IPT: Indonesia Harus Bertanggungjawab Atas Kasus 1965
- flickr IPT1965
VIVA.co.id – International People’s Tribunal (IPT) 1965 memutuskan Indonesia harus bertanggungjawab terhadap 10 tindakan kejahatan HAM berat yang terjadi pada 1965-1966 termasuk di antaranya kejahatan genosida terhadap mereka yang menjadi anggota, pengikut dan simpatisan Partai Komunis Indonesia (PKI), serta loyalis Presiden Sukarno dan anggota Partai Nasional Indonesia (PNI) yang progresif.
Pelaksanaan sidang International People's Tribunal 1965 telah mencapai tahap akhir dengan pembacaan final report (keputusan) itu dipimpin oleh Ketua Mejelis Hakim Zak Yacoob.
Pembacaan oleh Hakim Zak Yacoob, mantan hakim Mahkamah Konstitusi Afrika Selatan, dan direkam dari Cape Town ini merupakan sebuah pesan perdamaian dan rekonsiliasi yang diserukan dari negara Afrika Selatan yang menjadi contoh bangsa-bangsa di dunia, untuk mengakhiri impunitas di Indonesia yang telah berlangsung selama 50 tahun.
"Keputusan menyatakan bahwa negara Indonesia bertanggungjawab atas kejahatan terhadap kemanusiaan yang sudah terjadi pada tahun 65, 66, dan genosida. Merekomendasikan agar mengajukan permintaan maaf pada korban dan keluarganya dan pihak-pihak yang dirugikan," kata koordinator umum IPT 1965 Nursyahbani Katjasungkana di kantor YLBHI, Menteng, Jakarta Pusat, Kamis 20 Juli 2016.
Nur mengatakan, keputusan tersebut sudah sesuai dengan harapan, meskipun diawal IPT 1965 tidak membuat dakwaan mengenai genosida. Namun, dalam perjalanan persidangan unsur-unsur genosida terpenuhi.
"Ternyata didalam perjalanannya, unsur-unsur jenaside (genosida) berdasarkan pasal 1 Undang-undang Konvensi Jeneside 48 itu terpenuhi, yaitu perusakan sebuah kelompok nasional yang juga kemudian mengubah pola dan relasi sosial masyarakat Indonesia," ujarnya.
Dia menerangkan, meskipun demikian, hal itu tergantung kepada pemerintah Indonesia untuk memanfaatkan momentum tersebut. "Nah, tentu saja ini terpulang kepada pemerintah Indonesia, untuk memanfaatkan momentum dan mereka sudah terbuka dengan simposium yang pertama membuka dialog, dan ada proses-proses sekarang yang sedang berlangsung. Mudah-mudahan putusan ini memberikan pengaruh dan juga bagaimana pun sudah menjadi isu internasional," ungkapnya.
"Menindaklanjuti rekomendasi dari Komnas HAM dan Komnas perempuan serta melakukan rehabilitasi dan memberikan konvensasi yang memadai," ucapnya.
Dia mengatakan, keputusan yang sudah final tersebut tidak bersifat mengikat dan tidak memiliki kuakatan hukum yang mengikat. Namun lebih bersifat rekomendasi. Namun ini mempunya efek moral dan sosial dari para korban, pegiat HAM, peneliti HAM, kepada pemerintah jika tidak dilaksanakan.
"Inikan sifatnya rekomendasi ya. Hakim juga mengatakan bahwa wewenangnya diperoleh dari otoritas moral dari korban para pegiat ham dan serta para peneliti. Tetapi putusannya tidak mempunyai kekuatan maksa untuk dilaksanakan," ucapnya.
Seperti di kutip langsung dari keterangan pers yang dikirimkan tim IPT 1965 kepada VIVA.co.id, pada Rabu, 20 Juli 2016, Yacoob membacakan desakan hakim IPT 1965 pada pemerintah Indonesia, antara lain:
(a) Meminta maaf kepada semua korban, penyintas, dan keluarga mereka untuk peran negara dalam semua kejahatan terhadap kemanusiaan, atau kejahatan lain yang terjadi di Indonesia terkait dengan peristiwa 1965 dan sesudahnya.
(b) Melakukan penyidikan dan mengadili semua pelanggaran terhadap kemanusiaan.
(c) Memastikan kompensasi dan santunan yang memadai kepada korban dan penyintas.
Selain pemerintah, laporan ini juga mendesak semua otoritas terkait untuk ikut menagih pada pemerintah Indonesia. Secara khusus pada Jaksa Agung agar untuk segera menindaklanjuti laporan penyelidikan kasus kejahatan terhadap kemanusiaan 1965 oleh Komnas HAM.
Hakim IPT juga meminta pemerintah agar melakukan rehabilitasi untuk korban dan penyintas serta menghentikan pengejaran (persekusi) yang masih dilakukan oleh pihak berwajib, atau menghilangkan pembatasan-pembatasan bagi para korban dan penyintas, sehingga mereka dapat menikmati sepenuhnya hak asasi manusia seperti yang dijamin oleh hukum Indonesia dan internasional.