Brexit, Ada Potensi Pelarian Modal dari Indonesia
- AP Photo/Akira Suemori
VIVA.co.id – Wacana keluarnya Inggris dari Uni Eropa, atau disebut dengan Britain Exit (Brexit) dikhawatirkan menjadi sentimen negatif bagi sejumlah negara berkembang (emerging market), termasuk Indonesia. Meski demikian, sejumlah ekonom menilai Brexit hanya berdampak kecil pada ekonomi Indonesia.
Ekonom PT Bank Central Asia, David Sumual menilai, isu keluarnya Inggris dari Eropa, tidak akan berdampak secara signifikan terhadap perekonomian nasional. Namun, bukan berarti, sentimen ini justru diabaikan, dan tidak dicermati lebih dalam oleh pemerintah maupun otoritas moneter.
"Ada potensi pelarian modal investor dari emerging market ke negara safe haven country. Dolar Amerika Serikat bisa menguat, dan tentu kalau menguat akan memengaruhi rupiah kita," kata David saat berbincang dengan VIVA.co.id, Selasa 21 Juni 2016.
Menurut David, dampak yang paling terasa dari keluarnya Inggris dari Eropa, akan tetap berada di wilayah yuridiksi kedua negara. Selain sektor finansial, sektor perdagangan antarkedua negara pun berpotensi akan terpengaruhi, karena selama ini Inggris memegang pangsa ekspor terbesar di Eropa.
"Ekspor Inggris ke Eropa itu hampir 46 persen. Dibandingkan dengan Eropa itu hanya enam persen. Dari sektor finansial, kemungkinan Inggris bersaing akan semakin sulit (jika keluar dari Uni Eropa)," katanya.
David mengatakan, kondisi fundamental ekonomi nasional saat ini masih relatif membaik. Hal ini tercermin dari beberapa indikator seperti laju inflasi yang terjaga, sampai dengan defisit neraca perdagangan yang terus mengalami penurunan,
Belum lagi, lanjut dia, pelonggaran kebijakan moneter yang kembali dilakukan bank sentral. Menurut David, rangkaian capaian positif tersebut bisa meredam sentimen negatif yang bisa terjadi jika Inggris benar-benar keluar dari Uni Eropa.
"Harapan juga muncul dari reformasi struktural yang dilakukan pemerintah, dan kebijakan tax amnesty (pengampunan pajak) yang ditunggu-tunggu," ujarnya. (asp)