BPPT Kembangkan Antibiotik yang Sempat Mati Suri
VIVA.co.id – Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) bekerja sama dengan PT Kimia Farma Tbk dan Sungwun Phatmacopia mengembangkan antibiotik Sefalosporin. Adapun kerja sama ini merupakan salah satu upaya integrasi hulu hilir industri farmasi dalam rangka mengurangi ketergantungan impor bahan baku obat antibiotik, khususnya Sefalosporin.
Diketahui, Sefalosporin merupakan antibiotik spektrum luas yang digunakan untuk terapi septikemia, pneumonia, meningitis, infeksi saluran empedu, peritonitis, dan infeksi saluran urine.
Kepala BPPT, Unggul Priyanto menyatakan, Sefalosporin termasuk antibiotik golongan beta laktam. Sementara itu, BPPT, kata dia, telah melakukan kajian terkait antibiotik golongan beta laktam sejak 1990-an.
"Tetapi, karena kurangnya dukungan dan tidak ada yang mengawal, jadi seolah mati suri," ujar Unggul dalam keterangannya kepada VIVA.co.id, Selasa, 7 Juni 2016.
Tak sampai di situ, Unggul menuturkan, BPPT melalui unit kerjanya di Balai Bioteknologi pun terus melakukan inovasi untuk menghasilkan teknologi produksi bahan baku obat yang efisien. Selain itu, BPPT berupaya menjalin kemitraan dengan semua pemangku kepentingan industri kesehatan.
Saat ini, ujar Unggul, pemerintah Indonesia telah memberikan dukungan dan dorongan yang maksimal untuk menjadikan industri farmasi nasional sebagai andalan. Hal ini dibuktikan dengan masuknya industri farmasi, dalam kelompok industri strategis yang dituangkan dalam Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No 14/2015 tentang Rencana Induk Pembangunan Industri Strategis (RIPIN) Tahun 2015-2035.
Unggul mengatakan, pasar produk farmasi Indonesia pada 2015 sebesar Rp60 triliun dan diproyeksikan meningkat menjadi Rp102,05 triliun pada 2020.
"Peluang yang besar akan kebutuhan produk farmasi tersebut tentunya harus diiringi dengan ketersediaan bahan baku obat yang berkualitas dan mandiri. Untuk menangkap peluang pasar yang besar tersebut harus terus dilakukan inovasi yang memanfaatkan semua sumber daya berbasis kekayaan alam Indonesia yang terintegrasi dari hulu hingga hilir," kata Unggul.
Saat ini, Unggul menjelaskan, sekitar 95 persen bahan baku obat untuk kebutuhan industri farmasi Indonesia masih diimpor dari China (60 persen) dan India (30 persen). Besarnya nilai ketergantungan industri farmasi nasional terhadap bahan baku obat impor hingga saat ini masih mengkhawatirkan.
Padahal, kata Unggul, secara teknologi Indonesia sudah siap memproduksi bahan baku obat sendiri dengan memanfaatkan bahan baku lokal yang melimpah.
"Melalui kerja sama ini, diharapkan Indonesia bisa mandiri untuk produksi obat, khususnya antibiotik," ujar dia.