang-orang di kamp tahanan seperti di Pulau Buru. Selain itu terdapat juga bentuk penyiksaan, penghilangan paksa dan kekerasan seksual.
Majelis hakim pun merekomendasikan agar pemerintah Indonesia minta maaf kepada para korban, penyintas, dan keluarga korban. Pemerintah juga didesak melakukan penyelidikan kejahatan terhadap kemanusiaan sebagaimana tuntutan Komnas Perempuan dan Komnas HAM dalam laporannya.