Virtual Reality Diklaim Potensial Obati Korban Trauma
- Telegraph
VIVA.co.id – Teknologi virtual reality (VR) ternyata bukan bermanfaat untuk hiburan saja. Teknologi tersebut punya potensi untuk membantu korban aksi terorisme untuk mengungkapkan kejadian buruk yang dialaminya. Teknologi VR merupakan teknologi yang membuat pengguna dapat berinteraksi dengan suatu lingkungan yang disimulasikan oleh komputer.
Biasanya, korban teror akan berat untuk mengingat apa yang telah dialaminya. Sebab peristiwa itu sangat mengerikan dan menyayat hati para korban.
Direktur Medical Virtual Reality, Institute for Creative Technologies di University of Southern California, Amerika Serikat, Albert Rizzo, mengatakan jika VR telah lebih dari satu dekade dipakai untuk menyembuhkan post-traumatic stress syndrome (PTSD). Dengan makin berkembangnya perangkat dan teknologi VR maka Rizzo yakin teknologi itu akan makin membantu para korban terorisme.
Pada beberapa dekade sebelumnya, Rizzo mengatakan, VR memang masih punya kelemahan dalam hal hardware, tapi saat itu tidak membuat riset dan pengembangan fungsi VR berhenti. Nyatanya, kata dia, para peneliti diam-diam melanjutkan riset teknologi VR pada pertengahan dekade lalu.
Misalnya teknologi VR sudah dipakai untuk membantu menyembuhkan PTSD pada korban serangan teror Gedung World Trade Center (WTC) di New York pada 2001. VR juga dipakai peneliti untuk memberikan versi yang lebih nyata dalam simulasi serangan teror di Teater Bataclan dan jalanan Paris, Prancis pada November tahun lalu.
"Teknologi itu (saat itu) memang kurang bagus, tapi beberapa peneliti tetap menjalankan (riset)," ujar Rizzo kepada PC Authority, dikutip Senin 30 Mei 2016.
Rizzo pun mengaku saat ini dia memanfaatkan teknologi VR yang fokus membantu tentara Amerika yang mengalami PTSD. Teknologi yang ia terapkan pada para tentara itu yakni membantu pasien untuk menceritakan kembali apa yang terjadi saat itu, apa yang dialami, kepada para pakar terapi. Dengan hal ini maka akan membantu untuk perawatan yang tepat bagi para korban terorisme.
Dia mengatakan VR pada dasarnya menjalankan prinsip yang sama perawatan tradisional untuk para korban peristiwa tragis tersebut.
"Apa yang kami lakukan adalah mengikuti persis protokol dan ‘resep’ yang sama, jumlah yang sama dari segi sesi, prosedur yang sama. Yang berbeda adalah pasien mengenakan layar di kepala dan dokter menyiapkan lingkungan virtual berdasarkan memori trauma pasien," jelas dia.
Dari skema ini, diharapkan pasien mengungkapkan kembali insiden yang dialaminya tahap demi tahap, secara detail berdasarkan kronologinya. Pengungkapan detail insiden yang dialami pasien itu bisa menjadi bekal bagi para dokter dan pakar terapi. Rizzo mengaku perawatan dengan VR yang dipakai timnya telah terbukti bagus. Bahkan, ujarnya, dalam beberapa kasus menunjukkan hasil yang lebih baik.
"Sudah beberapa pasien kami yang mencoba dengan pendekatan tradisional ternyata tak ada manfaat, kemudian saat menjalani program ini menunjukkan ada manfaat," ujar dia.
Memori traumatis
Rizzo pun termasuk dalam barisan peneliti yang tergabung dalam konsorsium Eropa untuk membangun skenario serangan Paris secara virtual. Dalam skenario virtual itu, peneliti membangun kembali lokasi serangan secara tiga dimensi, menyertakan beberapa avatar yang mewakili korban meninggal, hidup, terluka. Peneliti juga menyertakan suara dalam versi tiga dimensi. Hal itu bertujuan untuk membuat para korban serangan mengingat memori traumatis mereka.
Tujuan peneliti yang membuat para korban mengingat trauma yang mereka rasakan bukan tanpa alasan. Memang terkesan, peneliti membuat para korban menderita dengan mengingat insiden tersebut kembali, tapi di sisi lain, justru langkah ini menurut peneliti, bisa menyembuhkan trauma yang dirasakan.
"Kami perlu menciptakan lingkungan yang bermakna bagi pasien. Ini berarti adegan tiga dimensi perlu merangkum segudang isyarat yang mampu memunculkan kenangan traumatis. Mengakses isyarat traumatis sangat penting bagi keberhasilan terapi ini," ujar Pedro Gamito, profesor dari Universidade Lusófona, Portugal.
Gamito mengakui tahap pengembangan terapi VR selanjutnya untuk korban serangan teror itu masih perlu waktu dan pembuktian. Sebab memang terapi ini perlu sejumlah skenario yang dikembangkan. Dia mengharapkan, pengujian terapi ini dimulai dalam beberapa bulan ke depan.
Rizzo menegaskan, terapi VR bagi para korban teror dilakukan bukan untuk membuat mereka menderita. Dia bersama peneliti lain melakukan ‘ide gila’ ini karena terapi ini punya potensi.
"Anda mungkin berpikir, mengapa melakukan ini, mengapa menyiksa orang-orang. Saya katakan karena kami tahu teknologi ini bekerja. Penelitian pengembangan terapi ini bukan 100 persen, tapi ini salah satu perawatan terbaik dalam uji klinis," kata dia.
Rizzo berharap terapi berbasis VR ini akan berkembang ke depan. Dia saat ini memang fokus pada pasien tentara, tapi berharap ke depan bisa beralih ke pasien warga sipil, yang mengalami berbagai trauma mulai dari kecelakaan kendaraan, cuaca buruk, sampai korban kekerasan seksual.