LSF: Film adalah Komoditi Masyarakat
- Lilis Khalisotussurur/ VIVA
VIVA.co.id – Lembaga Sensor Film (LSF) mengadakan sosialisasi pada masyarakat dan Pemerintah Kabupaten Gianyar, Bali. Tujuannya agar masyarakat bisa secara mandiri melakukan sensor film.
Bupati Gianyar, Anak Agung Gde Agung Bharata mengatakan, media audio visual paling cepat merasuki pikiran manusia. Ia mencontohkan untuk telepon genggam saja, saat ini masyarakat sangat bergantung.
"Pagi baru bangun pegang handphone, sarapan pagi lalu pegang handphone. Ini perlu komunikasi. Tapi perlu terarah," kata Bharata dalam sosialisasi LSF di Hotel Sens, Gianyar, Bali, Senin, 30 Mei 2016.
Ia menuturkan budaya Gianyar sangat kental. Tapi karena dampak film yang sangat besar memberikan pengaruh, ia meminta LSF untuk menyensor film yang bernuansa besar sebelum beredar di Bali. Menurutnya, sensor ini diperlukan agar bisa mempertahankan ‘roh’ budaya di Bali.
"Saya nyatakan sosialisasi ini dibuka dengan resmi," kata Bharata.
Terkait hal ini, Wakil Ketua LSF, Dody Budiatman menjelaskan pentingnya masyarakat melakukan sensor mandiri. Ia menceritakan sensor sudah dilakukan sejak penjajahan Belanda dan Jepang.
"Kenapa Belanda melakukan sensor? Karena digunakan untuk melanggengkan kekuasaan. Bagaimana film yang menjelek-jelekkan Belanda tak boleh. Karena khawatir bangsa Indonesia sebagai warga negara kelas 2 ada keinginan berontak," kata Dody pada kesempatan yang sama.
Ia melanjutkan pada 2009, Undang-Undang Perfilman sudah direvisi DPR. Saat itulah muncul paradigma baru mengenai sensor. Sensor yang sebelumnya ditujukan untuk kepentingan pemerintah dan digunakan untuk melindungi masyarakat dari pengaruh negatif film.
"Film adalah komoditi masyarakat untuk hiburan. Industri perfilman berupaya memenuhi kebutuhan hiburan. Di negara lajn film bisa jadi penunjang perekonomian negara karena mendapatkan devisa yang besar," kata Dody.
Menurutnya, Indonesia memiliki keterbatasan film baik dari mutu. Akibatnya, masyarakat Indonesia banyak mengakses film impor.
"Ada nilai, norma, budaya. Kalau akses terus film luar, nilai budaya dari Batak, Maluku, Bali dicekokin film akan tergerus nilai-nilai lokal. Apalagi ada teknologi yang dekatkan yang jauh dan jauhkan yang dekat," kata Dody.
Ia mengatakan saat ini semua film yang masuk dan ditayangkan di Indonesia harus disensor melalui LSF. Mereka yang menayangkan film tanpa melalui penyensoran akan dikenakan sanksi administrasi dan pidana ketika mengandung kekerasan dan pornografi.
"Sineas di Bali boleh buat film apa saja. Tapi di undang-undang katakan sensor harus dilakukan."
(mus)Â