The Window, Bingkai yang Kekecilan untuk Kenyataan
- Instagram.com/haydarsalishz
VIVA.co.id – Mungkin saya terlalu berharap banyak saat ditawari menonton premier film ini. Saya membayangkan sebuah cara bertutur yang tak lazim, menggunakan bingkai sebuah jendela atau setidaknya bingkai persegi kamera yang merekam. Namun ternyata film yang disutradarai Nurman Hakim ini bukan soal teknik pengambilan gambar.
Kisah bermula dari saat pelakon utama, Dewi, yang diperankan Titi Rajo Bintang, mewawancarai beberapa orang namun dengan tema yang acak. Pengantar film ini menjebak, seolah-olah mengajak penonton melihat dari sudut orang pertama. Mungkin ini seperti sebuah "Cloverfield" -- sebuah film horor Hollywood yang diceritakan dari sudut pandang pertama. Namun sayangnya tidak begitu.
Kamera kembali mengajak kita menjadi "orang ketiga", mempelototi Dewi yang "tidak cantik" dengan riasan yang minimalis. Kamera mengikuti Dewi pulang, melintasi jembatan penyeberangan "TransJakarta" di Bundaran Hotel Indonesia, sebuah latar yang anakronistis karena belakangan diketahui cerita berpusat di hari-hari setelah Soeharto lengser sebagai Presiden, Mei 1998. Namun baiklah, mungkin tidak semua orang paham itu jembatan sebenarnya diperuntukkan bagi "TransJakarta" yang baru beroperasi sekitar tahun 2000-an.
Konflik mulai terbangun saat Dewi menerima sebuah surat yang dikirimkan ke rumah petak yang ditinggalinya. Isinya, sebuah kliping koran mengenai perempuan tunagrahita yang mengandung. Adegan berganti dengan Dewi berada dalam kereta api antarkota yang terlihat dari tempat duduk yang berhadapan. Inilah jendela pertama yang muncul dalam adegan; jendela kereta api. Sayangnya, sebuah anakronisme lagi muncul, colokan listrik di bawah meja tempat duduk. Colokan ini barang baru yang belum ada pada Mei 1998, karena diperuntukkan bagi pengguna telepon genggam, sebuah perangkat yang baru massal di kurun tahun 2000-an. Namun baiklah, anakronisme ini masih seputar latar.
Dewi rupanya pulang kampung, ke sebuah desa yang terletak tak jauh dari rel kereta api dan pabrik pengolahan tembakau. Dalam perjalanan ke rumah, Dewi menyempatkan diri mampir di sebuah pabrik pengolahan tembakau, menyaksikan melalui jendela pabrik, seorang laki-laki bernama Dharsono (Landung Simatupang) duduk di balik meja, mengawasi beberapa anak buah. Dari pabrik, Dewi pulang ke rumah. Boro-boro hendak melihat kakaknya yang dipanggil Dee (Eka Nusa Pertiwi), perempuan tunagrahita yang sedang hamil, Dewi malah terkesima melihat ke arah jendela. Sebuah poster bergambar Menara Eiffel tergantung di balik jendela.
Serangkaian adegan ketika baru pulang ini jelas agak membingungkan karena mengingat urgensi Dewi pulang kampung adalah demi kakaknya yang terbaring di tempat tidur dalam keadaan perut yang membuncit. Dan setelah bercengkerama sejenak dengan kakak dan ibunya yang diperankan Karlina Inawati, barulah kita tahu laki-laki bernama Dharsono yang terlihat di pabrik adalah sang ayah. Dan dari adegan ini, kita baru bisa melihat bangunan konflik utama dari film ini, antara Dewi dan sang ayah.
Seperti halnya jendela, film ini mencoba mengajak kita membaca realitas melalui bingkai dan kemudian membenturkannya dengan realitas di balik bingkai. Penonton dibuat penasaran, siapa yang menghamili Dee, perempuan malang dengan down syndrome. Sang ibu mencoba berdamai dengan kenyataan, menyebut kehamilan itu sebagai sebuah mukjizat, seperti halnya Bunda Maria saat mengandung Yesus. "Kita bukan Katolik, Bu," Dewi tangkas menjawab.
Sang ibu juga digambarkan sebagai seorang perempuan nrimo, yang rela membuat kopi untuk sang ayah berkali-kali. Ibu yang rutin berkisah pada anaknya yang down syndrome, meski salah satu kisah yang diceritakan juga anakronistis; kisah seorang mandor Belanda yang bunuh diri menentang pendudukan Jepang. Namun sekali lagi, tolong dimaafkan, karena bukan menyangkut kisah utama dari film ini.
Penonton diajak berspekulasi, siapa laki-laki yang bisa menjadi pelaku, termasuk sang ayah, Dharsono, yang digambarkan sebagai seorang pria patriarkis, pendukung Soeharto. Dewi membawa penonton kepada siapa-siapa yang diduga menghamili kakaknya. Apakah ayahnya sendiri, atau dua tetangga sebelah rumah mereka, ataukah "kerumunan pasar malam beberapa bulan lalu" seperti yang dirutuk sang ayah sebagai pelaku. Adegan terakhir akan membuat kita semua tahu siapa pelaku sebenarnya, namun sayangnya justru membuat klimaks berakhir di detik itu juga, tak perlu dibawa pulang ke rumah sehingga membuat film ini patut untuk dikenang karena kerumitannya.
Alegori. Mungkin itu kata yang pas untuk menggambarkan film ini dalam satu kata. Namun film ini menggugat alegori, anti-alegori, bahwa hidup tak bisa disederhanakan dari apa yang terlihat dari jendela. Di balik jendela, ada kehidupan yang tak disangka-sangka. Nurman yang menulis skenario film ini bersama Nan Achnas mencoba membuat penonton melihat kenyataan kadang tak seindah terlihat dari bingkai, apakah itu jendela, televisi atau media massa. Di tengah demam "Ada Apa dengan Cinta 2" yang juga membuat premier film ini tertunda dua jam, The Window menawarkan kompleksitas persoalan yang tak jauh dari keseharian kita, tentang cinta yang tak perlu disampaikan lewat kata-kata, tentang rumah yang tak sempurna.