Pria Hidup Tanpa 90 Persen Otak Bikin Pusing Ilmuwan
- www.theLancet.com
VIVA.co.id – Peneliti saraf saat ini masih dibuat bingung dengan keanehan yang dialami seorang pria Prancis.
Pria anonim yang kini berusia 53 tahun hidup normal meski tanpa 90 persen otaknya. Awalnya sang pria itu tak sadar dengan kelainan yang dialaminya tapi sekitar beberapa tahun lalu, dia merasakan kelemahan ringan pada kaki kirinya.
Dikutip dari Science Alert, Kamis 14 Juli 2016, saat dia memeriksakan diri ke rumah sakit, dokter kemudian memindai otaknya dan terkejut saat nyaris semua otaknya berisi cairan, hanya sedikit lapisan yang berisi jaringan otak.
Para dokter saat itu berpikir sebagian otak manusia perlahan-lahan hancur selama 30 tahun oleh penumpukan cairan di otaknya. Kondisi ini dikenal dengan hidrosefalus.
Kemudian dilakukan pengobatan bedah saraf dengan teknik shunt, yang mana cairan serebrospinal yang berlebihan dialirkan keluar melalui tabung selang. Aliran cairan serebrospinal ini dapat diarahkan langsung ke jantung (ventriculoatrial shunt) atau ke rongga perut (ventriculoperitoneal shunt).
Kemudian saat usianya 14 tahun, terapi itu dilepas dan hal ini diduga yang mendukung otaknya terkikis pada usia selanjutnya.
Meski memiliki jaringan otak yang tipis dan terkikis, tapi anehnya pria tersebut hidup normal. Dia punya IQ 75, bekerja sebagai pelayan sipil, menikah dan punya dua anak dan sehat. Pria tersebut juga tak ada masalah dengan kesadarannya meski kehilangan 90 persen otaknya.
Kelainan yang dialami pria tersebut sudah ramai diperbincangkan oleh ilmuwan pada 2007 lalu. Dan kini hampir satu dekade berlalu, ilmuwan belum bisa memecahkan misteri tersebut.
Kondisi yang unik pada pria tersebut memaksa para ilmuwan siap mendefinisi ulang pemahaman tentang kesadaran otak.
Di masa lalu, ilmuwan menunjukkan kesadaran mungkin terkait dengan area otak khusus, misalnya claustrum, sebuah lembaran tipis saraf yang berjalan di antara area utama otak.
Tapi dengan adanya kasus pria Prancis tersebut, maka hal itu mematahkan pemahaman lama tersebut. Dengan mempertimbangkan kasus pria tersebut, berarti bukan satu area khusus yang bertanggung jawab atas kesadaran di otak.
"Teori kesadaran harus mampu menjelaskan mengapa orang yang kehilangan 90 persen saraf masih menunjukkan perilaku normal," jelas Axel Cleeremans, ahli psikologi kognitif dari Université Libre de Bruxelles, Belgia dalam Quartz.
Belajar dari kasus pria Prancis tersebut, Cleeremans berhipotesa lokasi area yang bertanggung jawab atas kesadaran bisa fleksibel dan bisa area otak yang berbeda. Dia menyebut hipotesanya sebagai 'radical plasticity thesis'.
Soal alasan kenapa orang dengan 10 persen otak bisa tetap hidup normal, Cleeremans berpendapat meskipun hanya punya 10 persen otak, tapi sisa saraf yang ada masih mampu membangunkan kesadaran, artinya dengan begitu tak heran pria tersebut masih menemukan kesadarannya.
(ren)