2016, Diprediksi Jadi Tahun Terburuk Pasar Properti
- ANTARA/Arif Firmansyah
VIVA.co.id – Ali Tranghanda, CEO Indonesia Property Watch (IPW) mengungkapkan, pengamatan yang dilakukan pihaknya menyimpulkan, hingga kuartal II-2016, pasar perumahan dan properti nasional belum bergerak naik, bahkan ada kecenderungan semakin terpuruk.
"Perkiraan pasar properti akan take-off position di tahun ini, dikhawatirkan tidak akan tercapai. Bahkan, mungkin tahun ini tahun terburuk yang harus dilalui pasar properti," kata Ali, dikutip dari keterangan tertulisnya, Rabu 25 Mei 2016.
Dia memaparkan, IPW mengkaji beberapa early warning indicators yang seharusnya segera diantisipasi pemerintah, antara lain:
1. Meskipun suku bunga acuan BI Rate turun sampai 6,75 persen, namun suku bunga kredit pemilikan rumah (KPR) belum juga turun signifikan, karena cost of fund yang tinggi di kalangan perbankan.
2. Pertumbuhan kredit mikro sebesar 23,8 persen di akhir 2015.
3. Pertumbuhan total kredit sampai triwulan III-2015, berkisar 2,29-4,5 persen dibandingkan dengan periode yang sama tahun sebelumnya.
4. Pertumbuhan penjualan perumahan sampai akhir 2015, menurun sebesar minus 2,87 persen dibandingkan periode yang sama 2014. Penurunan tersebut, dimulai di semester II-2015.
5. Triwulan I-2016, pasar perumahan kembali terpuruk minus 23,1 persen dibanding kuartal IV-2015, atau minus 54,09 persen dibandingkan periode yang sama 2015, dan diperkirakan semakin terpuruk pada triwulan II-2016, dengan adanya momen puasa, Lebaran, dan tahun ajaran baru.
Ali mengatakan, kondisi tersebut seharusnya lebih diwaspadai oleh pemerintah, mengingat dengan adanya tren pertumbuhan kredit, seharusnya akan mendorong pertumbuhan penyerapan penjualan rumah.
Namun, yang terjadi malah penurunan penjualan perumahan sampai akhir 2015. Beberapa hal yang dapat menyebabkan hal ini lebih karena terjadinya mismatch di pasar properti dengan banyaknya pengembang mengambil kredit untuk proyek yang menyasar segmen menengah atas, namun di sisi lain permintaan pasar lebih ke menengah sampai bawah.
Berdasarkan pengamatan yang dilakukan, diperkirakan pasar masih tetap memiliki daya beli untuk segmen menengah.
Beberapa hal menjadi alasan konsumen untuk menunda pembeliannya, ungkap Ali, mengingat pada triwulan II-2016, banyak kebutuhan jangka pendek yang mendesak harus diprioritaskan, seperti Lebaran dan tahun ajaran baru.
"Hal ini, mungkin tidak menjadi masalah untuk segmen atas, namun kendala di segmen ini masih seputar pajak yang menjadi momok pembelian properti saat ini," ungkapnya.
Dia menjelaskan, banyak pengembang yang tadinya ‘alergi’ untuk memasuki segmen menengah mulai memasuki segmen tersebut, karena kemauan pasar seperti itu, apakah dengan membuka kluster baru yang lebih murah, atau dengan cara resizing luas unit.
"Rencana Bank Indonesia untuk merevisi aturan LTV (loan to value), seharusnya menuju arah relaksasi dan bukan memberikan tekanan baru bagi pasar properti," jelasnya. (asp)