Plastik Bakal Dikenai Cukai, Ini Respons Industri
- Forum Lintas Asosiasi Industri Produsen dan Pengguna Plastik (FLAIPPP)
VIVA.co.id – Forum Lintas Asosiasi Industri Produsen dan Pengguna Plastik (FLAIPPP) sepakat menolak wacana pengenaan cukai atas plastik kemasan. Kebijakan ini tidak sesuai dengan prinsip Undang-undang Cukai, tidak tepat sasaran, dan merugikan masyarakat.
Penerapan kebijakan ini juga akan menurunkan daya saing industri dan pada akhirnya akan melemahkan pertumbuhan ekonomi serta penyerapan tenaga kerja kemudian berimbas pada menyusutnya penerimaan negara.
Perwakilan FLAIPP Rachmat Hidayat mengungkapkan, forum lintas asosiasi ini, yang mewakili ribuan pelaku industri terkait plastik dari hulu sampai hilir berupa produsen plastik, produsen pengguna plastik, hingga industri daur ulang plastik keberatan dengan rencana penerapan kebijakan itu.
Selain tidak tepat sasaran dan bertentangan dengan UU cukai, forum melihat bahwa pengenaan cukai pada plastik kemasan kontra produktif. Dan malah akan menyusahkan pelaku bisnis di sektor tersebut.
"Karena justru bertentangan dengan kebijakan deregulasi Pemerintahan Presiden Joko Widodo yang bertujuan untuk menggerakkan pertumbuhan ekonomi dan memajukan iklim investasi," tegas Rachmat dalam keterangannya, Kamis 12 Mei 2016.
Dia menjabarkan, ada beberapa pertimbangan forum mengapa kebijakan tersebut tidak tepat sasaran. Antara lain, penggunaan plastik kemasan produk industri telah dikendalikan dan diawasi peredarannya oleh kementerian dan lembaga terkait.
Contohnya, Plastik produk industri makanan, minuman, farmasi , minyak, kimia dan lainnya. Seluruh produk tersebut sudah di kendalikan dan diawasi oleh otoritas pemerintah di bidang masing-masing, seperti Kementerian Kesehatan, Badan Pengawas Obat dan Makanan, Kementerian Perdagangan dan sebagainya.
Kemudian menurut dia, pengenaan cukai untuk mengendalikan plastik kemasan tidak tepat sasaran. Konsumsi plastik di Indonesia masih sangat rendah dan belum perlu dikendalikan berdasarkan data perbandingan dengan negara lain. Berdasarkan data dari Asosiasi Industri Olefin, Aromatik dan Plastik Indonesia (INAPLAS), konsumsi plastik di Indonesia masih sangat rendah dibandingkan dengan negara lainnya.
Pengenaan cukai terhadap plastik kemasan juga dinilai akan melemahkan pertumbuhan ekonomi dan industri. Plastik kemasan melibatkan ribuan pelaku industri baik sebagai produsen, pengguna maupun pendaur ulang plastik kemasan.
Salah satunya adalah industri Makanan dan Minuman yang memberikan kontribusi tertinggi terhadap pertumbuhan produk domestik bruto (PDB) non migas yaitu sebesar 31 persen pada tahun 2015 dan tumbuh sebsar 7.54 persen pada kuartal III 2015 atau sekitar delapan persen pada akhir tahun 2015.
Selanjutnya kata dia, pengenaan cukai akan memberatkan penyerapan tenaga kerja pada industri andalan. Salah satu industri yang akan terdampak oleh wacana cukai kemasan plastik adalah industri mamin, padahal industri ini masih menjadi prioritas dalam strategy investasi sektor padat karya yang dicanangkan pemerintah.
Terkait dengan penyerapan tenaga kerja, Ketua Gabungan Pengusaha Makanan dan Minuman Seluruh Indonesia (Gapmmi), Adhi S Lukman menjelaskan, industri mamin terdiri dari produsen besar, menengah dan kecil (UKM) dengan jumlah mencapai lebih dari 6.000 pemain besar dan lebih dari satu juta usaha mikro kecil.
Data Badan Pusat Statistik bahkan menunjukkan, tenaga kerja langsung pada industri makanan minuman hampir mencapai empat juta pekerja.
"Belum lagi melihat multiplier effect nya. Setiap satu tenaga kerja tercipta pada industri makanan dan minuman, rata-rata menghasilkan tambahan empat tenaga kerja pada industri pendukungnya, yang mayoritas adalah UMKM alias pedagang kecil. Dengan demikian secara total jumlah tenaga kerja yang bergantung kepada sektor industri makanan dan minuman ini adalah sekitar 16 juta orang," tambah Adhi.
Lebih lanjut, dijelaskan bahwa, pengenaan cukai terhadap plastik kemasan akan merugikan masyarakat (konsumen) terkait inflasi. Sebab,Hampir semua produk industri yang dibutuhkan oleh konsumen dikemas menggunakan plastik.
Menurut British Plastic Federation (BPF) 2015, 70 persen dari total penggunaan plastik di Indonesia digunakan untuk kemasan produk industri makanan dan minuman
Sementara itu, 30 persen digunakan untuk berbagai tujuan lain seperti kemasan kosmetika, farmasi, minyak, bahan baku produk dan sebagainya. Tingginya inflasi memicu kenaikan harga jual yang dibebankan kepada konsumen.
Wakil Ketua Bidang Industri Persatuan Perusahaan Kosmetika Indonesia (Perkosmi) Djoko Irawan menjelaskan, sektor kosmetik juga merupakan pelopor harmonisasi ASEAN melalui ASEAN Cosmetic Directive (ACD) yang membuat para pelaku sektor kosmetik diharuskan memiliki standard kualitas produk yang setara di seluruh negara ASEAN.
Jika cukai kemasan ini diterapkan, Indonesia akan menjadi satu-satunya negara yang mengenakan cukai kemasan plastik di antara negara ASEAN lainnya.
"Sudah pasti hal ini akan membuat daya saing sektor kosmetika di Indonesia tertinggal," tegasnya.
Sebagai informasi, Forum Lintas Asosiasi Industri Produsen dan Pengguna Plastik beranggotakan:
1. Perhimpunan Perusahaan dan Asosiasi Kosmetika (PPAKI)
2. Asosiasi Industri Olefin Aromatik & Plastik Indonesia (Inaplas)
3. Asosiasi Industri Minuman Ringan (Asrim)
4. Asosiasi Daur Ulang Plastik Indonesia (ADUPI)
5. Asosiasi Perusahaan Air Minum Dalam Kemasan Indonesia (Aspadin)
6. Gabungan Industri Aneka Tenun Plastik Indonesia (Giatpi)
7. Asosiasi Industri Plastik Hilir Indonesia (Aphindo)
8. Gabungan Pengusaha Makanan dan Minuman Indonesia (Gapmmi),
9. Asosiasi Industri Kemasan Fleksibel Indonesia (Rotokemas)
10. Asosiasi Industri Roti, Biskuit dan Mie Instan Indonesia (Arobim)
11. Asosiasi Industri Pengolah Susu (AIPS)
12. Persatuan Perusahaan Kosmetika Indonesia (Perkosmi)
13. Pusat Informasi Produk Industri Makanan dan Minuman (PIPIMM)
14. Federasi Pengemasan Indonesia (FPI)
15. Asosiasi Produsen Pelumas Indonesia (Aspelindo)
16. Persatuan Perusahaan Produk Rumah Tangga Indonesia (Pekerti)