Pengamat: Network Sharing Itu Bantu Operator Malas

Ilustrasi menara BTS.
Sumber :
  • VIVAnews/Muhammad Firman

VIVA.co.id – Adanya wacana berbagi jaringan aktif (network sharing), dianggap menguntungkan pelanggan. Namun ternyata pengamat industri menilai jika pihak yang paling diuntungkan terkait dengan network sharing adalah operator asing yang beroperasi di Indonesia.

Apakah Indonesia Butuh Teknologi 6G

Hal ini diungkap oleh pengamat yang juga salah satu perintis bisnis seluler di Indonesia, Garuda Sugardo. Menurutnya, dari sekian banyak operator telekomunikasi di Indonesia, hampir semua penguasaannya dimiliki asing. Baik Indosat Ooredoo, XL Axiata, Tri Indonesia, maupun Smartfren.

"Hanya Telkomsel yang paling sedikit investasi asingnya. Tidak ada keharusan bagi Telkomsel untuk menerima konsep network sharing selama hanya diposisikan sebagai 'donatur' jaringan," ujar Garuda, di Jakarta, Kamis, 30 Juni 2016.

Lacak Nomor HP dengan 4 Cara, Terakhir Bisa Cek Tarif Tol

Seperti diketahui sekitar 35 persen saham Telkomsel memang dikuasai SingTel, sedangkan sisanya dikuasai Telkom yang sahamnya dominan dikuasai pemerintah Indonesia.

"Indosat sejatinya telah memiliki segala macam lisensi yang sama dengan Telkom sehingga layak disebut Full Network Service Provider, dengan segala hak dan kewajibannya," ujar Garuda.

Menkominfo Kasih Lampu Hijau Operator Telekomunikasi untuk Merger

Oleh karena itu, lanjut dia, sebagai pemilik lisensi, harusnya para operator sadar bahwa konsekuensi yang harus mereka terima adalah pembangunan infrastruktur jaringan. Pembangunan ini harusnya tidak hanya menargetkan daerah yang potensial saja, melainkan di seluruh wilayah Indonesia, tanpa tebang pilih.

Garuda menegaskan bahwa dia setuju dengan konsep berbagi jaringan 100 persen namun harus dipertegas artinya. Yang dimaksudkan berbagi jaringan adalah saling berbagi, bukan hanya sebelah pihak.

"Network sharing artinya saling berbagi, bukan yang satu berbagi tapi yang lain minta bagian. Itu tidak adil dan tendensi  berpihak. Apalagi kepada operator yang sudah 'menggadaikan' jaringan kepada vendor secara managed service. Mereka adalah operator 'pemalas', segan membangun, enggan pula memelihara jaringan. Padahal lisensi mereka adalah sebagai Operator Jaringan dan Operator Layanan,” tegasnya.

Dia pun berharap agar revisi peraturan pemerintah (PP) tentang penyelenggaraan telekomunikasi (PP 52 tahun 2000) dan juga PP 53 tahun 2000 tentang frekuensi dan orbit satelit yang mengakomodasi bisnis network sharing, tidak ditandatangani oleh Presiden Joko Widodo.

“Jika diimplementasikan, besar kemungkinannya akan blunder di masa depan. Pemerintah seharusnya tidak perlu melindungi operator manapun yang lalai dengan kewajibannya," ujar Garuda.

Ditambahkan Sekjen Pusat Kajian Kebijakan dan Regulasi Telekomunikasi ITB M Ridwan Effendi, konsep network sharing di dunia berupa jenis kebijakan insentif dari pemerintah untuk memperluas akses telekomunikasi masyarakat di daerah yang belum terjamah, bukan untuk membantu pemain yang tidak mau membangun agar dapat mengefisiensikan biaya belanja modal dan operasionalnya.

“Kalau dilihat dari pemberitaan di media massa, network sharing yang digulirkan seperti ingin membantu pesaing Telkom Group untuk tidak perlu melakukan subsidi investasi memasuki pasar luar Jawa, seperti yang dialami Telkomsel,” papar Ridwan.

Diungkapkan Ridwan, Telkomsel dalam menggelar jaringan di luar Jawa biasanya mengalami ‘masa berdarah-darah’ lebih dahulu karena trafik tak langsung datang.

“Kalau dilihat di laporan keuangannya, itu ada 16.000 BTS harus disubsidi setiap bulannya oleh Telkomsel demi melayani masyarakat. Jadi, saya bingung kalau ada operator yang enggan membangun, lalu didukung pemerintah. Sementara ada yang sudah bersusah payah tapi malah mau dibebani lagi," ujar Ridwan.

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya