Proses Seleksi Anggota KPI Digugat
- Pixabay
VIVA.co.id – Sejumlah warga melakukan gugatan terhadap proses seleksi komisioner Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) Pusat periode 2016 - 2019 ke Mahkamah Konstitusi (MK).
Gugatan didaftarkan Senin siang, 18 Juli 2016. Warga penggugat adalah Fajar A. Isnugroho (Warga Sidoarjo, Jawa Timur), Alem Febri Sonni (Warga Makassar, Sulawesi Selatan), Achmad Zamzami (Aktivis Muda Nahdlatul Ulama), dan Arie Andyka (Praktisi Hukum). Selain itu, lembaga Majelis Sinergi Kalam (MASIKA) Ikatan Cendikiawan Muslim Indonesia (ICMI) Wilayah Sulawesi Selatan juga melakukan gugatan.
Fajar menerangkan, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) menyerahkan proses seleksi komisioner lembaga yang mengawasi penyiaran di Indonesia itu ke pemerintah. Pemerintah, melalui Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) menindaklanjuti dengan membentuk Panitia Seleksi (Pansel).
Hal itu dinilai bertentangan dengan Undang-undang Nomor 32 Tahun 2002 Tentang Penyiaran. Pasal 61 ayat (2) undang-undang mengatur keterlibatan pemerintah hanya terjadi saat KPI pertama dibentuk. "Penafsiran yang berbeda yang dilakukan terkait hal ini merupakan salah satu pelanggaran yang dilakukan," ujar Fajar melalui keterangan tertulis, Senin, 18 Juli 2016.
Selain itu, Pasal 10 ayat (1) UU Penyiaran menyebut calon komisioner KPI tidak dibatasi usia. Namun, Pansel mengatur usia calon komisioner KPI tidak melebihi 30 tahun. Fajar mengatakan hal itu tidak memiliki dasar hukum. Hal itu, juga aturan yang diskriminatif. "Padahal sebagaimana diatur Pasal 28J ayat (2) Undang-undang Dasar 1945, pembatasan hak asasi seseorang hanya bisa dilakukan undang-undang," ujar Fajar.
Namun, Fajar mengatakan, gugatan utamanya dilayangkan karena mekanisme yang ditempuh untuk menyeleksi calon komisioner KPI periode 2016 - 2018 dinilai mengancam sistem demokrasi dan kebebasan pers. Posisi KPI sebagai lembaga negara independen yang merupakan perwakilan masyarakat juga terancam.
Fajar mengatakan, berperannya pemerintah dalam proses penentuan komisioner KPI bisa membahayakan fungsi pers sebagai pilar demokrasi. Utamanya, ada sejumlah lembaga penyiaran yang dimiliki oleh pemimpin partai politik yang kini telah menyatakan sikap berkoalisi dengan pemerintah. "Dominasi pemerintah berpotensi menghasilkan pengawas penyiaran yang terkooptasi oleh kepentingan kekuasaan terhadap pers," ujar Fajar.
Adapun, gugatan dilayangkan dengan harapan majelis hakim dapat memberi tafsir yang tidak bertentangan dengan UUD 1945. Majelis hakim konstitusi kemudian diharapkan melarang adanya perbedaan tafsir yang berbeda dari Pasal 10 Ayat (1) dan Pasal 61 Ayat (2) UU Penyiaran.