Peneliti Ini Temukan Sabun Mandi Ramah Lingkungan
- VIVA.co.id/Dyah Pitaloka
VIVA.co.id – Peneliti di Balai Besar Pelatihan Pertanian (BBPP), Ketindan Kecamatan Lawang Kabupaten Malang menciptakan sabun yang ramah lingkungan. Sabun badan dan wajah itu tak menggunakan detergen sebagai bahan membersihkan kotoran pada kulit, melainkan menggunakan minyak kelapa. Kandungan minyak kelapa mampu terurai melalui proses alam dan tak mencemari lingkungan.
“Sabun ini ramah pada lingkungan dan kulit. Kotoran tubuh itu juga minyak, kotoran ini akan larut pula dengan larutan minyak organik,” kata Saptini Mukti Rahajeng, widyaiswara di BBPP Ketindan, Rabu 29 Juni 2016.
Sabun herbal ciptaannya itu menggunakan bahan utama dari sari minyak kelapa sebagai pengganti detergen atau Sodium Lauryl Sulfat (SLS) yang digunakan pada sabun lain. “Biasanya sabun mandi yang keluar busa atau detergen itu pakai SLS ini. SLS sulit terurai secara alami di air, pada kulit detergen membuat kering. Ciri-ciri sabun yang pakai SLS ini biasanya membekas seperti kerak berwarna putih pada kulit jika tak bersih dibilas, dan kering pada kulit setelah digunakan,” ucapnya.
Sabun herbal temuannya kemudian dicampur degan berbagai sari bahan alami lain seperti kopi, sirih merah juga mawar plus bawang putih dan lengkuas. Masing-masing sabun punya manfaat berbeda, selain melembabkan dan membersihkan kotoran pada kulit. Misalnya sabun dengan campuran kopi disebut bermanfaat untuk mengurangi selulit dan kotoran yang membandel pada tubuh. Sirih merah mengandung antiseptik dan baik untuk organ kewanitaan, sedangkan sabun mawar plus baik untuk mengatasi iritasi, biang keringat dan jamur.
Untuk memudahkan proses pembuatan sabun herbal, peneliti yang kerap disapa Ajeng itu sengaja menggunakan berbagai peralatan sederhana dalam membuat sabunnya. Siapapun bisa membuat sabun herbal dengan bahan alam menggunakan panci anti korotif dan cetakan yang ramah untuk dikonsumi atau food grade dan bisa ditemukan di pasaran umum.
“Minyak tumbuhan tidak disuling tetapi diambil sarinya saja, jadi lebih mudah dibuat oleh siapapun. Sabun tetap bening karena menggunakan campuran alkohol 70 persen, ini juga mudah didapat di pasaran,” katanya.
Menurutnya semua resep, takaran dan campuran dari sabun herbal buatannya telah melalui penelitian detail di BBPP.
Terhalang izin BPOM
Hingga saat ini, resep sabun herbal temuanya banyak diduplikasi oleh ibu-ibu binaan BBPP. Sabun dicetak bulat setebal 2 cm dengan diameter sekitar 3 cm dijual terbatas di lingkungan BBPP dan petani binaan saja. Sabun tak bisa diproduksi secara bebas dan banyak karena terhalang izin dari Balai Besar Pengawasan Obat dan Makanan. Hasil penelitian BBPP yang telah dibuktikan keamanan dan manfaatnya oleh Ajeng tak bisa dijadikan jaminan untuk memproduksi sabun dengan banyak.
“Meskipun diproduksi industri rumahan tetapi izin sabun herbal harus lewat BPOM. Untuk dapat izin syaratnya sangat sulit dan membutuhkan banyak modal layaknya industri besar,” tutur dia.
Selain itu, sabun herbal tersebut juga tergolong mahal jika dibandingkan harga sabun di pasaran pada umumnya. Satu buah sabun herbal dihargai Rp20 ribu. Harga tinggi karena proses produksi yang manual dengan bahan yang juga tak murah. Selain itu produksi yang sedikit juga berimbas pada harga sabun. Satu kali resep membutuhkan waktu sekitar tiga hari dengan menghasilkan sekitar 60 buah sabun.
“Minyak tumbuhan itu yang mahal. Harga itu pun dibuat cukup untuk mengganti modal belanja saja. Jika ada lebihnya digunakan untuk operasional pembuatan sabun. Jadi untungnya bisa membuat dan memakai sabun buatan sendiri,” ujar peneliti berjilbab tersebut.
Ajeng berharap suatu saat sabun herbal bisa diproduksi oleh banyak warga dan terjangkau. Selain aman pada badan sabun tak menggunakan detergen larut dalam air dan tak mencemari lingkungan. Kandungan minyaknya membuat kulit lembab dan tidak mudah kering.
“Kulit yang lembab itu juga dipengaruhi konsumsi sayuran dan air. Jika menggunakan sabun berdetergen kulit akan lebih cepat kering dan membuat kulit mudah menua.”
(mus)