12 Paket Kebijakan Ekonomi Jauh dari Ekonomi Kerakyatan
VIVA.co.id – Anggota Komisi XI DPR RI Heri Gunawan mengatakan 12 paket kebijakan ekonomi Jokowi-Kalla belum berjalan efektif. Hal itu menurutnya bisa dilihat dari beberapa indikator, antara lain pertumbuhan ekonomi hanya 4,92 persen, penciptaan lapangan kerja yang masih kurang menggembirakan, lemahnya investasi di sektor-sektor produktif seperti pertanian-kelautan, perikanan, indeks gini yang hampir mencapai 50 persen.
Ia menjelaskan, debirokratisasi dan deregulasi mestinya ditopang dengan kerja-kerja cerdas dan profesional.
"Masalahnya sekarang, perubahan sistem tidak ditunjang dengan pengelolaan SDM yang profesional. Ke-12 paket itu masih belum menyentuh hal-hal riil. Sebagai misal, sektor-sektor produktif dan strategis seperti pertanian-kelautan-perikanan belum mendapat perhatian serius. Investasi di sektor itu sangat minim. Padahal, pangsa pasarnya di atas 80 persen. Karenanya, paket kebijakan ekonomi harusnya diarahkan pada sektor-sektor riil dan produktif," ujarnya di Senayan, Selasa 31 Mei 2016.
Ia menjelaskan, sampai saat ini belum kelihatan relevansi ke-12 paket kebijakan itu pada sektor pertanian, peternakan, kehutanan dan perikanan. Hingga kini, sektor-sektor tersebut hanya menyumbang 15,4 persen dari PDB. Padahal, jumlah tenaga kerjanya di atas 50 persen.
"Penyebabnya antara lain minimnya penguatan SDM, investasi, teknologi, dan modal. Penyaluran KUR masih tidak merata dan optimal, KUR masih terpusat di Pulau Jawa. Belum lagi kredit bagi petani, nelayan, buruh, pegawai, industri kecil menengah, pedagang tradisional dan pedagang kecil lainnya harus dievaluasi dengan sungguh-sungguh. Pemerintah harusnya mampu memaksimalkan peran BUMN seperti Jamkrindo dan Askrindo dalam menciptakan penyaluran KUR yg lebih maksimal dan merata," ujar Politisi Gerindra ini.
Eks Wakil Ketua Komisi VI ini mengatakan, ke-12 paket kebijakan itu masih jauh dari semangat ekonomi kerakyatan. Laporan bank dunia terakhir menunjukkan bahwa pertumbuhan ekonomi yang ada sekarang hanya dinikmati oleh 20 persen masyarakat terkaya. Sedangkan, 80 persen penduduk atau lebih dari 205 juta orang, rawan tertinggal.
"Karenanya, paradigma paket kebijakan ekonomi harus mewakili visi Trisakti sebagaimana janji saat kampanye. Ke-12 paket kebijakan itu harusnya ditujukan untuk menurunkan Indeks Gini menjadi 0,3. Bukan turun, malahan Indeks Gini sudah hampir mencapai 50 persen. Artinya, ekonomi nasional sekarang hanya setengahnya hanya dinikmati oleh 1 persen orang. Karenannya, harus ada indikator yang jelas dan terarah dalam paket kebijakan ekonomi Jokowi-Kalla terkait indeks gini," ungkapnya.
Lebih lanjut dijelaskan, sebaiknya pemerintah jangan terus-menerus memberi keistimewaan pada Tiongkok. Sebab, itu hanya mencuatkan kekecewaan yang besar dari pihak lain yang boleh jadi justru lebih potensial dan prospektif.
"Pemberian keistimewaan seperti itu menutup kemungkinan yang lebih baik dalam konteks relasi internasional, baik secara ekonomi maupun politik," ujar Heri.
Ia menyarankan, setiap kebijakan sebaiknya harus dijalankan oleh orang-orang yang punya integritas dan kapasitas yang teruji, baik dari pengalaman profesional maupun jaringan.
"Mandegnya 12 kebijakan itu karena tidak ditopang dengan SDM yang tepat di bawah kepemimpinan yang kuat. Kita bisa belajar banyak di jaman Pak Harto, tentang kepiawaiannya menempatkan orang-orang terbaik dalam mengeksekusi kebijakan strategis. Karenanya, semua kebijakan itu akan sia-sia kalau pemerintah Jokowi-Kalla gagal membentuk sebuah pemerintahan yang bersih, kuat, tegas, dan efektif," kata Heri.
Pria Asal Jawa Barat ini menilai, ke-12 kebijakan itu belum merepresentasikan kerja revolusi mental secara serius.
“Revolusi mental itu, salah satunya, bisa dinilai dari seberapa baik pengelolaan manajemen kebijakan, berhasil. Di sini, pemerintah harus berani melakukan terobosan lewat sinergi ABG (Akademisi + Bisnisman + Government). Lewat sinergi itu akan lahir, misalnya, ribuan ikubator bisnis dan pemodal-pemodal venture yang siap mendanai produk-produk kreatif kita. Kita punya potensi besar ke arah itu asalkan pemerintah serius. Libatkan kampus (akademisi) dan lembaga-lembaga penelitian dalam hal pengembangan produk," katanya.
Menurut Heri, selama paradigma kebijakan yang dipakai masih melenceng dari Pancasila sebagai guidance spritual kebijakan, maka jangan harap ke-12 kebijakan itu bisa berhasil mengangkat harkat dan martabat rakyat Indonesia hingga ke akar rumput. Selama ini, kebijakan itu hanya melayani kelompok atas saja. Sedangkan, akar rumput dibiarkan berjuang sendiri tanpa keberpihakan yang sungguh-sungguh, ujarnya. (webtorial)