Indonesia Berguru ke China Soal Teknologi Enzim
- VIVA.co.id/Mitra Angelia
VIVA.co.id – Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) bekerja sama dengan industri bioteknologi China dalam rangka berguru riset pengembangan teknologi produksi enzim dan biofertilizer (pupuk hayati).
Mitra industri China yang digandeng BPPT ialah Qingdao Vland Biotech Group Co. Ltd. Dalam kerja sama itu, selain akan mengadakan riset, juga bakal ada transfer teknologi.
Kesepakatan antara BPPT dan Qingdao ini merupakan bagian dari kerja sama Indonesia-China di bidang sains dan teknologi yang telah dimulai sejak 2011, oleh Kementerian Riset Teknologi dan Pendidikan Tinggi (Kementistek Dikti) dan Kementerian Sains dan Teknologi China (MOST of China).
Kepala BPPT, Unggul Priyanto, mengatakan di era kemajuan teknologi sekarang ini, sangat dikendalikan oleh aplikasi bioteknologi yang memanfaatkan keunggulan agen hidup atau sumber daya hayati mikroba. Sumber tersebut dimanfaatkan untuk menghasilkan produk-produk yang punya nilai ekonomi sangat tinggi.
"Dapat dikatakan di abad ke-21 ini merupakan abad bioteknologi," ujar Unggul saat penandatanganan bersama Qingdao di Gedung BPPT, Jakarta, Kamis, 2 Juni 2016.
Sumber daya yang memiliki nilai ekonomi tinggi ini, kata Unggul, di antaranya vaksin, enzim dan antiobiotik atau antiviral. Produk tersebutlah yang bakal membanjiri pasar di negara-negara berkembang.
Contohnya, hampir 99 persen kebutuhan produk enzim untuk Indonesia di impor dari India, China dan Eropa. Maka, kata Unggul, Indonesia pun ingin mengambil bagian menjadi pemasok produk dalam bentuk volume kecil itu.
Unggul menuturkan, Indonesia tak kalah dalam hal sumber daya hayati, karena punya cukup melimpah dan terbesar ke empat setelah Brasil, China dan Afrika Selatan. Dan diakui Unggul, Indonesia relatif lamban dalam perkembangan industri bioteknologi.
"Banyak hasil-hasil riset terkait pemanfaatan mikro organisme lokal yang punya potensi untuk dikembangkan lebih lanjut di industri, namun tidak berlanjut dan tidak tuntas," ungkap Unggul.
Maka kerja sama dengan Qingdao, kata Unggul, bisa membantu Indonesia mendorong pengembangan bioindustri atau bioteknologi. Qindao merupakan ahli dalam produksi enzim untuk macam-macam kebutuhan, pakan ternak, kertas dan industri kimia lainnya.
"Kerja sama ini dapat memberikan manfaat besar bagi Indonesia," ujar Unggul.
Diketahui, pengembangan teknologi enzim ini diarahkan untuk aplikasi enzim di industri seperti industri pakan ternak, industri pengolahan kayu dan kertas, industri kimia dan lainnya.
Sedangkan teknologi biofertilizer diharapkan dapat mendukung sistem pertanian hijau yang menggunakan konsep pupuk berimbang, untuk meningkatkan produktivitas dan tetap menjaga kualitas lingkungan.
Deputi Teknologi Agroindustri dan Bioteknologi BPPT , Eniya Listiani Dewi menambahkan dalam mendorong ketahanan pangan melalui kolaborasi riset ini, akan dikembangkan enzim fitase untuk pakan ternak.
"Industri enzim di Indonesia semua berasal dari bahan kimia. Kita akan kembangkan dari biomassa," kata Eni.
Chief Executive Officer (CEO) Qingdao Vland Biotech Group Co. Ltd, Chengang, berharap kerja sama berupa transfer teknologi dan pemanfaatan laboratorium bersama tersebut berjalan sukses serta menguntungkan kedua negara.
"Perusahaan kami bergerak di riset dan pengembangan. Kami memiliki 200 orang yang di bidang riset dan pengembangan itu," ujarnya.
Dalam kolaborasi riset ini, China akan mendukung dana US$1 juta dan BPPT bertindak untuk penyaluran dana tersebut. (ase)